Sebenarnya, Surabaya Maunya Jadi Apa?

Kata Siapa Surabaya Romantis kalau Malam Hari? Lebih Ngeri sih, Iya!

Kata Siapa Surabaya Romantis kalau Malam Hari? Lebih Ngeri sih, Iya! (Unsplash.com)

Saya mengenal Surabaya sebagai Kota Pahlawan, kota yang kaya dengan warisan budaya. Dan saya adalah mahasiswa yang dituntut untuk mengkritisi kota Surabaya sebagai kota kreatif. Bukannya bagaimana, sebagai penghuni kota sebelah saya sudah berpikir bahwa Surabaya adalah kota heritage dan sejarah. Membayangkan Surabaya sebagai kota kreatif agaknya masih belum terlalu nyantol di pikiran saya saat ini.

Dan tiba-tiba, muncul wacana bahwa Surabaya memiliki potensi besar menjadi kota kreatif karena memiliki beberapa faktor pendukung salah satunya ketersediaan SDM yang berkualitas dan berbakat. Yang nantinya diharapkan mampu menghasilkan karya-karya kreatif yang inovatif dan kompetitif.

Lho, bentar-bentar, kok tiba-tiba arahnya ke situ?

Surabaya sendiri sebenarnya sudah memperkuat rencana sebagai Ibu Kota Digital Asia yang mana sudah dibentuk bentuk dari beberapa agenda konferensi internasional Startup Nasions Summit (SNS). Acara ini diadakan pada tanggal 14 hingga 15 November 2018 dengan acara Inno Creativation dan Bekraf Festival 2018 pada 14 hingga 17 November 2018 dan selanjutnya ditutup dengan Mlaku-Mlaku Nang Tunjungan. Hal ini dilanggengkan agar Surabaya menjadi pusat Industri Kreatif di Asia dan ASEAN serta mengimplementasikan Teknologi Informasi kota tersebut.

Untuk mendukung Surabaya sebagai bagian dari implementasi kota yang mendukung industri kreatif, Surabaya telah membentuk Surabaya Creative Network (SCN) pada Februari 2016 lalu. Juga menjadi salah satu kota yang terlibat dalam Creative Cities Network (CCN) UNESCO sejak tahun 2021, dengan bidang fokus sastra. Yang mana keterlibatannya bertujuan sebagai penghubung kota-kota yang berkomitmen mempromosikan kreativitas dalam SDGs. Juga adanya komunitas dan jejaring yang kuat dan aktif yang bisa mendorong kolaborasi, pertukaran, dan pembelajaran para pelaku indutri kreatif. Seperti konsep Creative City oleh Charles Landry dalam bukunya The Creative City yang menyebutkan bahwa menjadi kota kreatif harus memiliki Creative Class.

Baca halaman selanjutnya: Kreatif tidak sama dengan sejahtera…

Kreatif tidak sama dengan sejahtera

Tapi ada yang agak miss dalam opini Charles Landry bahwa memiliki kelas kreatif (Creative Class) bisa mendukung SDM sebuah kota, apalagi ekonomi masyarakat itu sendiri. Benar bahwa creative city merupakan bagian dari kita yang bisa beradaptasi dan bertahan dengan perkembangan zaman. Namun, agaknya sedikit terlupakan bahwa menjadi kreatif sudah keluar dari konteks kesejahteraan.

Studi di Berlin ibukota Jerman contohnya, tidak menjamin bahwa menjadi kota kreatif akan menjadikan SDM-nya sejahtera. Pada 2012 lalu, Berlin memiliki tingkat pengangguran tertinggi di Jerman dengan rincian 30% ilmuwan sosial dan 40% seniman menganggur. Ada banyak dilematis dalam tubuh “Kota Kreatif” yang akhirnya memaksa Richard Florida mengklarifikasi dan meminta maaf terkait kalimatnya pada Manifesto Not in Our Name (NiON). Berawal dari tahun 2002 Richard Florida meluncurkan sebuah buku berjudul The Rise of Creative Class, gagasannya mengenai peran pekerja dan ekonomi kreatif. Menurutnya pertumbuhan kota kreatif bisa menjamin kehidupan para pekerja kreatif.

Namun yang jadi pertanyaan dalam Surabaya Creative City, apa yang bisa saya pikirkan dengan kota ini? Bangunan-bangunannya yang megah? Laju pertumbuhan pembangunan yang sangat cepat dan pesat? Bukan. Yang saya pikirkan Surabaya adalah kota yang menciptakan kenangan tentang lgu-lagu fenomenal jaman 90-an atau tentang warisan budaya seperti ludruk dan lontong balapnya yang tiada duanya. Creative City agaknya bisa dibangun dalam konsep seperti itu, namun agaknya para pegiat Creative City tidak tertarik untuk mengangkatnya sebagai identitas asli Surabaya. Sayang sekali. Padahal Surabaya sangat kaya akan budaya dan sejarah.

Surabaya itu mau jadi apa sebenarnya?

Yang familiar dengan Sparkling Surabaya pasti paham bagaimana perjalanan branding kota yang digunakan oleh Surabaya sejak tahun 2006 ini. Tujuannya untuk mengubah citra Surabaya sebagai kota industri menjadi kota wisata yang dinamis, semarak, dan berwawasan global. Dari sini saja sudah bisa ditangkap bahwa Surabaya bukan akan dicitrakan sebagai kota yang kaya warisan sejarah dan budaya. Padahal berangkat dari sejarah pun, kota ini tidak kehilangan jati dirinya yang macho dan elegan itu.

Terlihat bahwa masalah sebenarnya adalah inkonsistensi Surabaya dalam membangun branding kota. Satu sisi dia dikenal sebagai kota sejarah, satu sisi dia dikenal dengan wajah yang benar-benar berbeda.

Pertanyaannya adalah, sebenarnya Surabaya itu mau jadi apa?

Penulis: Dliyaun Najihah
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Bagi Orang Madura, Surabaya Adalah Surga Dunia

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version