Sekolah swasta lebih bagus ketimbang sekolah negeri itu cuma berlaku di kota besar. Di pinggiran mah, ada murid aja udah bersyukur
Udah jadi rahasia umum kalau kualitas sekolah negeri di Indonesia itu mengecewakan. Guru dibayar di bawah standar, fasilitas yang nggak terawat, sampai korupsi yang di luar nalar kayaknya jadi hal umum ada di sekolah. Terutama di sekolah negeri sebab ya, mau gimana lagi, hal ini kerap ditemukan di sekolah negeri.
Nah, karena kebusukan-kebusukan itu, akhirnya banyak orang tua yang milih buat nyekolahin anaknya di sekolah swasta. Pikiran mereka, sekolah swasta itu kualitasnya jauh di atas sekolah negeri. Mikirnya oposisi biner gitu lah.
Tapi kayaknya itu cuma berlaku di kota atau kabupaten yang maju, deh. Di desa atau daerah pinggiran, sekolah swasta kualitasnya nggak jauh beda sama sekolah negeri. Bahkan bisa lebih buruk.
Daftar Isi
Sekolah swasta di daerah pinggiran itu beda banget sama yang di kota besar
Sebagai orang yang bersekolah SMP dan SMA di daerah pinggiran, saya nggak relate sama pendapat sekolah swasta lebih bagus dari sekolah negeri. Bahkan di daerah saya sekolah negeri masih jadi primadona, kok.
Nggak cuma itu, sekolah-sekolah swasta yang ada di daerah pinggiran malah sering dianggap sebagai sekolah yang jelek. Orang yang mau masuk swasta itu tergolong sedikit, kalau ada pun biasanya jadi jalan terakhir saat nggak keterima di sekolah negeri.
Di daerah pinggiran sekolahnya nggak bisa segede, sehebat, dan semaksimal di kota besar. Banyak sekolah swasta di pinggiran yang gurunya sedikit, muridnya sedikit, sampai bangunannya kecil.
Kalau mau survive mereka juga sering pake gimik buat menarik calon siswa. Misal, ada sekolah swasta yang punya gimik sekolah olahraga. Katanya siswa lulusan sana sering tembus sampai olimpiade nasional. Ada juga yang pake gimik masuknya gratis, iya masuknya doang. Tapi pas udah sekolah bayarannya seabreg.
Tentunya hal ini jauh berbeda dari sekolah swasta di kota yang kesannya eksklusif, mewah, siswanya pintar-pintar, dan fasilitasnya berkualitas. Jangankan punya kualitas yang top notch, di pinggiran banyak yang kekurangan siswa, kok.
Orang pinggiran nggak punya pilihan lain
Beda dengan kalian yang hidup di kota. Yang ke mana-mana serba enak, jalan nggak rusak, dan pilihan sekolah bejibun. Orang desa mah nggak punya banyak pilihan.
Seenggaknya, mereka yang tinggal di daerah pinggiran cuma punya tiga pilihan. Pertama, sekolah di sekolah negeri, masuk ke sekolah swasta, atau cari sekolah yang bagus tapi jauh di luar daerah.
Pilihan pertama, masuk ke sekolah negeri yang kita semua tahu kualitasnya gimana. Tapi ya mendingan daripada harus masuk swasta yang kadang udah mahal, fasilitasnya juga jelek, dan nggak sebagus sekolah negeri.
Pilihan kedua, kalau nggak bisa masuk ke negeri, ya harus masuk swasta. Tapi juga nggak segampang itu. Sekolah swasta biasanya sensitif soal duit, bayaran kurang dikit aja nggak boleh UAS bahkan nggak boleh masuk sekolah kayak yang dialami adik saya. Udah gitu sekolah swasta di pinggiran kualitasnya juga busuk, jadi ya sebenarnya ini bukan pilihan terbaik.
Pilihan terakhir ya harus merantau. Itupun kalau ada biaya dan keberanian. Kalau bisa ya sekalian merantau ke daerah lain dan masuk di sekolah yang bagus. Tapi risikonya juga banyak. Mulai dari biaya membengkak buat kos dan uang jajan, anak yang nggak bisa diawasi, sampai hal-hal lain yang bikin khawatir.
Putus sekolah jadi tak terhindarkan
Pokoknya serba salah, karena hal itu juga banyak orang desa atau orang di daerah pinggiran yang akhirnya ogah nyekolahin anak mereka. Di daerah saya banyak anak-anak yang berhenti sekolah di jenjang SMP karena ketiga pilihan yang sama-sama membelit tersebut.
Hal ini juga jadi bukti kalau pendidikan di negeri ini sama sekali nggak ada merata-meratanya. Kalau tinggalnya di kota sih enak seenggaknya kualitas pendidikan agak bagus dan akses juga gampang.
Lah kalau tinggalnya di kecamatan pinggiran atau kabupaten miskin? Sekolah negeri kualitasnya nggak sebagus itu. Mau masuk sekolah swasta juga sama jeleknya. Kalau kayak gini gimana caranya menggapai Indonesia Emas 2045, yang ada malah jadi Indonesia Cemas 2045.
Penulis: Arzha Ali Rahmat
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.