Beberapa waktu lalu media sosial Twitter lumayan gempar soal produk makanan tanpa ijin BPOM atau PIRT yang dapat surat panggilan polisi. Buat banyak orang yang awam tentang regulasi pangan dan perdagangan, mungkin isu ini hanya selingan sambil lalu di tengah gegap gempita pesta badminton Thomas dan Uber Cup. Akan tetapi, buat saya yang kuliah dan kerja di bidang teknologi pangan, fenomena tersebut jadi ganjil sekali.
Kalau benar ceritanya adalah UMKM atau industri pangan rumah tangga kecil-kecilan mendapat “undangan klarifikasi” dari polisi, bahkan diancam pidana, aneh banget! Untuk mengklarifikasi kecurigaan saya pada anehnya kejadian tersebut, saya melakukan riset kecil-kecilan tentang cara kerja dan prosedur BPOM tentang hal ini.
Saya kemudian mencari tahu lebih dalam soal bisakah produsen makanan UMKM atau industri rumah tangga dipidanakan karena tidak memiliki ijin BPOM dan PIRT. Dan ini temuan saya.
Di BPOM ada deputi khusus yang menangani urusan produk ilegal. Dan seharusnya memang urusan produk UMKM makanan begini nggak bisa serta merta langsung naik ke ranah pro justicia. Tetapi, bisa melalui pembinaan terlebih dahulu. Yang dimaksud produk ilegal ya yang pake boraks dan formalin misalnya.
Pembinaan yang dimaksud berupa pendampingan dari BPOM. Apabila setelah diselidiki, ternyata masalahnya adalah ketidaktahuan produsen mengenai syarat izin edar. Ada mekanisme surat peringatan dari BPOM agar produsen makanan melakukan perbaikan. Terdapat pula layanan konsultasi yang dibutuhkan oleh produsen, selama masa perbaikan diri tersebut.
Nah, sekarang untuk memahami apa saja produk yang boleh menggunakan PIRT tanpa label BPOM, saya akan coba rangkum Peraturan BPOM nomor 22 tahun 2018 (PBPOM 22/2018) tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga. Kenapa PIRT, sederhana, gratis, mudah, kamu hanya perlu mengikuti serangkaian pelatihan gratis dari Dinas Kesehatan setempat untuk mendapatkan label PIRT.
Berdasarkan PBPOM 22/2018 tersebut, ada 15 kategori pangan yang “cukup” PIRT saja, nggak perlu ijin BPOM untuk sekedar melakukan aktivitas perdagangan. Di antaranya adalah hasil olahan daging, unggas, ikan sebagai produk kering, hasil olahan sayur, buah, kelapa, biji-bijian, kacang-kacangan, dan umbi, tepung dan hasil olahannya, minyak dan lemak, selai, jeli dan sejenisnya, gula dan madu, kopi dan teh kering, bumbu, rempah, dan terakhir minuman serbuk. Lihat penjelasan lebih detail pada Lampiran 2 PBPOM 22/2018.
Dari temuan saya, produk makanan wajib mencantumkan izin edar BPOM atau tidak. Bukan tergantung pada seberapa besar skala industri atau produksi yang dijalankan, tetapi berdasarkan apa jenis produk makanan yang dijual. Selain produk yang disebutkan pada Lampiran 2 PBPOM 22/2018 tersebut, maka produsen wajib mengurus izin edar melalui BPOM.
Berapa sih bayarnya buat ngurus produk kita ke BPOM? Nggak mahal, asli, menurut Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 2017 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada BPOM, untuk kategori pangan olahan, bahkan biaya paling murahnya cuman dua ratus ribu doang. Ditambah lagi, menurut penuturan teman saya itu, kalau UMKM bakal dapat diskon 50 persen. Nah, loh!
Jadi, kalau produk kalian adalah frozen food olahan daging basah, ya segera urus ke BPOM. Akan tetapi, kalau produknya olahan tepung, misalnya mi basah atau kering, lantas dapat surat panggilan polisi, ada sesuatu yang janggal di sini. Saran saya, sebelum memenuhi panggilan polisi, minimal punya kontak LBH terdekat lah, kalau-kalau ya kan? Namanya urusan hukum, atau ya udah ikhlasin aja, lumayan bisa jadi thread “Twitter do your magic”.
Terakhir, saya menemukan banyak cerita atau anggap saja rahasia umum yang sering ditemui dan dialami oleh banyak pegiat kuliner. Banyak yang curhat kalau hal seperti itu (baca: dapat surat panggilan polisi) memang sering terjadi. Sekarang jadi tahu kan? Selain #PercumaLaporPolisi dan polisi banting mahasiswa demo, polisi juga bisa menuntut produksi makanan kalian lewat jalur pidana. Amazing!