Saya ingin menggugat penulis Ramayana. Dengan ini saya membela Sinta dengan sesadar-sadarnya.
Rama dan Rahwana adalah pusat perhatian dalam kisah Ramayana. Saya kira tokoh Sinta seperti tak punya peran lebih selain diculik, ditawan, diperebutkan, disuruh membuktikan kesuciannya, dan akhirnya dibuang. Bagi banyak orang, Sinta melambangkan kesetiaan. Tetapi bagi saya, Sinta itu sungguh keterlaluan lugunya. Ah iya, memang kadang jatuh cinta itu membuat orang mendadak goblok.
Justru saya terkagum-kagum dengan Rahwana. Selama dua belas tahun ia menawan Sinta, sama sekali tak pernah disentuhnya. Mana ada lelaki setangguh itu dalam mencintai, selain Rahwana? Ayo, kalau ada bilang. Memang sebenarnya Rahwana tidak mengejar Dewi Sinta, tetapi ia mengejar sosok yang menitis dalam Sinta, Dewi Setyawati yang begitu ia idam-idamkan.
Rahwana yang terkenal akan sifatnya yang grusa-grusu dan mudah marahnya karena ia berasal dari bangsa raksasa, berbanding terbalik ketika ia memperlakukan Dewi Sinta dengan sangat halus. Lagi-lagi, kasmaran menjadikan seseorang berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat.
Gunawan Wibisana, adik Rahwana, tidak setuju dengan ditawannya Dewi Sinta, memilih pergi dari Negara Alengka dan bergabung dengan bala tentara Rama. Sebagai yang pernah menjadi warga Alengka sekaligus adik raja, Wibisana tahu rahasia-rahasia kelemahan Alengka dan membocorkannya kepada Rama Wijaya. Sungguh adik yang durhaka.
Perang antara bangsa raksasa dan kera juga menjadi sia-sia. Rahwana mati dengan diimpit gunung, Sondara dan Sondari. Begitu juga adik-adiknya, Kumbakarna dan Sarpakenaka yang mati di peperangan membela sang kakak. Sinta kembali ke Rama. Dan Wibisana menjadi raja di Alengka.
Sinta kembali ke Rama bukan menjadi akhir dari segala masalah. Masalah lain timbul. Rama dan Sinta sama-sama tidak percaya akan kesetiaan masing-masing. Selama dua belas tahun terpisah, apakah Sinta masih suci? Apakah Rama tidak berpaling ke wanita lain? Nasib Sinta tidak membaik selepas menjadi tawanan di negeri Alengka. Dari sini sudah terlihat bahwa hubungan keduanya termasuk dalam toxic relationship ketika kepercayaan satu sama lain hilang.
Untuk membuktikan kesuciannya, Sinta disuruh untuk membakar diri. Duh, Gusti, Rama kok tega sekali kepada Sinta. Mbok ya diterima saja. Toh bukankah yang diinginkannya adalah kembalinya Sinta ke pelukannya? Saya jadi curiga dengan Rama. Apakah benar cintanya tulus? Atau ada niat lain ketika mengalahkan Alengka? Sebagai raja, pastinya ingin membuktikan kegagahannya dengan menaklukkan negara lain. Memperluas wilayahnya.
Tak berhenti sampai di situ, atas desakan warganya pula, Rama membuang Sinta ke hutan dalam keadaan hamil. Catat, dalam keadaan hamil. Nggateli Menyebalkan sekali. Jika saya Sinta, pasti akan menyesal jatuh cinta kepada Rama.
Segitu tidak berdayanya penggambaran perempuan dalam Ramayana. Diculik lalu diperebutkan dengan berdarah-darah. Namun, akhirnya ia dibuang untuk membuktikan kesuciannya. Dengan ini saya menggugat penulisnya. Memperlakukan tokoh wanita dengan tidak adil. Tidak perlu jadi sesama perempuan untuk prihatin akan nasib Mbak Sinta.
Dan seandainya saya adalah tokoh Sinta dalam Ramayana, akan saya cegah peperangan besar itu. Agar tak banyak mati sia-sia hanya karena perempuan. Bukankah lebih baik bila antara dua negara terjalin kerja sama bilateral yang saling menguntungkan? Negara Alengka dan Ayodya. Juga agar Wibisana, si adih Rahwana itu, tidak mengkhianati kakaknya sendiri.
Maka, kejadiannya akan seperti ini.
Saya tengah asyik menikmati pemandangan taman Argasoka bersama Dewi Trijata. Saat itu saya tidak sadar bahwa Paman Hanuman telah berada di taman keputren dan bersembunyi di balik pohon Nagasari. Tak lama setelah itu, ia menampakkan diri di hadapan saya.
“Paman Hanuman? Ada apa engkau jauh-jauh ke sini, Paman?”
Ia segera mengeluarkan cincin bermata merah. “Saya hendak menyampaikan cincin ini dari Rama, Sinta. Bahwa Rama akan menjemputmu, sabarlah. Kami sedang merencanakan taktik untuk menjemputmu, Dewi Sinta.”
“Terima kasih, Paman Hanuman. Perjuanganmu dari seberang lautan ke Alengka ini, juga usaha Kakangmas Rama untuk menjemput Sinta. Sampaikan kepada kakangmas Rama bahwa Sinta baik-baik saja di sini dan sangat bahagia. Rahwana memperlakukan Sinta dengan sangat baik.
“Tetapi, Paman Hanuman. Sampaikan pula permintaan maaf saya kepada Kakangmas Rama. Kakangmas Rama beserta wadyabalanya tidak usah menjemput saya, jika akhirnya malah terjadi peperangan. Apalagi hanya demi Sinta. Sinta akan memilih menetap di Alengka, Paman. Mungkin beberapa minggu lagi, Sinta akan mengajukan gugat cerai kepada Kakangmas Rama. Ia terlalu lama membiarkan Sinta ditawan hingga dua belas tahun.”
Kembalilah Hanuman kepada Rama membawa pesan dari saya. Seminggu setelahnya, saya benar-benar mengajukan cerai Rama karena sudah membiarkan istri tercintanya ditawan selama dua belas tahun. Saya tidak mau peperangan terjadi, agar tidak banyak orang mati sia-sia. Tanpa saya juga harus membuktikan kesucian dengan membakar diri. Biarlah saya memilih Kakangmas Rahwana saja, yang cintanya lebih, yang lebih tahu cara menghargai perempuan.
BACA JUGA Cinta dan Benci Untuk Dokter Tirta Mandira Hudhi.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.