Ngomong-ngomong soal parenting, kok kayaknya tua amat, ya? Wahai kaum yang beranggapan demikian, percayalah, parenting bukan soal usia dan status. Ini kewajiban kita semua, meskipun kita juga masih dalam masa pengasuhan.
Parenting di segala zaman bukan sekadar pola asuh suami-istri terhadap anaknya. Bahkan untuk manusia-manusia yang belum berkeluarga sekali pun, baiknya sudah mengenal ilmu parenting. Organisasi terkecil dalam kehidupan kita, keluarga, pasti punya goals. Untuk mencapai tujuan-tujuan itulah diperlukan adanya upaya untuk mencapainya. Pengorganisasian inilah yang menggunakan ilmu parenting sebagai dasar. Sederhananya, semakin awal kamu mengenal dunia parenting, akan semakin mudah jalan hidupmu ke depan. Hiyaaa…
Pembahasan ini kita fokuskan dari sisi pandang orang tua terhadap anaknya, ya, shaaay. Orang tua pasti punya harapan besar terhadap kesuksesan anaknya. Bagi yang belum berkeluarga, mari kita mulai berhalusinasi. Seandainya kita sudah menjadi orang tua, tentu harapan kita hanya pada anak. Masa depan, gizi, tumbuh kembang, pengetahuan, dan segala problematika anak pun menjadi hal yang perlu dipikirkan. Singkatnya, keinginan agar anak meraih kesuksesan pasti ada dalam benak tiap orang tua. Di sini kita tidak membahas perihal bentuk kesuksesan, ya, sebab tiap orang punya kadar sukses masing-masing. Yang kita bahas adalah teknis, jalan, cara, atau metode menuju jalan yang bernama sukses.
Biasanya, orang tua memiliki norma tersendiri untuk diterapkan dalam keluarganya. Sebutlah do’s and don’ts-nya. Penerapan ini akan berdampak pada sang anak ke depannya,tentunya dengan konsistensi diri anaknya juga.
Misalnya saat masa-masa sebelum ujian. Dulu ketika zaman belum ramai dengan internet, orang tua saya menyita handphone sejak sebelum ujian hingga masa ujian berakhir. Hal ini berdampak pada saya. Tentunya tidak ada distraksi selama belajar dan fokus lebih meningkat. Sumber belajar berupa buku dirasa sudah mencukupi untuk bekal ujian. Tak ada alasan untuk googling, cari info ujian, ataupun alibi lainnya. Penyitaan ini berdampak pada masa ujian semester berikutnya. Saya jadi lebih aware terhadap distraktor yang satu ini. Sebelum orang tua menyita, saya sudah menyerahkannya lebih dahulu. Itulah contoh sederhananya.
Izinkan saya memberi contoh yang lebih sederhana lagi. Coba dipikir, kira-kira orang tua mana, sih, yang pengen terus-terusan cebokin anaknya? Nggak ada lah, ya. Nah, dari sini muncul ide dari seorang ayah.
“De, nanti Ayah belikan sepeda ya kalau udah bisa cebok sendiri.”
Sounds weird nggak, sih? Tapi, ini penting banget. Dari syarat yang diajukan seorang ayah inilah yang memotivasi anaknya untuk nggak jijik sama tainya sendiri. Inilah prinsip rewarding, bukan sekadar memberi hadiah, tetapi menghargai atas adanya sebuah usaha.
Rewarding ini akan membuat anak bangga. Mereka akan berpikiran bahwa mereka cukup hebat untuk menjawab tantangan dari orang tuanya. Hadiah yang diterimanya juga akan lebih berkesan karena berasal dari hasil jerih payah. Ingat lagu Kring-Kring Ada Sepeda karya Maestro Soerjono alias Pak Kasur?
“Kring kring kring ada sepeda, sepedaku roda tiga
Kudapat dari Ayah karena rajin bekerja”
Lirik di baris-baris berikutnya pun mengajarkan kita tentang konsep rewarding. Lagu ciptaan Pak Kasur benar-benar mulia. Setiap ada usaha, akan ada jasa yang diberikan. Usaha adalah koentji. Tanpa usaha, pintu tidak akan terbuka, hadiah tak akan tiba.
Dilema dalam rewarding muncul ketika anak menjadi tuman terhadap hadiahnya. Ia hanya akan melakukan sesuatu jika diberikan timbal baliknya. Jika tidak ada iming-iming, langsung merengut. Kira-kira, bagaimana solusinya, ya?
Sembari memberikan rewarding atas pencapaian sebuah prestasi, perlu ditekankan pula untuk mengajarkan konsep ikhlas pada anak. Orang tua perlu memberikan pandangan bahwa segala sesuatu yang dilakukan belum tentu mendapat balasan secara langsung. Ibarat kamu mengejar cintanya, tapi dia menolaknya. Hiks. Izinkan saya mengganti perumpamaan. Bagi umat Islam, tentunya tidak asing dengan Surah Al-Ikhlas. Meskipun berjudul “Al-Ikhlas” namun dalam ayat-ayatnya yang tertulis pada mushaf tidak ada kata “ikhlas” satu pun.
Berikan penjelasan pada anak bahwa ada Maha Besar Tuhan yang telah mengutus malaikatnya untuk mencatat tiap kebaikan. Tiap catatan kebaikan itu terkonversi dengan hal abstrak yang kita sebut pahala. Jelaskan bahwa pahala inilah reward yang sebenarnya, reward yang kontan masuk dalam list kebaikan. Ingatkan pula bahwa utusan malaikat Tuhan tidak hanya satu. Ada pula yang bertugas mencatat keburukan. Anak perlu diberikan motivasi agar mengupayakan catatan kebaikannya lebih banyak. Dengan perlahan, anak akan mengerti. Hingga pada waktu yang tepat, sampaikanlah, “Lakukan segala kebaikan demi Penciptamu, Nak.”
Terlepas dari membimbing anak, adik, ataupun orang yang lebih muda dari kita, sepatutnya kita juga memberikan bimbingan pada diri sendiri. Jangan sampai kita yang mengajarkan justru kita juga yang mengabaikan. Satu hal lagi, siapkan jawaban jika suatu waktu anak bertanya,”Ayah/Ibu, kalau memberi hadiah pahala, kan? Kenapa nggak kasih Adik hadiah setiap hari aja? Kan berpahala juga.”
Selamat berpikir.
BACA JUGA Yogyakarta yang Istimewa Tengah Putus Asa Ditelanjangi Covid-19.