Kemarin, Mohammad Faiz Attoriq menuliskan keresahannya tentang sekolahnya yang memasang poster foto murid peraih juara olimpiade. Katanya, di sekolahnya sudah biasa melakukan tradisi memasang poster foto bagi murid yang berhasil menjuarai olimpiade. Tenang saja, kawan, bukan hanya sekolahmu. Di tempat saya tinggal juga sudah biasa melihat sekolah-sekolah memasang poster foto muridnya ketika berhasil menjuarai lomba.
Bahkan di Surabaya, tempat saya mengenyam pendidikan tinggi, saya juga sering melihat sekolah-sekolah memasang poster foto saat muridnya menjuarai lomba. Eh, tetapi ngomong-ngomong sebenarnya bukan hanya sekolah saja yang memasang poster foto juara. Sekelas perguruan tinggi pun sering pamer foto ketika mahasiswanya berhasil menjuarai lomba. Bahkan, hingga menggunakan media sosial. Jadi, jangkauannya lebih luas.
Sebenarnya, fenomena sekolah memasang poster foto murid saat juara lomba sudah menjadi hal lumrah di Indonesia. Dan sebenarnya fenomena sekolah memasang poster foto murid saat juara lomba menjadi keresahan lama saya, hingga hampir menjadi bahan kajian skripsi dengan menggunakan teori semiotika. Cuman nggak jadi karena suatu alasan.
Semua demi c u a n
Saya ingin mengkajinya karena fenomena sekolah membuat poster foto murid juara lomba adalah bagian dari permasalahan pendidikan. Kok, bisa? Poster foto murid yang juara lomba menjadi alat bisnis bagi sekolah agar mendapatkan murid banyak.
Semakin banyak sekolah mendapatkan murid, semakin besar mereka mendapatkan bantuan operasional sekolah. Besaran bantuan operasional sekolah sejauh pemahaman saya, berdasarkan akumulasi jumlah murid. Jadi, semakin banyak jumlah muridnya, semakin besar sekolah mendapatkan dana bantuan operasional sekolah dari pemerintah.
Ketika sekolah mendapatkan dana bantuan operasional sekolah dengan jumlah besar, semakin mudah untuk mengelola sekolah dengan baik. Sebab, pihak sekolah bisa menggunakan dana bantuan operasional sekolah untuk pengembangan sekolah. Itu kalau mau berpikiran positif.
Nah, kalau mau berpikir negatif, pemikirannya beda lagi. Semakin besar sekolah memperoleh dana bantuan operasional sekolah, semakin besar celah korupsi. Bagaimana saya tidak mau berpikir negatif, mana kala saya mengetik tentang berita kasus korupsi dana bantuan operasional sekolah di Google, seketika muncul banyak sekali kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala sekolah.
Saya semakin terkejut setelah membaca laporan dari Solopos.com tentang kasus korupsi di sekolah. Laporan memperlihatkan dari 93 kasus korupsi di sekolah, sebanyak 51 kasus merupakan korupsi dana bantuan operasional sekolah. Sungguh mengoyak perasaan.
Biar pemasukan dari SPP stonks
Selain memperlebar peluang sekolah untuk mendapatkan dana bantuan operasional sekolah dengan jumlah besar, kehadiran poster foto murid juara lomba turut membantu untuk meningkatkan pemasukan dana SPP. Sebab, semakin banyak jumlah muridnya, semakin besar pemasukan dana SPP yang diterima oleh sekolah.
Benar, uang SPP berguna untuk memperbaiki pendidikan dan berguna untuk meningkat fasilitas sekolah. Tapi, lagi-lagi kebaikan uang SPP untuk pendidikan, ternyata juga tidak luput dari penyelewengan. Banyak sekali pemberitaan di Google tentang kasus korupsi uang SPP oleh pihak sekolah.
Sudah tahu kan inti dari kelakuan sekolah tersebut? Betul, menarik sebanyak mungkin calon siswa ke sekolah tersebut.
Sekolah bukan faktor utama
Padahal, kalau mau berpikir ulang, kecerdasan anak menyerap ilmu pengetahuan tidak seutuhnya ditentukan oleh sekolah. Dalam kacamata sosiologi pendidikan, kecerdasan murid paling dominan bergantung pada faktor diri sendiri. Dengan kata lain, guru hanya menjadi fasilitator saja.
Banyak sekali kasus orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah favorit, tetapi anaknya tetap tidak pintar. Penyebabnya adalah anaknya malas belajar di rumah dan saat di sekolah justru tidak mendengarkan penjelasan gurunya.
Ya, itu kalau mau berpikir dengan akal sehat. Sayangnya, di era modern, pendidikan semakin kejam. Kekejaman bisa terlihat bahwa akal sehat masyarakat bisa dimanipulasi dengan produksi simbol kemapanan sekolah melalui pertunjukan prestasi murid-muridnya menggunakan poster. Melalui simbol poster prestasi murid, akal sehat masyarakat sudah tidak lagi berfungsi dengan baik.
Jadi jangan heran kalau sekolah sekarang bukan lagi terlihat sebagai tempat pendewasaan dan pengembangan diri. Sekolah sekarang lebih terlihat sebagai marketplace. Lantaran, sekolah saling berlomba untuk memamerkan prestasi muridnya.
Ironisnya dengan kondisi begitu, murid bukan lagi dianggap sebagai manusia, melainkan sebagai robot yang diperalat untuk kepentingan sekolah semata. Miris!
Penulis: Akbar Mawlana
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGAÂ Siswa yang Menang Lomba, Sekolah yang Dapat Piala