ADVERTISEMENT
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Nusantara

Baturraden Banyumas Kini Tak Lagi Nyaman, Keindahannya Dinodai Penjual yang Jumlahnya Terlalu Banyak

Wahyu Tri Utami oleh Wahyu Tri Utami
9 Mei 2025
A A
Baturraden Banyumas Kini Tak Lagi Nyaman, Keindahannya Dinodai Penjual yang Jumlahnya Terlalu Banyak

Baturraden Banyumas Kini Tak Lagi Nyaman, Keindahannya Dinodai Penjual yang Jumlahnya Terlalu Banyak (Mufid Majnun via Unsplash)

Share on FacebookShare on Twitter

Baturraden yang dulu, yang di bayangan saya, selayaknya puisi. Ia begitu indah, begitu menenangkan, dan layak dikenang dengan sajak. Tapi Baturraden yang sekarang malah lebih mirip katalog promo yang terlalu banyak halaman. Semuanya ada, semuanya dijual, dan semuanya ingin mendekat, bahkan ke titik seharusnya cuma dedaunan dan gemericik air yang bicara.

Sebagai bocah Banyumas yang tumbuh di tahun 90-an, saya ingat betul bagaimana Baturraden menyambut pengunjung. Udaranya dingin dan warung makannya cuma satu dua. Kalau pagi datang lebih dulu dari matahari, kamu bisa dengar suara air jatuh dari curug seperti lantunan ayat suci. Menenangkan dan sakral.

Sekarang, hal itu mulai mirip mitos. Kini, suara yang dominan justru berasal dari ibu-ibu nawarin pecel di hampir tiap belokan jalan.

Daftar Isi

  • Dipaksa menikmati lautan manusia
  • Baturraden “dinodai” penjual
  • Belum terlambat, tapi hampir
  • Baturraden bukan sekadar lokasi wisata

Dipaksa menikmati lautan manusia

Ke Baturraden hari ini tidak cukup cuma bawa kamera. Harus juga bawa kesabaran, soalnya di mana-mana ada manusia. Jalan kecil di antara pepohonan? Sudah jadi gang ekonomi mikro. Setiap belokan strategis bisa kamu temukan satu dari tiga hal: penjual mendoan, warung bakso, atau orang jualan kaos sablon bertuliskan “I ❤️ Baturraden”.

Padahal waktu kecil, saya masih bisa lari-lari di Taman Kaloka Widya Mandala (mini zoo legendaris itu loh), sambil lihat lutung makan pisang tanpa suara latar dangdut koplo. Sekarang? Kamu bisa lihat rusa, tapi dari kejauhan, karena di antara kamu dan kandangnya ada lima stand penjual sate kelinci.

Entah siapa yang pertama kali menganggap bahwa setiap destinasi wisata harus disumpal dengan penjual. Tapi sejak keputusan itu diambil, Baturraden Banyumas berubah dari tempat healing jadi tempat belanja. Satu-satunya yang tetap tenang cuma air terjunnya, itu pun karena dia tidak bisa protes.

Baturraden “dinodai” penjual

Lucunya, orang datang ke Baturraden Banyumas karena pengin lihat alam. Tapi malah dapet etalase dan terpal warna biru. Kamu bisa lihat betapa absurdnya ini. Sama kayak datang ke restoran Italia buat makan pizza, tapi begitu duduk yang dateng malah bakwan, risoles, dan gorengan tiga ribu dapet dua.

Memang sih, ekonomi lokal itu penting. UMKM harus didukung. Tapi apakah semua itu harus ditempatkan sedekat mungkin dengan air terjun? Apa tidak bisa sedikit digeser ke pinggir supaya pengunjung bisa merasakan kembali bahwa mereka sedang berada di tengah hutan, bukan di Pasar Wage edisi outdoor?

Baturraden hari ini menawarkan semua hal yang tidak kamu cari saat kamu naik ke dataran tinggi: kebisingan, kepadatan, dan kompetisi suara antar-stand.

Dilema klasik: wisata rakyat vs ketertiban alam

Di sinilah dilema klasik muncul. Saat wisata alam jadi terlalu rakyat, maka ia kehilangan ketenangan yang seharusnya jadi identitas. Tapi ketika tempat wisata dibikin terlalu eksklusif dan tertata, nanti dibilang hanya milik orang kaya. Jadi ya begitulah, pemerintah daerah terjebak di tengah. Mau ditertibkan, takut dibilang mematikan ekonomi lokal. Dibiarkan terus, nanti semakin rusak tak tertolong.

Saya percaya, dua hal itu bisa berdampingan. Tapi butuh keberanian dan kecermatan tata ruang. Penjual tetap bisa cari rezeki, asal zonanya jelas dan tidak melanggar batas alami. Jangan semua titik yang datar dijadikan tempat jualan. Hutan ya hutan, pasar ya pasar. Bukan semua hutan dijadikan pasar, dan semua pasar dicat ijo supaya kelihatan “alamiah”.

Kalau perlu, penjual-penjual dikumpulkan di satu area khusus yang dibikin menarik dan bersih. Edukasi bisa ditambah. Misalnya: pengunjung wajib mampir ke area UMKM dulu sebelum masuk ke spot alam. Ini akan membuat alur lebih sehat dan tidak norak.

Belum terlambat, tapi hampir

Baturraden Banyumas hari ini seperti cinta lama yang berubah. Dulu dia pendiam, penyayang, tidak banyak menuntut. Kini ia ribut, demanding, dan selalu pengin difoto.

Tapi jauh di dalamnya, saya tahu Baturraden masih punya wajah lamanya. Kalau kamu berani datang pagi sekali, sebelum penjual-penjual membuka lapak dan pengunjung datang dengan outfit monokrom, kamu masih bisa lihat kabut turun perlahan di atas curug. Kamu masih bisa dengar suara dedaunan yang digoyang angin. Kamu masih bisa mencium aroma tanah basah dan kopi hitam yang bukan sachetan.

Baturraden Banyumas masih bisa jadi tempat merenung. Tapi kamu harus menemuinya di jam-jam sunyi, saat ia belum dirias oleh kapitalisme kecil-kecilan yang merajalela.

Saya tidak ingin romantisme Baturraden berhenti di kenangan. Saya ingin generasi setelah ini bisa naik ke sana dan tidak cuma bawa oleh-oleh gantungan kunci. Tapi ini hanya bisa terjadi kalau semua pihak mau mengalah sedikit. Para penjual bisa diberi ruang sekaligus aturan. Pemerintah bisa menata ulang, asal serius dan tidak setengah-setengah. Dan pengunjung… ya, pengunjung juga harus belajar datang tidak cuma buat foto-foto ala selebgram.

Baturraden bukan sekadar lokasi wisata

Baturraden bukan sekadar lokasi. Ia adalah harmoni antara alam dan manusia. Dan kalau harmoni itu hilang, maka Baturraden akan tinggal nama. Bahkan mungkin, hanya tertinggal dalam kenangan lewat sepenggal lirik lagu campursari.

Baturraden tidak pernah marah. Ia diam, seperti sungai yang tetap mengalir meski sekelilingnya mulai berisik. Tapi justru karena diam itulah kita harus lebih peka. Jangan sampai tempat ini cuma jadi ilustrasi di katalog wisata, tanpa ruh yang menyertainya.

Alam itu tidak butuh banyak hal untuk tampil indah. Ia hanya butuh ruang. Dan kadang, manusia perlu tahu kapan harus berhenti menjual, dan mulai mendengarkan kembali suara air.

Karena kalau semua sudah dijual, lalu apa yang tersisa untuk dikenang?

Penulis: Wahyu Tri Utami
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Kalau Masih Sayang sama Pacar, Jangan Ajak Main ke Baturraden

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 9 Mei 2025 oleh

Tags: banyumasbaturraden banyumas
Wahyu Tri Utami

Wahyu Tri Utami

Pembaca buku, penonton film, penulis konten. Sesekali jadi penyelam andal (di internet, bukan di air).

ArtikelTerkait

Inilah Serba-serbi Cerita Kuliah di Unsoed Purwokerto: Jadi Cucu Jenderal dan Nggak Boleh Foto Depan Patung Kuda, dan Bisa Healing ke Baturraden

Inilah Serba-serbi Cerita Kuliah di Unsoed: Jadi Cucu Jenderal dan Nggak Boleh Foto Depan Patung Kuda

12 Oktober 2023
Glempang, Daerah Paling Hedon di Purwokerto dan Menyilaukan bagi Mahasiswa Kota Satria

Glempang, Daerah Paling Hedon di Purwokerto dan Menyilaukan bagi Mahasiswa Kota Satria

6 Juli 2024
Masalah Purwokerto Terminal Bulupitu Menyusahkan Warga (Unsplash)

Masalah Purwokerto: Terminal Bulupitu yang Berpotensi Menyusahkan Mahasiswa dan Warga

8 Juli 2023
Purwokerto, Tempat Tinggal Terbaik di Jawa Tengah (Shutterstock.com)

Purwokerto, Tempat Tinggal Terbaik di Jawa Tengah

16 Mei 2023
Purwokerto-Purbalingga- Saudara Ngapak yang Saling Melengkapi (Unsplash)

Purwokerto dan Purbalingga Adalah Saudara Ngapak yang Bisa Berjalan Secara Beriringan Tanpa Menjatuhkan

29 Juli 2023
Combro Versi Banyumas Isinya Dage, Menyalahi Kaidah Filosofi Kata "Combro"

Combro Versi Banyumas Isinya Dage, Menyalahi Kaidah Filosofi Kata “Combro”

26 November 2023
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
Stasiun Jatinegara Menyimpan Banyak Kenangan, tapi Sayang Trotoarnya Pesing

Stasiun Jatinegara Menyimpan Banyak Kenangan, tapi Sayang Trotoarnya Bau Pesing

4 Alasan Saya Lebih Nyaman Beli Kondom di Apotek, Salah Satunya Bisa Sambil Konsultasi

4 Alasan Saya Lebih Nyaman Beli Kondom di Apotek, Salah Satunya Bisa Sambil Konsultasi

Cerita Pahit 25 Tahun Hidup di Kabupaten Ngawi yang Aneh  Mojok.co

Cerita Pahit 25 Tahun Hidup di Kabupaten Ngawi yang Aneh 

Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

BRT Trans Jateng Rute Wonogiri-Solo, Transportasi Murah untuk Kaum Pekerja, Cukup 1000 Rupiah, Bisa ke Solo dengan Nyaman!

BRT Trans Jateng Rute Wonogiri-Solo, Transportasi Murah untuk Kaum Pekerja, Cukup 1000 Rupiah, Bisa ke Solo dengan Nyaman!

18 Mei 2025
Masih Pantaskah Sewon Bantul Menyandang Sebutan Sewonderland? Mojok.co

Sisi Baik Sewon Bantul, Tempat Tinggal Paling Menyenangkan yang Tidak Banyak Orang Tahu

13 Mei 2025
4 Orang yang Nggak Cocok Tinggal di Gunungkidul dari Kacamata Saya Warga Lokal Mojok.co

4 Orang yang Nggak Cocok Tinggal di Gunungkidul dari Kacamata Saya Warga Lokal

17 Mei 2025
5 Orang yang Nggak Cocok Wisata ke Magelang, Mending Jalan-jalan di Jogja Aja

5 Orang yang Nggak Cocok Wisata ke Magelang, Mending Jalan-jalan di Jogja Aja

16 Mei 2025
Ironi Kabupaten Blora: Menerima Mie Gacoan dengan Tangan Terbuka, tapi Mati-matian Menolak UNY, Lebih Penting Hiburan ketimbang Pendidikan!

Ironi Kabupaten Blora: Menerima Mie Gacoan dengan Tangan Terbuka, tapi Mati-matian Menolak UNY, Lebih Penting Hiburan ketimbang Pendidikan!

18 Mei 2025
Keanehan di Bantul Nggak Ada Apa-apanya Dibandingkan Keanehan di Kabupaten Cilacap

Cilacap, Kabupaten Terluas di Jawa Tengah sekaligus Kabupaten yang Paling Membingungkan

13 Mei 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=Zbmdu5T4vVo

DARI MOJOK

  • Pengunjung Candi Borobudur Capai 100 Ribu Orang Selama Libur Waisak, Ekonomi Daerah Meningkat
  • Sisi Suram Kos Pasutri Jogja, Tetangga Tak Tahu Batasan hingga Jadi Kedok “Hubungan Terlarang”
  • Puluhan Tahun Tinggal di Jagakarsa, Berdamai dengan Hal-hal Menyebalkan di Balik Label “Daerah Ternyaman” Se-Jakarta Selatan
  • Ribuan Warga Kecamatan Kandangan Dibiarkan Menderita Selama 10 Tahun Lebih oleh Temanggung
  • Sulitnya Jadi Mahasiswa Jurusan Sistem Informasi, Disuruh Servis Laptop hingga Dituduh Hacker
  • Sulitnya Pegawai Pinjol Menjelaskan ke Orang Tua soal Pekerjaannya: Ngaku Kerja di Bank hingga Jadi Sasaran Pinjam Uang Tetangga

AmsiNews

  • Tentang
  • Ketentuan Artikel Terminal
  • F.A.Q.
  • Kirim Tulisan
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.