“Jika bumi digelitik dengan cangkul, maka bumi tertawa dengan panen”.
Selamat Hari Tani Nasioanl! Hidup petani!
Perjalanan Hari Tani Nasional menyimpan beribu makna yang perlu direnungkan oleh generasi masa kini. Penetapan Hari Tani Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Soekarno No. 169/1963 Tanggal 26 Agustus 1963, menjadi penanda betapa pentingnya peran serta posisi petani sebagai entitas bangsa Indonesia.
Di Indonesia, yang disebut petani adalah mereka yang bekerja mengelola lahan. Maka istilah farmer sebenarnya kurang tepat. Farmer dipakai bagi petani yang kaya raya, punya lahan puluhan bahkan ribuan hektar dan hidup di kota besar. Sedangkan petani Indonesia, lebih-lebih di Jawa, rata-rata petani hanya memiliki lahan setengah hektar, bahkan lebih sempit dari itu. Mereka sering disebut; petani gurem. Istilah gurem merujuk pada binatang kecil yang keberadaannya nyaris tidak diperhitungkan manusia. Maka, petani gurem dapat digambarkan sebagai sosok petani kecil yang mencoba bertahan hidup dalam keterbatasan. Bagi mereka yang tergolong petani gurem dan petani buruh, 74 tahun merdeka, terkesan “b” aja.
Dikisahkan dari sejarah Indonesia, disahkannya UUPA No.5 Tahun 1960, merupakan puncak kemenangan perjuangan kaum tani Indonesia sejak abad ke-17 sampai dengan abad ke-20, untuk menolak Undang-Undang Agraria 1870 yang melanggengkan penghisapan kepada buruh tani, tani miskin, dan masyarakat adat oleh kolonialis dan tuan tanah. Dalam kebijakan UUPA tersebut, diatur mengenai hak-hak serta kewajiban kaum tani, mengatur hak atas tanah, serta hak atas sumber-sumber agraria untuk bisa dikelola serta dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kemakmuran petani dan bangsa.
Namun, realita menampilkan sesuatu yang sangat membingungkan. Sedari tahun 1965 sampai di zaman edan, UUPA seperti “dipeti-eskan”. Berbagai kebijakan negara yang lahir, kemudian bertentangan dengannya. Sehingga konflik agraria semakin mencuat. Misal; seperti perampasan tanah milik rakyat yang mengatas namakan “pembangunan”. Halah, k*nt*l! Astagfirullah.
Mahasiswa sebagai agent of change, social control dan makhluk Tuhan yang cengeng perihal perut, maka sudah menjadi kewajiban tergabung dalam aksi massa untuk mendukung kaum tani. Mungkin banyak orang kebingungan, kenapa sih mahasiswa mesti membela petani? Padahal petani digambarkan sebagai sosok bercaping yang membawa cangkul di tangannya. Dalam kedudukan sosial, petani pun sering kali ditempatkan di posisi yang rendah. Dewasa ini, jika anak-anak ditanyai apa cita-cita mereka. Jawabnya; “jadi pilot bu” “jadi anggota dewan bu” “jadi atlet Moto GP bu”. Beragam cita-cita, namun tidak ada yang berkeinginan menjadi petani. Kata mereka; “petani itu miskin bu”. Aih, bukan miskin, tapi sangat miskin! Walaupun begitu, tenang saja, tidak ada petani yang di kirim ke hotel prodeo. Mereka hanya miskin bukan korup, penjilat dan ataupun megalomania.
Huh, lagi pula menjadi petani itu mulia kok. Mbah Hasyim Asy’ari pernah menulis :
“Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan dan dari padanja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean menghendakinja dan di waktoe orang pentjaci-tjaci pertolongan. Pa’ tani itoe ialah pembantoe Negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe diwaktoeja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada Negeri; dan Pa’ tani itoe djoega mendjadi sendi tempat Negeri didasarkan.”
Wajar bila seorang anak berkata demikian, namun sebagai mahasiswa kere, kita mesti membela mereka. Bahkan sampai turun ke jalan, melupakan pacar yang kelaparan dikosan demi membela hak-hak petani. Seperti dua sisi mata uang, profesi petani penuh senyum dan luka menganga. Rasanya tidak berlebihan jika negara memberi penghargaan lebih kepada petani. Paling tidak berterima kasihlah kepada petani, anak petani dan keluarga petani. Sebab, pak Karno pernah berkata; “pangan adalah soal hidup dan mati”. Coba bayangkan, bila para petani mogok menanam padi satu musim saja. Maka, akan banyak mahasiswa ditemukan kejang-kejang akibat over dosis mie bungkus.
Bila ada temanmu yang masih ling-lung bertanya; “kenapa sih kita harus membela petani?”. Mungkin teorinya kangmas Domino Heinrich bisa menjawab alasan sederhananya. Bila lahan pertanian menyempit, maka petani terancam punah. Bila petani punah, maka produksi beras menurun. Sedangkan jumlah penduduk Indonesia terus bertamabah. Bila produksi beras menurun bersamaan dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, maka negara terpaksa meng-impor beras. Bila beras terpaksa impor, maka harga beras akan meningkat. Bila harga beras melonjak, maka mahasiswa mesti mengalokasikan dana rokoknya demi perut. Bila mahasiswa tanpa rokok, mahasiswa kretek sedunia akan berhenti berpikir! Tanyakan pada Einstein; ada apa dibalik e = mc2, jawabnya; ada sejuta rokok yang menginspirasi. Mahasiswa tanpa nasi dan rokok, niscaya Indonesia hancur digilas wabah kelaparan dan sakau massal. Puncak efek domino tersebut berawal dari cacatnya keadilan bagi kaum tani.
Oleh karenanya, sebagai mahasiswa kere dan anak kosan, ayo selamatkan rokok! Eh, maksudnya, selamatkan petani! Jangan cuma rebahan dan nongkrong! Karena tidak ada rebahan dan tongkrongan yang nikmat tanpa nasi dan rokok. Ingat! kang Pidi pernah berucap; “tanpa nasi, hanya akan ada onalisme, tidak akan ada nasionalisme”. Hidup mahasiswa! Hidup petani! (*)
BACA JUGA : Curahan Hati Petani Cabai atau tulisan Muhammad Farid Rizky lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.