Waktu SD, pengetahuan agama Islam saya bisa dibilang lebih baik dari teman-teman sebaya saya. Di madrasah sore, teman-teman sekelas saya semuanya kakak kelas saya di SD. Nilai pelajaran agama saya di Ujian Akhir Sekolah tertinggi se-Kecamatan. Saya mewakili sekolah untuk lomba PAI (Pengetahuan Agama Islam) dan jadi juara satu di tingkat Kabupaten. Dan ini ada hubungannya dengan cerita saya sebagai pemberi cap ahli neraka.
Dulu, kalaupun akhirnya saya ranking satu di kelas 6 SD setelah sebelumnya selalu ranking 2, menurut bapak saya, itu bukan karena nilai saya terbaik, tapi karena sekolah lebih senang pada saya yang untuk pertama kali membawa namanya berkibar di perlombaan tingkat Provinsi.
Tapi, tidak ada lomba dengan teknologi penilaian secanggih apa pun yang bisa mengukur kadar keislaman seseorang. Mungkin saat itu pengetahuan keislaman saya memang lebih baik, tapi bisa jadi kadar keislaman saya tak lebih baik dari teman saya kebanyakan. Terlepas fakta bahwa saat itu kami kebanyakan belum balig, namun ada kisah dalam Islam yang membuat saya begitu tersindir. Berkaitan dengan masa kecil saya yang pernah hobi “memberi cap” ahli neraka pada seseorang.
Kisah ini sangat masyhur dalam literatur keilmuan Islam yang dimuat dalam kitab Shohih Muslim dan Ihya’ Ulumuddin, dan pernah diceritakan oleh Gus Baha’ dalam ngajinya. Suatu hari, ada seseorang dari Bani Israil yang menginjak kepala seorang abid (orang yang beribadah) yang sedang sujud. Sontak, abid tersebut pun murka. Ia bersumpah demi Allah dan mengatakan orang yang menginjak kepalanya tidak diampuni Allah. Katanya, “Wa Allahi, la yaghfiru Allah li fulan.” (Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni fulan). Allah kemudian berfirman, “Siapa orang yang bersumpah atas nama-Ku bahwa aku tidak mengampuni fulan? Sesungguhnya Aku sungguh telah mengampuni fulan, dan Aku menghapus pahala amalmu.”
Dijelaskan oleh Gus Baha’, selain berstatus “Yang menyiksa”, Allah juga berstatus “Yang mengampuni”. Tidak fair, bila si abid tadi dengan bersumpah atas nama Allah menggugurkan Allah sebagai Dzat Yang maha pengampun dan dengan yakin mengatakan Allah tidak mengampuni fulan. Bagaimanapun, potensi seorang fasik berbuat dosa untuk taubat dan diberi ampunan oleh Allah itu tetap ada. Kita tidak bisa memutus rahmat (kasih sayang) Allah dari siapa pun, sefasik apa pun orang itu.
Kisah ini juga mengajarkan kita untuk tidak mengagungkan diri sendiri dan berlaku sombong pada siapa pun, sekalipun itu orang yang menyakiti kita. Amal ibadah kita tidak bisa dijadikan legitimasi bagi kita untuk melaknat orang. Jangan sampai hanya karena merasa punya banyak amal ibadah yang belum ada kepastian diterima, kita bertindak sebagaimana kisah abid di atas, yang melibatkan Tuhan dalam kemarahanya, sampai-sampai mereduksi status Allah sebagai Dzat Yang maha mengampuni.
Saya sendiri sangat tersindir dengan kisah ini karena punya pengalaman yang mirip saat saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Waktu itu, sebagaimana lazimnya anak-anak, kawan-kawan mengisi jam istirahat sekolah dengan bermain-main berbagai macam permainan, seperti bermain sepakbola, delikan, betengan, bekelan, dan sebagainya. Tapi, ada juga yang mengisinya dengan menggoda teman lainya. Ada yang menyembunyikan topi upacara, menggoda kawan perempuan, menyembunyikan buku, dan sebagainya.
Suatu hari, saya diganggu oleh adik kelas saya. Saya lupa alasan kenapa ia mengganggu saya, pastinya masalah yang tidak besar-besar amat sewajarnya anak-anak dan jelas bukan masalah ibadah seperti kisah abid di atas. Yang pasti, waktu itu ia membuat saya begitu jengkel dan marah.
Meskipun ia adik kelas, ia pernah tinggal kelas, jadi usia kami seumuran dan badanya lebih besar. Didorong oleh kemarahan ala anak-anak yang membuncah, saya memberanikan diri mendatanginya di kelas. Saya tidak mengajaknya bertengkar atau mengumpatnya waktu itu, tapi apa yang saya katakan padanya mungkin lebih sembrono dan menyakitkan, “Akan masuk neraka kamu!” Ia hanya tertawa setelah saya menyebutnya ahli neraka. Entah antara tidak mengerti atau sudah paham dengan tidak berartinya omongan saya.
Saat mengatakan itu, tentu saya tidak berpikir panjang. Saya sudah terlanjur terbawa emosi layaknya anak-anak yang masih labil. Pengetahuan agama saya yang tak seberapa juga tidak saya jadikan pertimbangan untuk menuduh seseorang jadi ahli neraka secara ngawur.
Itu terjadi memang murni karena emosi atas penghinaan terhadap saya pribadi. Ketika saya merasa punya pengetahuan agama yang lebih baik daripada dia dan mungkin waktu itu saya sadar akan kalah dalam pertengkaran fisik, saya mengucapkan keputusan yang sama sekali bukan wilayah kekuasaan saya, yaitu memberi cap ahli neraka pada seseorang. Sesuatu yang dalam perspektif teologi Islam, sangat fatal.
Setelah SD, saya melanjutkan pendidikan di pesantren. Semakin ngaji dengan banyak kiai dan kitab kuning, ditambah penjelasan dari Gus Baha’, saya semakin tahu betapa fatalnya saya mengatakan hal itu. Peristiwa yang sudah sangat lama, tapi terus saya ingat sampai sekarang, dan selalu membuat saya tersindir saat kembali mendengar kisah ini.
Ketika melihat ada tokoh agama yang mencatut nama Tuhan dan agamanya untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat sementara, seperti kepentingan politik, kepentingan kelompoknya, dan sebagainya, saya juga teringat dengan peristiwa itu, dan membatin, “Koyok aku ndisek”. Mengamalkan dawuh dan guyonan Gus Baha’, “Kalau ada yang salah (karena belum tahu ngaji ini) jangan sok gaya membenarkan. Sama-sama terlambatnya kok gaya. ‘Kayak aku dulu!’ gitu aja. Hahaha….”
Pengalaman sebagai “pemberi cap” ahli neraka bagi saya tentu bukan pengalaman yang menyenangkan. Malah sering kali masih saja menyisakan rasa bersalah pada diri saya. Apalagi, pengalaman seperti ini tidak bisa dimasukkan dalam CV untuk melamar pekerjaan atau beasiswa. Namun, selayaknya penyesalan yang lain, pengalaman merupakan guru yang baik. Dengannya, saya bisa terus introspeksi untuk tidak mudah menghakimi orang lain sebagai ahli neraka, lebih menggunakan ilmu dalam bertindak daripada menggunakan emosi, dan tidak mudah mencatut nama Tuhan untuk urusan yang sebenarnya personal.
BACA JUGA Alasan Kenapa Kita Suka Nggak Puas Sama Film Adaptasi Novel Berdasarkan Teori Sosiologi dan tulisan FN Nuzula lainnya.