Baturraden yang dulu, yang di bayangan saya, selayaknya puisi. Ia begitu indah, begitu menenangkan, dan layak dikenang dengan sajak. Tapi Baturraden yang sekarang malah lebih mirip katalog promo yang terlalu banyak halaman. Semuanya ada, semuanya dijual, dan semuanya ingin mendekat, bahkan ke titik seharusnya cuma dedaunan dan gemericik air yang bicara.
Sebagai bocah Banyumas yang tumbuh di tahun 90-an, saya ingat betul bagaimana Baturraden menyambut pengunjung. Udaranya dingin dan warung makannya cuma satu dua. Kalau pagi datang lebih dulu dari matahari, kamu bisa dengar suara air jatuh dari curug seperti lantunan ayat suci. Menenangkan dan sakral.
Sekarang, hal itu mulai mirip mitos. Kini, suara yang dominan justru berasal dari ibu-ibu nawarin pecel di hampir tiap belokan jalan.
Daftar Isi
Dipaksa menikmati lautan manusia
Ke Baturraden hari ini tidak cukup cuma bawa kamera. Harus juga bawa kesabaran, soalnya di mana-mana ada manusia. Jalan kecil di antara pepohonan? Sudah jadi gang ekonomi mikro. Setiap belokan strategis bisa kamu temukan satu dari tiga hal: penjual mendoan, warung bakso, atau orang jualan kaos sablon bertuliskan “I ❤️ Baturraden”.
Padahal waktu kecil, saya masih bisa lari-lari di Taman Kaloka Widya Mandala (mini zoo legendaris itu loh), sambil lihat lutung makan pisang tanpa suara latar dangdut koplo. Sekarang? Kamu bisa lihat rusa, tapi dari kejauhan, karena di antara kamu dan kandangnya ada lima stand penjual sate kelinci.
Entah siapa yang pertama kali menganggap bahwa setiap destinasi wisata harus disumpal dengan penjual. Tapi sejak keputusan itu diambil, Baturraden Banyumas berubah dari tempat healing jadi tempat belanja. Satu-satunya yang tetap tenang cuma air terjunnya, itu pun karena dia tidak bisa protes.
Baturraden “dinodai” penjual
Lucunya, orang datang ke Baturraden Banyumas karena pengin lihat alam. Tapi malah dapet etalase dan terpal warna biru. Kamu bisa lihat betapa absurdnya ini. Sama kayak datang ke restoran Italia buat makan pizza, tapi begitu duduk yang dateng malah bakwan, risoles, dan gorengan tiga ribu dapet dua.
Memang sih, ekonomi lokal itu penting. UMKM harus didukung. Tapi apakah semua itu harus ditempatkan sedekat mungkin dengan air terjun? Apa tidak bisa sedikit digeser ke pinggir supaya pengunjung bisa merasakan kembali bahwa mereka sedang berada di tengah hutan, bukan di Pasar Wage edisi outdoor?
Baturraden hari ini menawarkan semua hal yang tidak kamu cari saat kamu naik ke dataran tinggi: kebisingan, kepadatan, dan kompetisi suara antar-stand.
Dilema klasik: wisata rakyat vs ketertiban alam
Di sinilah dilema klasik muncul. Saat wisata alam jadi terlalu rakyat, maka ia kehilangan ketenangan yang seharusnya jadi identitas. Tapi ketika tempat wisata dibikin terlalu eksklusif dan tertata, nanti dibilang hanya milik orang kaya. Jadi ya begitulah, pemerintah daerah terjebak di tengah. Mau ditertibkan, takut dibilang mematikan ekonomi lokal. Dibiarkan terus, nanti semakin rusak tak tertolong.
Saya percaya, dua hal itu bisa berdampingan. Tapi butuh keberanian dan kecermatan tata ruang. Penjual tetap bisa cari rezeki, asal zonanya jelas dan tidak melanggar batas alami. Jangan semua titik yang datar dijadikan tempat jualan. Hutan ya hutan, pasar ya pasar. Bukan semua hutan dijadikan pasar, dan semua pasar dicat ijo supaya kelihatan “alamiah”.
Kalau perlu, penjual-penjual dikumpulkan di satu area khusus yang dibikin menarik dan bersih. Edukasi bisa ditambah. Misalnya: pengunjung wajib mampir ke area UMKM dulu sebelum masuk ke spot alam. Ini akan membuat alur lebih sehat dan tidak norak.
Belum terlambat, tapi hampir
Baturraden Banyumas hari ini seperti cinta lama yang berubah. Dulu dia pendiam, penyayang, tidak banyak menuntut. Kini ia ribut, demanding, dan selalu pengin difoto.
Tapi jauh di dalamnya, saya tahu Baturraden masih punya wajah lamanya. Kalau kamu berani datang pagi sekali, sebelum penjual-penjual membuka lapak dan pengunjung datang dengan outfit monokrom, kamu masih bisa lihat kabut turun perlahan di atas curug. Kamu masih bisa dengar suara dedaunan yang digoyang angin. Kamu masih bisa mencium aroma tanah basah dan kopi hitam yang bukan sachetan.
Baturraden Banyumas masih bisa jadi tempat merenung. Tapi kamu harus menemuinya di jam-jam sunyi, saat ia belum dirias oleh kapitalisme kecil-kecilan yang merajalela.
Saya tidak ingin romantisme Baturraden berhenti di kenangan. Saya ingin generasi setelah ini bisa naik ke sana dan tidak cuma bawa oleh-oleh gantungan kunci. Tapi ini hanya bisa terjadi kalau semua pihak mau mengalah sedikit. Para penjual bisa diberi ruang sekaligus aturan. Pemerintah bisa menata ulang, asal serius dan tidak setengah-setengah. Dan pengunjung… ya, pengunjung juga harus belajar datang tidak cuma buat foto-foto ala selebgram.
Baturraden bukan sekadar lokasi wisata
Baturraden bukan sekadar lokasi. Ia adalah harmoni antara alam dan manusia. Dan kalau harmoni itu hilang, maka Baturraden akan tinggal nama. Bahkan mungkin, hanya tertinggal dalam kenangan lewat sepenggal lirik lagu campursari.
Baturraden tidak pernah marah. Ia diam, seperti sungai yang tetap mengalir meski sekelilingnya mulai berisik. Tapi justru karena diam itulah kita harus lebih peka. Jangan sampai tempat ini cuma jadi ilustrasi di katalog wisata, tanpa ruh yang menyertainya.
Alam itu tidak butuh banyak hal untuk tampil indah. Ia hanya butuh ruang. Dan kadang, manusia perlu tahu kapan harus berhenti menjual, dan mulai mendengarkan kembali suara air.
Karena kalau semua sudah dijual, lalu apa yang tersisa untuk dikenang?
Penulis: Wahyu Tri Utami
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kalau Masih Sayang sama Pacar, Jangan Ajak Main ke Baturraden