Semenjak saya duduk di bangku perkuliahan, terkadang saya merasakan suasana hati yang tidak tenang.Yahh gampangannya seperti orang yang chat WA-nya tidak dibalas oleh gebetannya padahal dia sedang online. Pikiran saya selalu dibayang-bayangi oleh misteri masa depan yang kelak akan menjemput saya untuk menjadi sebuah takdir dalam menjalani kehidupan. Bagaimana tidak? Status saya sebagai salah seorang mahasiswa Ushuluddin di Universitas Islam Negeri yang ada di Kota Pelajar ini selalu dijadikan bahan omongan yang renyah nan gurih oleh mulut-mulut tetangga yang ada di kampung halaman. Terlebih status saya adalah seorang santri meskipun realita kesehariannya jauh dari esensi ke-santri-an.
Hal tersebut terjadi karena pada waktu itu saya resmi diterima menjadi bagian civitas akademika Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Jogja. Fakultas yang memiliki sejuta warna dan rasa.
FYI, Fakultas Ushuluddin mempunyai Program Studi seperti Filsafat, Ilmu al-Qur’an, Ilmu Hadis, Perbandingan Agama, serta Sosiologi Agama. Sangat keren bukan?
Oleh karenanya, ada yang mengatakan bahwa Fakultas Ushuluddin adalah fakultasnya calon kiai/ustaz, fakultasnya para pemikir hebat, saking hebatnya fakultas tersebut juga tidak bisa lepas dari stigma pencetak bibit-bibit muslim liberal. Ada juga yang mengatakan fakultasnya para mahasiswa yang tidak mempunyai cita-cita yang jelas, dan lain sebagainya.
Pada suatu kesempatan, saya pernah berbincang ringan empat mata dengan ibu saya. Benang merah dari pembicaraan tersebut kurang lebih membahas para tetangga mempersoalkan status saya sebagai mahasiswa Fakultas Ushuluddin.
Sebenarnya saya juga heran, wong hidup yang sedemikian baik ini adalah hak saya, tapi mengapa mulut mereka juga ikut mempermasalahkannya?
Jadi selama ini, banyak masyarakat awam terkhusus tetangga di kampung saya yang masih rancu dengan keberadaan seorang mahasiswa yang kuliah di Fakultas Ushuluddin. Ada sebagian dari mereka yang meyakini bahwa mahasiswa demikian adalah calon bibit-bibit unggul pewaris nabi yang kelak akan meneruskan penyampaian risalah suci.
Contohnya seperti, mengisi pengajian dari desa ke desa, dari masjid ke masjid, dan lain sebagainya. Anggapan tersebut sebenarnya tidak salah akan tetapi juga tidak bisa dibenarkan secara keseluruhan. Sebab, jangan dibayangkan apabila mata kuliah yang diajarkan di kampus itu sama halnya dengan mata pelajaran yang diajarkan di pesantren.
Di pesantren biasanya akan diajarkan ilmu gramatika bahasa Arab, ilmu syari’at, tasawuf, akhlak, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Semua itu pasti merujuk pada kitab-kitab klasik warisan ulama-ulama terdahulu yang biasanya disebut dengan kitab kuning.
Akan tetapi, ketika di bangku perkuliahan, proses pembelajarannya cenderung mempelajari Islam secara historis. Kemudian ditambah dengan metodologi serta analisa teori yang ndakik-ndakik. Saya kira kalau diajarkan ke masyarakat yang awam pemahaman agamanya nanti malah pusing sendiri. Di bangku perkuliahan juga akan jarang ditemukan kajian ilmu-ilmu keislaman dasar seperti tata cara beribadah, syarat ibadah, rukun ibadah, perkara yang membatalkan sahnya ibadah, dan lain-lain.
Padahal perkara-perkara tersebut merupakan esensi untuk diajarkan kepada masyarakat awam terkait ilmu agama. Mereka akan berasumsi bahwa mahasiswa Ushuluddin akan mahir dalam bidang keilmuan tersebut. Akan tetapi perasaan saya kok tidak yakin ya. Apa yang dipelajari di kampus dengan apa yang diasumsikan oleh mereka bidang kajiannya cukup berbeda dan tidak bisa diasumsikan sama rata begitu saja.
Selanjutnya, mulut tetangga saya juga mempermasalahkan terkait cita-cita masa depan. Mereka mengira bahwa mahasiswa Ushuluddin tidak mempunyai cita-cita yang jelas dan masa depannya cukup abstrak. Hal ini didasarkan karena mahasiswa Ushuluddin tidak punya kapasitas keilmuan serta pengalaman dalam bursa dunia kerja. Dikira hanya bisa berpikir dan memikirkan sesuatu saja, namun tidak punya keterampilan untuk mengeksekusikannya dan terjun di dunia kerja.
Selain itu, mereka juga mengira bahwa mahasiswa Ushuluddin cita-citanya kelak hanya akan menjadi mbah kaum atau modin yang biasanya menjadi imam salat di masjid, mengajari anak-anak mengaji, memimpin tahlilan, dan mengurus jenazah.
Memang harus diakui bahwa mahasiswa Ushuluddin tidak mempelajari ilmu terapan yang biasanya dibutuhkan dalam dunia kerja seperti ilmu teknik, ilmu perbankan, ilmu pendidikan, dan lain-lain. Akan tetapi, akan saya katakan dengan tegas bahwa mahasiswa Ushuluddin pasti nyaris hampir sukses di semua bidang. Moto yang selalu dijunjung adalah bahwa mereka tidak membutuhkan pekerjaan akan tetapi merekalah yang akan membuat lapangan pekerjaan dan menggaji para pekerja.
Selain itu, dalam dunia akademik jangan dipersoalkan lagi keberhasilannya. Banyak alumni Ushuluddin yang mampu melanjutkan pendidikan tinggi sampai program doktoral di luar negeri. Bahkan tak jarang dari mereka yang berhasil meraih jabatan guru besar dari luar negeri. Dan kembali lagi ke tanah air untuk mengajar di Universitas yang ada di Indonesia.
Selain itu saya yang beralmamater Ushuluddin juga ikut merasakan bangga karena jabatan rektor di kampus saya dari tahun ke tahun biasanya dipegang oleh dosen dari Fakultas kami. Begitu juga dengan jabatan strategis yang ada di kampus, banyak dari dosen Ushuluddin yang turut andil di dalamnya. Kemudian banyak juga pejabat-pejabat yang ada di lingkungan kementerian yang merupakan alumni Fakultas Ushuluddin.
Begitulah kiranya bagaimana masa depan saya dipertaruhkan oleh mulut-mulut tetangga. Akan tetapi selama ini saya selalu berpedoman dengan kalimat ini, “Barang Siapa yang benar-benar ikhlas mencari ilmu karena Tuhan, niscaya dia akan diberikan pekerjaan yang layak oleh-Nya”.
BACA JUGA Mengapa Lulusan Fakultas Filsafat UGM Bisa Sukses Nyaris di Segala Bidang?