Berbicara soal dunia persantetan di Banyuwangi mungkin nggak akan ada habisnya. Bagaimana mau habis, lha wong Pulau Bali saja masih kalah luas dibanding Banyuwangi. Kalau mau ngomong muter-muter satu kabupaten, ya nggak rampung-rampung. Bisa tujuh hari tujuh malem bahas Banyuwangi, tok.
Nggak asyik dan nggak relevan juga kalau ngomongin santet Banyuwangi, tapi belum berkunjung ke lokasinya langsung. Mungkin sebagian mahasiswa baru sewaktu di bangku sekolah semangat buat menuju ke PTN favorit yang UKTnya summa-summa naudzubillah. Namun, hal itu justru nggak berlaku buat saya.
Saking niat dan cintanya sama Banyuwangi, saya yang besar di Kendal (satu jengkal mepet Semarang) memilih daftar kuliah di Institut Agama Islam (IAI) Genteng Banyuwangi. Pilihan kampus mungil nan imut ini tentu bukan tanpa alasan, Bro. Selain karena problematika UKT PTN, sulitnya soal SNMPTN dan SBMPTN, tahu sendiri lah yaaa.
Balik ke dunia persantetan, memang ada benarnya sewaktu saya tinggal di Kendal, aroma kentalnya magis Banyuwangi cukup mewangi. Bahkan Dahlan Iskan dalam satu tulisannya menyebut kalau Ibu Kota Santet Nasional ya ada di Banyuwangi ini. Nah loh, apa kagak ngeri-ngeri sedap?
Kalau Afiatul Ummah terselamatkan di beberapa kejadian saat di tanah rantau berkat ke-Banyuwangian-nya, saya justru terbayang paku, peniti, dan silet kalau nggak hati-hati di perantauan (Banyuwangi) semasa masih di Kendal dulu. Namun tetap saja, demi niat tulus murni 24 karat, saya menapakan kaki di Banyuwangi. Apa pun akan saya hadapi. Gayane wani.
Namun untung tak bisa diraih, Malang tetap di Jawa Timur. Setibanya saya pada medio 2017 silam, Banyuwangi tampaknya sudah mengubah peta persantetan nasional. Bagaimana nggak? Aroma mistis Banyuwangi luluh lantak pasca dua periode kepemimpiman Bupati Abdullah Azwar Anas.
Banyuwangi yang dulu terkenal Kota Santet, kini berubah jadi Kota Sunrise. The Sunrise of Java, katanya. Bahkan saking kagetnya perubahan yang keminggris itu, beberapa instansi pemerintah di Banyuwangi menulis sunrise ada yang keliru jadi sunrice.
Namun, tentu nggak salah juga karena lumbung padi di sini juga melimpah, kok. Tapi itu dulu, sebelum penyakit “latah” menyerang para petani untuk menanam buah naga. Saking ajur-nya dampak surplus buah naga, membuat buahnya malah semakin tidak berharga sampai jadi santapan pakan ternak. Di sini baru terjadi fenomena ada naga kalah sama kambing.
Oke, kembali ke topik persantetan. Perubahan stigma Banyuwangi tentu bukan perihal tagline saja, sebab langkah nyatanya juga ada lho. Upaya serius Bupati Banyuwangi yang berhasil menyulap pantai-pantai di Banyuwangi seindah Pulau Dewata, mulai menarik banyak wisatawan yang mungkin cuma sedia budget sedikit.
Artinya bagi yang koceknya terbatas dan nggak sanggup nyebrang ke Bali, bisa mlipir ke Banyuwangi. Pasalnya, di Banyuwangi banyak pilihan menu liburan yang low budget buat sobat misqueeen bin hemat.
Lebih ajib lagi, dalam upaya untuk meningkatkan stigma positif Banyuwangi, Pemerintah Kabupaten di bawah kepemimpinan Bupati Anas menggelar ratusan festival setiap tahunnya. Mulai kegiatan yang luar biasa sampai acara yang biasa-biasa saja jadi jujukan wisata.
Laaahhh mau gimana, acara mepe (menjemur) kasur yang biasa dilakukan oleh semua orang di seluruh bumi, dijadikan Banyuwangi Festival. Pestipal mepe kasur, Lurrr. Mantep to?
Yang bikin pamor santet Banyuwangi kalah sama Pesona Bupati, tentunya langkah cerdas sang Bupati. Mengemas kemagisan Banyuwangi dalam balutan wisata itulah yang menjadi solusinya.
Ada Festival Kebo-keboan, di mana yang jadi kerbau melumuri seluruh tubuhnya dengan arang hitam, kepala mengenakan rambut palsu dengan tanduk kerbau. Serta tidak ketinggalan lonceng kayu tergantung di leher seperti layaknya kerbau sungguhan, dan bergulung-gulung di lumpur alias lendut.
Nggak ketinggalan, festival ini tentu ada pelibatan roh leluhur yang membuat mereka tidak sadarkan diri dan kesurupan seperti kerbau. Kalau kalian lihat, akan lebih nyata dibanding siluman kerbau yang ada di Sinetron Kolosal Indosiar. Eh.
Pelibatan roh inilah tentu menjadi ajang eksistensi jin dan setan. Sedep bukan main, Bro. Dampak keterlibatan itulah yang turut serta menyemarakkan acara. Jadi, kalau diibaratkan pemuda harapan bangsa, adanya Festival Kebo-keboan merupakan wadah untuk menyalurkan minat dan bakat jin maupun setan yang ada di Banyuwangi untuk tetap eksis.
Lalu, yang nggak kalah menarik adalah Festival Seblang, acara yang menampilkan tarian tradisional yang cukup berumur dan khas di Banyuwangi. Tarian ini melibatkan penari khusus, bukan orang sembarangan. Hanya orang yang “terpilih” oleh para penari keturunan yang sanadnya muttawatir-lah, yang bisa membawakannya. Tentu, urusan penari seblang juga dipilih langsung oleh “tetua” setempat yang tau silsilah adatnya.
Nah kalau penampilan Seblang, ya mirip-mirip seperti sintren di Cirebon Jawa Barat atau Ritual Sanghyang di Pulau Dewata Bali. Bedanya, balutan promosi wisata dengan kemagisan rupanya jadi angin segar. Gimana nggak, lha wong biasanya tanpa difestivalkan dan kegiatan hanya melibatkan se-Kecamatan aja. Sementara Festival Seblang bisa ditonton seluruh Indonesia Raya, sampai om dan tante bule di-sumonggo-kan untuk menikmati acara festival adat ini.
Makanya, festival sakral ini jadi jujukan wisata utama baik domestik maupun mancanegara. Lucunya, yang nonton malah ngaku seneng lihat yang kesurupan-kesurupan macem itu. Saya mah ogah. Katanya, hal itulah yang jadi atmosfir tersendiri waktu lihat. Hadeeeh, nggak eroh po, kesurupan iku loro, Juuu.
Nggak berhenti dengan ratusan festival masyhur di Banyuwangi, Pak Bupati yang cukup fenomenal bahkan sudah menerbitkan buku bertajuk, Anti-Mainstream Marketing, yang nggak anti mainstream amat dan cukup lakulah di pasaran. Katanya, sih.
Namu , upaya paling mainstream menurut saya pribadi justru menyasar ke tempat paling sakral di Banyuwangi, Alas Purwo. Alas yang dulunya terkenal angker dan banyak kabar beredar jadi tempat semedi para “orang pintar”, kini dijadikan destinasi wisata yang ramah pengunjung. Jalur yang dulunya dipenuhi bebatuan, sekarang berlapis aspal mulus.
Pantai Plengkung, Pantai Trianggulasi, Pantai Ngagelan, Pantai Cungur, dan Pantai Pancur yang berada di Selatan Alas Purwo, saat liburan menjadi jujukan wisatawan. Saking ramainya wisatawan, beberapa teman saya warga asli sana suka berkelakar, “Alas purwo nggak sewingit biyen (dulu). Lha mau wingit gimana, setan para penghuni alasnya sekarang ya sungkanlah sama yang datang apalagi yang pacaran.” Waduh.
Namun, yang namanya sopan santun atau bahasa Jawanya kulo nuwun, harus tetap digunakan di mana pun tempatnya. Supaya kita (khususnya orang Jawa) ora lali Jawane. Sehingga, harus tetap menjunjung tinggi tata krama sebagai warga Indonesia yang baik dan budiman.
BACA JUGA Nggak Cuma Kalimantan, Banten, atau Banyuwangi, Lombok Juga Punya Sihir Antik dan tulisan Fareh Hariyanto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.