Kreatif tidak sama dengan sejahtera
Tapi ada yang agak miss dalam opini Charles Landry bahwa memiliki kelas kreatif (Creative Class) bisa mendukung SDM sebuah kota, apalagi ekonomi masyarakat itu sendiri. Benar bahwa creative city merupakan bagian dari kita yang bisa beradaptasi dan bertahan dengan perkembangan zaman. Namun, agaknya sedikit terlupakan bahwa menjadi kreatif sudah keluar dari konteks kesejahteraan.
Studi di Berlin ibukota Jerman contohnya, tidak menjamin bahwa menjadi kota kreatif akan menjadikan SDM-nya sejahtera. Pada 2012 lalu, Berlin memiliki tingkat pengangguran tertinggi di Jerman dengan rincian 30% ilmuwan sosial dan 40% seniman menganggur. Ada banyak dilematis dalam tubuh “Kota Kreatif” yang akhirnya memaksa Richard Florida mengklarifikasi dan meminta maaf terkait kalimatnya pada Manifesto Not in Our Name (NiON). Berawal dari tahun 2002 Richard Florida meluncurkan sebuah buku berjudul The Rise of Creative Class, gagasannya mengenai peran pekerja dan ekonomi kreatif. Menurutnya pertumbuhan kota kreatif bisa menjamin kehidupan para pekerja kreatif.
Namun yang jadi pertanyaan dalam Surabaya Creative City, apa yang bisa saya pikirkan dengan kota ini? Bangunan-bangunannya yang megah? Laju pertumbuhan pembangunan yang sangat cepat dan pesat? Bukan. Yang saya pikirkan Surabaya adalah kota yang menciptakan kenangan tentang lgu-lagu fenomenal jaman 90-an atau tentang warisan budaya seperti ludruk dan lontong balapnya yang tiada duanya. Creative City agaknya bisa dibangun dalam konsep seperti itu, namun agaknya para pegiat Creative City tidak tertarik untuk mengangkatnya sebagai identitas asli Surabaya. Sayang sekali. Padahal Surabaya sangat kaya akan budaya dan sejarah.
Surabaya itu mau jadi apa sebenarnya?
Yang familiar dengan Sparkling Surabaya pasti paham bagaimana perjalanan branding kota yang digunakan oleh Surabaya sejak tahun 2006 ini. Tujuannya untuk mengubah citra Surabaya sebagai kota industri menjadi kota wisata yang dinamis, semarak, dan berwawasan global. Dari sini saja sudah bisa ditangkap bahwa Surabaya bukan akan dicitrakan sebagai kota yang kaya warisan sejarah dan budaya. Padahal berangkat dari sejarah pun, kota ini tidak kehilangan jati dirinya yang macho dan elegan itu.
Terlihat bahwa masalah sebenarnya adalah inkonsistensi Surabaya dalam membangun branding kota. Satu sisi dia dikenal sebagai kota sejarah, satu sisi dia dikenal dengan wajah yang benar-benar berbeda.
Pertanyaannya adalah, sebenarnya Surabaya itu mau jadi apa?
Penulis: Dliyaun Najihah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Bagi Orang Madura, Surabaya Adalah Surga Dunia