Akulturasi budaya yang mencerminkan toleransi tinggi di Semarang
Jogja memang merupakan salah satu pusat kebudayaan di Jawa. Banyaknya pendatang dari berbagai latar belakang digadang-gadang memperkaya kultur di sana. Walau sering dibingkai sebagai kota yang adem ayem, nyatanya isu kerusuhan dan bentrok warga tak jarang menerpa Jogja.
Di sisi lain, Semarang dikenal oleh kependudukan dua etnis yang merajai sejak dulu kala yakni Jawa dan Tionghoa. Meski sama-sama mendominasi, hampir tidak pernah terdengar isu cekcok antar keduanya. Justru, keberagaman budaya ini menciptakan asimilasi yang patut dihargai.
Sebagai contoh, lahirnya makanan khas Lumpia yang kini menjadi ikon oleh-oleh Kota Semarang konon merupakan kolaborasi suami istri yang berbeda keturunan. Bukti lainnya adalah kelanggengan Pasar Semawis yang turut didukung oleh pemerintah setempat. Tidak ada penolakan terhadap eksistensi Pasar Semawis yang malah sukses menjadi simbol toleransi pluralitas kota dengan ikon Simpang Lima ini.
Memilih tempat menghabiskan sisa usia memang tak kalah pelik dibandingkan mencari pasangan hidup. Berbekal sejumlah argumentasi serta pertimbangan yang matang, akhirnya saya berhasil membujuk keluarga kecil untuk menuruti ego saya bermukim di Semarang. Toh, mereka tetap akan dimanjakan dengan kekayaan kuliner di Semarang yang tiada duanya, terlebih tahu gimbal yang melegenda.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Rizky Prasetya