Orang sering bilang tinggal di dekat masjid atau musala penuh berkah. Ada rasa damai karena ibadah terasa dekat, dan ada rasa bangga karena lingkungan sekitar dianggap religius. Namun di balik itu semua, saya justru punya keresahan sendiri. Bukan soal ibadahnya, melainkan hal kecil yang sering terabaikan, yakni pengeras suara yang kadang dipakai tanpa kendali.
Akan tetapi jangan buru-buru menuduh saya orang yang anti-agama atau anti-ritual. Justru sebaliknya. Saya paham bahwa toa atau pengeras suara ini bukan sekadar tanda waktu salat, melainkan juga pengingat bahwa hidup ini fana dan kita dipanggil untuk menundukkan diri pada yang lebih tinggi. Dalam konteks itu, saya tak pernah merasa terganggu dengan azan. Bahkan saya bisa bilang bahwa suara azan, meski keras, punya nuansa yang menenangkan.
Hal yang membuat saya sering menghela napas panjang adalah hal yang datang setelah azan, sebelum azan, atau bahkan jauh dari momen azan. Di tempat saya tinggal, speaker luar masjid atau musala tak hanya dipakai untuk panggilan salat. Ada murotal panjang dengan volume tinggi, ada ceramah yang dipancarkan sampai radius dua kampung, ada pula tadarusan yang berlangsung sampai tengah malam.
Sekali lagi, saya tidak menafikan nilai kebaikan dari praktik itu. Membaca Al-Qur’an jelas ibadah. Memberi ceramah itu amal. Mengumandangkan selawat pun bagian dari tradisi yang punya akar panjang. Tetapi yang jadi problem bukan substansi, melainkan medium dalam hal ini speaker luar yang tidak mengenal batas ruang privat.
Hidup di antara toa masjid
Coba bayangkan suasana rumah ketika sedang bekerja atau apa pun. Laptop terbuka, tenggat waktu sudah mepet, kepala penuh dengan kalimat yang harus ditulis. Konsentrasi mulai terbangun, tapi tiba-tiba terdengar suara murotal dari toa luar masjid. Suaranya tak bisa diabaikan, tak bisa dikecilkan. Saya terhenti. Tak ada pilihan selain menelan rasa serba salah.
Menutup telinga dengan headset seolah menolak kebaikan. Tetapi membiarkannya masuk ke telinga membuat fokus saya buyar dan kepala pening.
Atau di malam hari, ketika tubuh sudah lelah dan mata hampir terpejam, tepat pukul 11 malam, ada sekelompok remaja yang semangat melanjutkan selawat lewat toa masjid. Suara mereka keras, agak fals, tapi penuh energi. Saya terbangung. Begadang tanpa kehendak.
Inilah yang membuat saya pribadi merasa kurang nyaman tinggal dekat masjid atau musala. Masalahnya bukan soal kedekatan dengan Tuhan, tetapi soal ritme hidup yang seakan harus mengikuti jadwal dan intensitas pengeras suara.
Antara amal baik dan hak bertetangga
Satu hal yang bikin situasi ini lebih rumit adalah perasaan serba salah. Semua kegiatan yang disiarkan lewat toa masjid atau musala itu jelas bernilai ibadah. Membaca Al-Qur’an adalah amal. Memberi ceramah adalah kebaikan. Mengumandangkan selawat juga punya tradisi panjang yang pahalanya teramat besar. Tetapi medium yang dipakai membuat ibadah itu seolah merampas ruang privat orang lain.
Saya sering merasa rumah saya tiba-tiba menjadi bagian dari ruang publik. Hak saya untuk menikmati hening terampas. Padahal hening itu bagi saya bukan sekadar kebutuhan, tetapi hak dasar.
Masalahnya, sulit sekali menyampaikan keberatan. Kalau bilang “suaranya terlalu keras”, nanti saya dianggap menghalangi syiar Islam. Kalau bilang “mohon dikurangi volumenya”, bisa-bisa dituduh tidak suka dengan Al-Qur’an. Padahal bukan isinya yang jadi masalah, melainkan cara dan sejauh mana ia diperdengarkan.
Saya yakin keresahan ini bukan hanya milik saya. Banyak orang mungkin merasakannya, tapi mereka diam karena sungkan. Mereka menahan diri karena takut dicap tidak religius. Akhirnya masalah ini terus berlangsung seolah sudah wajar.
Aturan mengenai pengeras suara masjid dan musala sebenarnya sudah ada
Menariknya, keresahan seperti ini bukan hal baru. Negara sebenarnya sudah mengantisipasi persoalan ini sejak lama. Pada 1978, Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama sudah mengeluarkan surat edaran tentang penggunaan pengeras suara di rumah ibadah. Kemudian aturan itu diperbarui melalui Surat Edaran Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala.
Isinya cukup jelas. Pengeras suara luar hanya dipakai untuk azan, iqamah, dan takbir pada hari raya. Pengeras suara dalam dipakai untuk kegiatan lain seperti ceramah, tadarusan, atau pengajian. Volume suara juga harus diatur secara wajar, maksimal 100 dB, disesuaikan dengan kondisi masyarakat sekitar. Intinya, penggunaan pengeras suara dilakukan dengan penuh hikmah agar tidak menimbulkan gangguan.
Artinya, negara paham bahwa persoalan ini nyata. Negara juga sudah membuat panduan untuk menyeimbangkan hak beribadah dengan hak warga atas ketenangan. Masalahnya, implementasi aturan itu masih sangat bergantung pada kesadaran masyarakat, dan kesadaran itu masih jauh dari ideal.
Harapan yang sederhana
Saya tidak menuntut banyak. Saya tidak meminta masjid atau musala berhenti menggunakan toa. Pun saya tidak meminta suara azan dipelankan. Saya hanya berharap ada kesadaran untuk menempatkan pengeras suara sesuai fungsinya yang paling esensial. Azan tetap harus terdengar jelas sebagai panggilan ibadah. Tetapi ceramah, murotal, atau selawat sebaiknya cukup diperdengarkan lewat pengeras suara dalam.
Jika aturan yang ada benar-benar dijalankan, keresahan seperti yang saya rasakan bisa berkurang. Orang yang ingin beribadah tetap bisa beribadah dengan khusyuk. Orang yang ingin tidur bisa tidur dengan tenang. Dan orang yang bekerja bisa fokus tanpa harus mengorbankan hak untuk hening.
Toh, agama juga mengajarkan kita untuk menjaga hubungan baik dengan tetangga. Nabi sendiri pernah menekankan bahwa tanda kesalehan salah satunya adalah menghormati hak orang sekitar. Maka, rasanya ironis kalau ibadah justru berubah menjadi sumber kegaduhan.
Tinggal dekat masjid atau musala seharusnya menghadirkan ketenangan, bukan ketegangan. Tetapi bagi sebagian orang seperti saya, pengalaman itu sering kali menimbulkan dilema. Antara ingin menghormati praktik ibadah dan ingin mempertahankan hak atas ruang privat.
Aturan soal pengeras suara sudah ada. Tinggal bagaimana masyarakat mau membicarakannya tanpa rasa sungkan, dan mau menaatinya dengan rendah hati. Dengan begitu, kita bukan hanya mendekatkan diri pada Tuhan, tetapi juga menjaga harmoni dengan sesama manusia. Dan menjaga harmoni dengan sesama, pada akhirnya, juga bagian dari ibadah.
Penulis: Budi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Beberapa Hal yang Bikin Nggak Enak Tinggal di Rumah Dekat Masjid.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















