Selamat Datang di Purwokerto, Kota Tanpa Ojol di Stasiun

Selamat Datang di Purwokerto, Kota Tanpa Ojol di Stasiun

Selamat Datang di Purwokerto, Kota Tanpa Ojol di Stasiun (unsplash.com)

Wisatawan yang tiba di Stasiun Purwokerto mungkin bingung. Mau naik ojol tapi disuruh nunggu di depan TK.

Purwokerto itu tempat yang nagih buat dikunjungi. Padahal cuma kecamatan, tapi rasanya kayak kota yang berdiri sendiri. Saya pribadi sudah bolak-balik ke sini, selain karena ada saudara di sini, tempat ini juga cocok banget buat healing. Wisata alam kayak Baturraden masih segar meski sudah disambangi. Pokoknya kota ini punya pesona sendiri di tengah keramaian kota besar lainnya.

Belum lagi kuliner khasnya yang enak-enak. Meski sebenarnya milik Banyumas, tapi orang lebih kenal Purwokerto, jadi Banyumas ngalah dulu. Misalnya mendoan, sroto Sokaraja, getuk goreng, hingga nopia.

Akan tetapi semua kenikmatan itu harus ditebus dengan satu cobaan utama. Akses transportasi dari Stasiun Purwokerto ke mana-mana agak ribet dan kurang nyaman.

Tiba di Stasiun Purwokerto harus jalan 500 meter cari ojol

Stasiun Purwokerto termasuk stasiun sibuk karena letaknya sebagai stasiun transit utama di jalur selatan Pulau Jawa. Kereta jarak jauh dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, sampai Surabaya semua lewat sini. Artinya? Banyak penumpang turun.

Tetapi ironisnya, begitu turun dari kereta dan keluar stasiun, kalian pasti bingung. Pilihan transportasi publik minim. Angkot nyaris tak terlihat, ojek pangkalan sibuk menawarkan tarif suka-suka, dan taksi jika pun ada kadang tarifnya nggak tentu.

Transportasi online? Bisa sih, tapi ya itu, zona penjemputan ojol dibatasi. Kita harus jalan kaki dulu ke luar area stasiun supaya bisa dijemput. Di tengah bawaan koper, ransel, dan panas matahari.

Saya pernah mengalaminya sendiri. Turun dari KA Manahan siang hari sekitar pukul 13.00 WIB. Cuaca saat itu lumayan panas. Saya membawa satu ransel dan satu koper. Niat hati langsung pesan ojol supaya cepat sampai, bersih-bersih, lalu lanjut kulineran.

Akan tetapi begitu buka aplikasi dan pesan ojol, tak lama drivernya menelepon dan bilang. “Mbak, jalan dulu ya ke depan TK YWKA II Purwokerto, saya tunggu di depan. Soalnya zona merah.”

Baca halaman selanjutnya: Selamat datang di zona merah…

Selamat datang di zona merah

Ya, kalian nggak salah baca, memang beneran zona merah. Ternyata Stasiun Purwokerto termasuk dalam zona merah untuk ojek dan taksi online. Artinya, mereka dilarang menjemput penumpang di dalam area stasiun. Alasannya klasik: konflik antara ojek online dan ojek pangkalan.

Solusinya? Kalian harus jalan dulu sekitar 500 meter ke arah selatan, ke titik aman terdekat. Depan TK YWKA II Purwokerto.

Lucu memang, stasiun yang super sibuk banyak penumpang naik turun tapi titik jemput ojolnya malah harus pindah ke depan taman kanak-kanak. Kalau kalian sendirian dan cuma bawa ransel, mungkin nggak masalah. Tetapi kalau datang rombongan, bawa koper besar, atau yang paling apes tiba saat malam hari atau pas hujan, ya silakan rasakan sensasinya.

Transportasi umum seperti bis dan angkot juga minim banget di sana. Seolah mereka memaksa kita untuk naik ojek atau taksi pangkalan dengan cara paling halus.

“Kan bisa pakai taksi konvensional dari Stasiun Purwokerto?”

Iya, bisa. Tapi sebagian orang lebih memilih ojol karena tarif yang jelas, transparan, dan bisa disesuaikan dengan kantong. Ada promonya juga.

Taksi atau ojek pangkalan di stasiun kadang pakai tarif lisan: tergantung mood, tampang, dan koper. Selain itu, wisatawan lebih nyaman pakai aplikasi karena bisa langsung diarahkan ke penginapan, tanpa harus menjelaskan arah ke sopir.

Zona merah bikin konflik transportasi: mau liburan malah ditegur ojol pangkalan

Sistem zona merah ini juga memicu konflik antarmoda transportasi. Di depan stasiun, terlihat jelas pengemudi ojek dan taksi konvensional yang menawarkan jasa dengan cara yang kadang cukup agresif. Mereka berebut penumpang dengan driver online yang tidak bisa masuk ke area resmi.

Ini bukan perkara siapa yang lebih baik, ojek pangkalan atau online. Dua-duanya sama-sama cari makan. Tapi sistemnya yang membuat posisi mereka tidak setara.

Di satu sisi, aplikasi online menawarkan transportasi dan kenyamanan. Di sisi lain, pengemudi konvensional merasa hak mereka sebagai “tuan rumah” terganggu. Kalau tidak diatur dengan bijak, konflik ini bakal terus berulang. Bahkan di beberapa kota lain, kita sudah mendengar cerita lebih ekstrem: baku hantam antardriver cuma karena satu orderan.

Fenomena ini terjadi waktu awal-awal ojol datang. Purwokerto sih belum separah itu. Tetapi ketegangan di depan stasiun sudah cukup bikin deg-degan.

Tidak ramah untuk wisatawan: baru datang sudah disuruh jalan nyari ojol

Moda utama, tapi tak disambut dengan baik. Sebagian besar wisatawan datang ke Purwokerto pakai kereta api karena di Kabupaten Banyumas belum ada bandara. Selain itu naik kereta api lebih nyaman, murah, dan langsung sampai ke pusat kota. Tapi begitu turun dari kereta, masalah mulai muncul.

Buat yang sudah pernah atau bolak-balik seperti saya, mungkin langsung melipir ke arah selatan. Tapi buat wisatawan baru? Hmmm… nggak semua orang hafal medan.

Masalah utamanya sebenarnya sederhana: minimnya informasi resmi. Tidak ada papan petunjuk di area stasiun yang mengarahkan penumpang ke titik jemput ojol. Tidak ada peta kecil yang menunjukkan zona merah, apalagi rambu yang menyarankan jalur aman bagi pejalan kaki. Semua dibiarkan serba tahu-sendiri.

Padahal kalau Pemda atau PT KAI mau sedikit peduli, hal kecil seperti ini bisa meningkatkan wisatawan. Tapi ya begitulah, keruwetan kadang bukan karena masalah besar, tapi karena hal kecil yang tidak dipikirkan.

Penulis: Alifah Ayuthia Gondayu
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Jangan Bikin Purwokerto Jadi Jogja Kedua! Kami Butuh Hidup Tenang, Bukan Trending.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version