Ada satu hal yang bikin jalanan Jogja makin semrawut. Bukan macetnya. Bukan juga lampu merah yang kadang telat berubah. Tapi orang tanpa seragam, tanpa surat tugas, tapi bertingkah seperti polisi lalu lintas. Ya, yang saya maksud adalah pak ogah, bagi kalian yang lebih tua, mengenalnya dengan istilah polisi cepek. Sosok yang katanya menolong, tapi kenyataannya berbeda. Mereka justru sering bikin emosi mendidih di tengah panasnya aspal Jogja.
Entah sejak kapan mereka muncul. Mungkin awalnya niatnya baik. Menolong kendaraan biar bisa menyeberang di simpang tanpa lampu. Tapi sekarang rasanya fungsi itu sudah kabur. Mereka berubah jadi penguasa kecil di jalan. Mengatur arus seenaknya. Menerobos mobil dari arah lain. Melambaikan tangan tanpa arah. Kadang malah bikin kendaraan saling berhadapan dan berhenti di tengah. Bukan menolong, malah menciptakan kekacauan.
Yang bikin tambah jengkel, mereka sering memaksa. Baru juga lewat sedikit, tangan sudah terjulur minta “uang rokok”. Kadang sambil mengetuk kaca, kadang dengan tatapan memaksa. Seolah kita punya utang moral karena sudah “dibantu” menyeberang.
Padahal bantuan itu sering kali nggak dibutuhkan. Mobil dari arah depan pun sebenarnya bisa lewat kalau semua sabar sedikit. Tapi dengan hadirnya mereka, semuanya berubah jadi balapan ego.
Uang receh yang menggandakan kekacauan
Masalahnya bukan cuma soal keberadaan mereka. Tapi sistem “ekonomi receh” yang muncul di baliknya. Satu-dua orang ngasih uang seribu, yang lain ikut-ikutan. Lama-lama jadi kebiasaan.
Dari sekadar niat membantu berubah jadi ladang rezeki. Mereka mulai “jaga wilayah”. Ada yang nongkrong tiap pagi di titik yang sama. Ada yang shift sore sampai malam. Seolah jalanan itu milik pribadi.
Dan celakanya, makin banyak yang ikut. Anak muda pun ikut-ikutan. Kadang tanpa kaos, kadang pakai sandal jepit butut, berdiri di tengah jalan sambil ngatur-ngatur. Mobil-mobil mahal pun kadang tunduk. Ya semata karena takut. Takut kaca diketuk, takut diserempet, takut disumpahi. Akhirnya uang receh berpindah tangan. Kebodohan jalanan pun terus beranak pinak.
Jogja yang semakin tidak nyaman
Jogja dulu terkenal dengan sopan santunnya. Tapi sekarang, lihat saja di perempatan kecil dekat kampus atau area padat. Di situ biasanya para pak ogah berjaga. Mereka nyelonong seenaknya. Nyegat mobil, dan kadang menyeberangkan motor tanpa melihat situasi. Orang yang terburu-buru malah kena macet dadakan. Klakson bersahutan. Urat di leher mulai menegang.
Parahnya lagi, banyak yang beroperasi di tempat yang justru berbahaya. Di tanjakan, di belokan, atau di area dekat sekolah. Kadang mereka berdiri terlalu dekat ke mobil. Bikin pengendara canggung dan khawatir menabrak.
Kalau sampai kejadian, pasti ujung-ujungnya ribut. Dan di Jogja, yang tadinya dikenal adem, suasana jadi panas. Semua gara-gara orang yang merasa punya kuasa di jalan.
Antara kasihan dan kesal pada pak ogah
Sebenarnya ya, saya tak benci sepenuhnya. Sebagai manusia yang masih berfungsi, saya masih punya empati. Kadang saya melihat pak ogah yang sudah tua, lusuh, dan lelah. Berdiri di bawah terik matahari dengan tangan terangkat seolah sedang menantang maut. Dalam hati timbul kasihan.
Tapi di sisi lain, tetap saja kesal. Karena perbuatan mereka salah tempat. Jalanan bukan ruang amal. Dan keselamatan bukan sesuatu yang bisa diatur tanpa aturan. Ada juga yang membawa anak kecil. Duduk di pinggir jalan sambil memperhatikan ayahnya mengatur mobil. Gambar itu bikin hati ngilu.
Tapi di saat yang sama juga bikin resah. Karena anak itu tumbuh dengan melihat ketidakteraturan sebagai pekerjaan. Seolah jadi pak ogah itu hal biasa. Padahal, dari sinilah rantai kekacauan jalanan mulai tak putus.
Bahaya yang tak disadari dari kemunculan pak ogah
Selain bikin macet dan emosi, keberadaan mereka juga bahaya. Banyak kasus hampir tabrakan karena mobil disuruh jalan di waktu yang salah. Ada motor jatuh karena kaget dikagetin pak ogah yang tiba-tiba nyebrang. Ada pejalan kaki yang terserempet karena sibuk menghindari mereka.
Tapi semua itu seperti dianggap biasa. Polisi jarang turun tangan. Masyarakat pun terbiasa membiarkan. Itulah faktanya di lapangan. Padahal setiap detik di jalan adalah urusan nyawa. Satu isyarat tangan yang salah bisa berarti celaka. Sudah ada banyak buktinya. Tapi pak ogah tetap santai.
Kadang sambil merokok. Kadang pula sambil ngobrol dengan temannya. Kalau ada pengendara marah, mereka balik marah. Kalau ditegur, malah nyolot. Seolah jalanan itu warisan kakek moyang mereka.
Jogja bukan hutan lalu lintas
Jogja bukan hutan yang tak punya aturan. Ada marka jelas di jalan, rambu-rambu yang bisa dilihat, lampu lalu lintas. Dan yang jelas, meski jarang terlihat, ada petugas berwenang.
Tapi semua itu jadi tidak berarti kalau di lapangan masih ada “penguasa liar” yang bertindak seenaknya. Jalan yang mestinya lancar jadi rusak ritmenya. Pengendara jadi gampang emosi. Warga sekitar pun terganggu.
Kondisi ini pelan-pelan membentuk budaya baru. Budaya yang menormalisasi kekacauan. Budaya yang membuat orang percaya bahwa jalanan bisa diatur dengan uang seribu. Bahwa ketertiban bisa dibeli dengan koin logam. Dan ketika budaya itu dibiarkan, Jogja yang terkenal damai bisa berubah jadi kota dengan wajah sinis di balik senyumnya.
Harapan di tengah kesemrawutan
Mungkin saya akan terdengar kejam jika berharap pak ogah di Jogja punah. Tapi di tengah rasa jengkel yang menumpuk, itu bukan kebencian pribadi. Ini soal ketertiban publik. Soal keamanan di jalan, kenyamanan berkendara tanpa rasa takut dipalak di setiap tikungan. Jogja terlalu indah untuk dijadikan panggung orang-orang yang cari receh dengan cara ngawur.
Semestinya jalan-jalan di Jogja bisa dinikmati tanpa drama. Tanpa tangan melambai seenaknya di tengah aspal, kaca mobil diketuk oleh orang asing yang mengaku “menolong”, tanpa rasa bersalah karena tidak memberi uang. Karena yang benar bukan siapa yang menyeberangkan. Tapi siapa yang tahu aturan.
Jogja butuh ketenangan. Bukan kekacauan receh yang disamarkan dengan kata tolong-menolong. Jogja butuh pengendara yang sabar, bukan pengatur lalu lintas dadakan.
Dan kalau harus memilih antara rasa kasihan atau rasa kesal, mungkin sekarang waktunya memilih tegas. Sebab, rasa kasihan yang dibiarkan terus bisa berubah jadi bencana kecil di setiap perempatan.
Jogja tidak akan merasa kehilangan pak ogah
Jogja tidak akan kehilangan apa pun kalau pak ogah menghilang. Malah mungkin akan mendapat banyak hal. Ketertiban, keamanan, dan kenyamanan yang sebenarnya. Jalanan yang bebas dari mereka, (akan memakasa) orang (untuk) bisa kembali percaya pada rambu. Bukan pada isyarat tangan asal-asalan.
Maka kalau suatu hari nanti kita lewat perempatan kecil dan tidak ada lagi orang berdiri di tengah jalan melambaikan tangan minta uang, itu bukan kehilangan. Itu kemajuan kecil. Sebuah tanda bahwa Jogja akhirnya sadar.
Bahwa kebaikan tidak selalu berarti berdiri di tengah jalan. Bahwa tolong-menolong tidak harus mengacaukan aturan. Dan bahwa ketenangan di jalan bukan hasil dari isyarat tangan pak ogah, tapi dari kesadaran bersama bahwa tertib itu bukan pilihan, tapi kewajiban.
Penulis: Marselinus Eligius Kurniawan Dua
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pengalaman Jadi Pak Ogah di Jalan Raya Purbalingga
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















