Sejak Arsenal memecat Unai Emery, saya langsung menetapkan hati untuk mendukung dengan santai. Dulu, setiap kekalahan bisa membuat saya bolos kerja. Setiap kemenangan, bisa bikin saya bahagia sehari penuh. Kini, saya mendukung dengan hati yang lebih “menerima”. Dan, keputusan ini menjadi salah 1 keputusan terbaik yang saya ambil dalam 10 tahun belakangan ini.
Saat ini, saya merasa mendukung klub sepak bola, atau apa saja dalam kehidupan, harus bisa menetapkan batasan. Jika gagal menetapkan batas, kebahagiaan dan kesehatan diri sendiri yang jadi taruhannya. Maka, jika boleh memberi saran, mari mendukung apa saja dengan hati yang riang.
Ingat, semua hal yang kamu tentukan sebagai “kesayangan”, tidak boleh merenggut kebahagiaan diri sendiri. Lantas, apakah saya nggak berharap lagi Arsenal untuk juara? Tentu itu pernyataan bodoh. Namun, saya menyadarkan diri sendiri untuk menikmati apa adanya. Dan, yang lebih penting, adalah menurunkan ekspektasi dan harapan. Boleh dong, mendukung dengan santai.
Hasilnya, sejak Mikel Arteta melatih, saya hampir tidak pernah lagi bad mood ketika Arsenal kalah. Kerja jadi lebih enak, ngopi bersama kawan terasa lebih nikmat. Namun, setelah 5 tahun, akhirnya ada “sesuatu” yang terjadi. Ada rasa kesal dan sebal yang lebih dari 5 tahun tak lagi saya rasakan.
Angka-angka yang menyebalkan
Kekalahan dari Liverpool di FA Cup sebetulnya tidak lagi mengejutkan. Melihat 7 laga ke belakang, melihat cara bermain saja, saya sudah yakin kemenangan itu sulit digapai. Arsenal juga hanya 1 kali menang atas Brighton. Sisanya, 4 kalah dan 2 imbang. Kalah beruntun itu (seharusnya) biasa saja bagi fans The Gunners. Yang bikin saya mulai merasa kesal lagi adalah melihat apa yang terjadi di lapangan.
Arsenal kehilangan “identitas”. Sebuah identitas yang musim lalu membuat mereka menjadi penantang juara Liga Inggris. Dan, ketika saya menulis kata “Arsenal” di sini, yang saya maksud adalah pelatih dan pemain. Saya rasa, 2 entitas ini tidak bisa dipisahkan jika kamu ingin mengkritik.
Pemain Arsenal mampu mengumpulkan 11,48 expected goals (xG) dari 7 laga dengan konversi hanya 5 gol. Gampangnya, expected goals adalah angka yang menunjukkan seberapa tinggi rata-rata peluang yang seharusnya menjadi gol. Dalam 7 laga itu juga, Arsenal menderita 6,9 expected goals against (xGA) dengan konversi 9 kebobolan. Selama itu, ada 22 peluang bersih tercipta dengan 18 di antaranya gagal. Semakin buruk lantaran The Gunners kebobolan 3 kali dari bola mati.
Angka-angka di atas adalah angka-angka yang menyebalkan. Kenapa? Karena Arsenal seharusnya bisa membuat rata-rata 3 sampai 4 gol per laga. Namun, para pemain (bukan hanya striker), rajin membuang peluang. Kebiasaan buruk ini seakan-akan menjadi “undangan” bagi tim mana saja untuk berani menyerang karena eventually Arsenal akan bobol juga.
Saya kesal karena Arsenal mengontrol laga dan seharusnya bisa melewati semua tim di 7 laga akhir dengan “nyaman”. Namun, mereka menyulitkan diri sendiri. Itulah masalah klasik, virus purba yang masih menjangkiti The Gunners.
Baca halaman selanjutnya: Kombinasi pemain yang mandul dan pelatih terlalu pasif.