Katanya, orang miskin nggak bisa beli rumah karena manajemen keuangannya buruk. Lah, penimbun properti nggak disalahin, Bos?
Beberapa hari ini teman saya curhat tentang sulitnya menjual apartemen di Surabaya. Katanya, peminat apartemen mulai menurun. Masih kata teman saya, seharusnya apartemen menjadi hunian yang masuk akal untuk dibeli di saat harga tanah di Surabaya sangat tinggi. Sebenarnya saya ingin mengomentari keluhan teman saya ini, tapi nggak tega. Orang sambat masa saya debat, yang ada dia malah stres.
Nggak lama setelah teman saya curhat, saya membuka Twitter dan menemukan postingan Pandji Pragiwaksono, seorang komika terkenal di Indonesia yang ngetweet kalau temannya merugi karena investasi properti. Ternyata masih banyak lho, netizen yang kasihan dengan kerugian temannya Bang Pandji. Saya sih, nggak merasa hal tersebut perlu dikasihani.
Bukannya saya nggak punya empati, ygy. Menurut saya, lebih kasihan orang yang punya rumah atau apartemen satu, tapi cicilannya masih 15 tahun lagi. Dan makin kasihan lagi nasib banyak orang yang nggak mampu KPR rumah karena ulah segelintir orang yang menimbun properti berkedok investasi sehingga menyebabkan harganya makin melambung tinggi.
Daftar Isi
Harga apartemen di kota makin mahal
Masyarakat perkotaan seperti Jakarta dan Surabaya, secara teori memang seharusnya lebih butuh dengan apartemen ketimbang masyarakat di desa. Namun, yang terlewat dari perbincangan tentang apartemen adalah harganya yang mulai tidak masuk akal untuk ukuran ruangan yang tidak begitu luas. Bahkan, bagi orang kota yang standar UMK-nya lebih tinggi ketimbang di kabupaten, harga apartemen tetaplah mahal.
Sebagai contoh, harga apartemen di Surabaya yang posisinya di pusat kota atau di tempat strategis berkisar 900 jutaan. Membeli apartemen semahal itu dengan gaji UMR apa masuk akal? Kalau mau membeli apartemen yang lokasinya agak nyelempit, harganya memang lebih murah. Tapi nggak murah juga sih, sekitar Rp400 jutaan. Akhirnya, bagi sobat UMK Surabaya yang gajinya hanya Rp4.5 juta, membeli apartemen dan rumah memang bukan perkara mudah.
Penimbun properti itu rakus!
Di saat harga properti terus merangkak naik dan makin mahal. Ada sekelompok orang yang memiliki banyak sekali properti dengan dalih investasi. Sialnya, jarang ada yang beranggapan kalau tindakan tersebut jahat dan merugikan orang lain. Padahal memiliki banyak properti yang tidak digunakan sama saja dengan penimbun barang
 Apa coba bedanya menimbun minyak goreng untuk dijual kembali dengan harga tinggi, dengan menimbun rumah lalu menunggu momentum dan menjualnya dengan harga yang juga tinggi? Nggak ada bedanya lah.
Kalau dipikir-pikir, kita cenderung mudah marah kepada toko yang menimbun minyak goreng. Tapi tidak kepada penimbun properti. Kita sering mengolok-ngolok pedagang yang menimbun bahan pokok dengan kalimat kejam dan jahat. Sementara penimbun properti justru dipuji. Orang yang memiliki banyak properti nganggur (tidak ditempati) disebutnya pandai berinvestasi. Padahal keduanya sama saja, sama-sama rakus dan merugikan pihak lain.
Dalam konteks properti yang harganya makin mahal itu. Pada akhirnya hanya si kaya yang mampu membeli, mereka kemudian memiliki properti berlimpah dan disewakan kepada pihak lain. Roda kehidupan katanya berputar, tapi realitasnya diam di tempat. Yang kaya tetap di atas, yang miskin tetap tergencet, tanpa bisa bergerak.
Menimbun properti tak lebih baik dari menimbun minyak goreng. Dalam logika ekonomi, prinsip kerjanya sama saja. Ketika produk (baca: properti) dimiliki segelintir orang, properti tersebut menjadi makin mahal dan susah dijangkau oleh pihak lain yang tidak banyak hartanya. Hal seperti ini pun bisa kita sebut monopoli, lho.
Bukan iri dengan orang kaya, tapi pemerintah harus menjaga agar seluruh rakyatnya mampu membeli rumah
Permasalahannya bukan perkara iri dengan orang kaya. Namun, sebagai penduduk yang memiliki pemerintah, kita perlu bertanya jika ada sesuatu yang tidak adil. Kalau ada segelintir orang menguasai sebagian besar kekayaan, pemerintah perlu turun tangan untuk membuat aturan dan pembatasan. Jika semua dibiarkan suka-suka, apa gunanya punya pemerintah?
Bayangkan, di tahun 2018, jumlah harta 4 orang terkaya di Indonesia setara 100 juta warga miskin Indonesia. Daftar orang kaya di Indonesia pun hanya itu-itu saja. Persoalan kemiskinan ini bukan perkara orang miskin malas bekerja ya. Tapi upahnya tak layak atau nominalnya nggak mencukupi untuk membeli rumah dan membuatnya sejahtera.
Katanya, kalau kita miskin karena malas itu salah kita. Namun, kalau Anda bekerja selama delapan jam sehari, seminggu penuh, kadang juga lembur, tapi nggak bisa beli rumah, apa ya masih salah kita? Nggak ngerasa aneh apa, untuk beli kebutuhan dasar saja, kita nggak bisa. Terus peran pemerintah apa?
Saya juga nggak setuju jika ada yang berkata orang yang tak bisa membeli rumah karena mereka nggak mampu mengelola keuangan. Bayangkan kalau gajimu hanya UMK Jogja sebesar Rp2 juta, lalu rumah di Jogja harganya Rp600 juta. Sepintar-pintarnya kita belajar ekonomi, tetap butuh keajaiban Tuhan. Kudu mobat-mabit cari pendapatan tambahan dulu untuk bisa membeli rumah, Gaes.
Faktanya, ada lebih banyak kasus kemiskinan memang tidak lahir dari kemalasan. Ada jutaan orang yang tak mampu membeli rumah bukan karena mereka tidak bisa mengatur keuangan. Tapi, semua terjadi karena keserakahan segelintir manusia yang memonopoli tanah dan menguasai akses untuk sejahtera. Dan negara, hingga kini, diam saja.
Bagi Anda yang masih mengasihani dan memaklumi orang kaya yang jadi penimbun properti, baiknya cuci muka dan lihatlah dunia dengan mata terbuka. Negeri ini memang milik orang kaya, sebab yang miskin dipaksa ngontrak.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Orang Kaya Serakah Penimbun Investasi Tanah, Dalang di Balik Mahalnya Harga Properti