Indonesia Nggak Akan Kehabisan Ide Soal Dunia Setan

Sampai Kapan pun Indonesia Nggak Akan Kehabisan Ide Soal Dunia Setan terminal mojok.co

Khazanah setan di Indonesia, memang nggak ada habisnya!

Pasca dirilisnya film bergenre horor berjudul Mangkujiwo pada akhir bulan Januari, disusul dengan tayangnya Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2 pada akhir bulan kemarin, saya berani mengatakan: perkembangan industri film horor di Indonesia semakin ke sini semakin berkelas dan berdaya saing. Sangat kontras dengan produksi film horor di awal-awal tahun 2000an yang lebih dominan dengan kesan cabul dan mesum ketimbang menyuguhkan nuansa mencekam. Menonton film horor di awal-awal tahun tersebut, bukannya merinding malah bikin sange.

Ada sekian list judul film horor terbaru yang menurut saya cukup representatif dengan kultur kesetanan masyarakat Indonesia. Katakanlah Pengabdi Setan yang penayangannya menandai era baru bagi visualilasi dunia gaib sampai yang terbaru; dua film yang saya sebut di atas. Berikutnya, kita mungkin juga sama-sama menunggu kehadiran film KKN Desa Penari yang dijadwalkan akan menggoyang bisokop pada 19 Maret mendatang.

Hari ini, genre horor memang seolah menjadi ladang subur dan potensial untuk diolah dalam jagad sinema kita. Banyak varian-varian baru yang akhirnya muncul dan bernilai jual tinggi di pasar sinematografi. Yang paling kasat mata saja, terlihat dari satu judul film ke film lainnya yang kian variatif. Ide-ide mengenai cerita perhantuan juga kerennya edan-edanan. Serius, saya bahkan tidak pernah membayangkan ada judul film horor yang sepuitis Sebelum Iblis Menjemput, atau yang se-sastrawi Mangkujiwo.

Hal ini tentu bukan kebetulan semata. Bagaimanapun, memang pada dasarnya Indonesia, selain memiliki kekayaan sumber daya alam juga memiliki kekayaan dalam khazanah dunia persetanan cukup melimpah. Terlebih di tanah Jawa yang terkenal memiliki aneka ragam jenis setan. Dari yang populer sampai yang masuk kategori langka dan perlu dilestarikan. Dan itu nggak bisa dimungkiri menjadi sumber dari segala sumber inspirasi lahirnya ide-ide kreatif dalam industri film horor tanah air.

Ketika di depan bioskop, yang sepenuhnya bekerja bisa jadi hanyalah imajinasi dan sugesti kita mengenai gambaran sosok setan. Tapi apakah Anda pernah membayangkan, kalau sewaktu-waktu Anda bisa saja melakukan kontak secara langsung dengan sosok mengerikan di kehidupan nyata? (Khusus temen-temen yang indigo, pertanyaan ini nggak harus dijawab) dan di kemudian hari Anda akan menceritakan first impression tersebut sebagai salah satu pengalaman dalam hidup Anda yang paling berkesan traumatis dan bikin kita parno. Bahkan buat ke kamar mandi sendiri aja suka kebayang-bayang sampai hari ini.

Sebagai orang yang lahir dan tumbuh di lingkungan kejawen, praktis kemungkinan tersebut sangat tidak mungkin untuk saya hindari. Ceritanya belasan tahun yang lalu, persisnya ketika saya masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar, saya dengan sangat sial harus bertemu dengan sosok genderuwo.

Malam itu simbah saya sedang mengadakan ritual ngliweti pari—sebuah tradisi di desa saya dalam menyambut musim panen. Selepas isya, simbah, ibu dan bapak saya, serta segenap kerabat turun ke sawah untuk memanjatkan doa dan manyantap nasi kuning yang sudah disediakan. Rangkaian dalam tradisi tersebut yakni, doa dan makan bersama di pinggiran sawah yang hendak dipanen keesokan harinya. FYI, rumah simbah saya terletak di ujung desa dan berjarak tidak jauh dari sawah. Rumah simbah juga dikelilingi kebun dan pepohonan rimbun yang menambah aura mistis tiap malam tiba.

Malam itu, karena sedang gerimis dan lebih karena saya nggak begitu tertarik dengan ritual tersebut, saya memutuskan untuk tetap tinggal di rumah simbah sendirian. Saya memilih tiduran di depan TV, menyaksikan siaran random Spacetoon (saluran TV full cartoon yang menghiasi masa kecil saya) sambil menyantap pisang goreng yang sudah nggak terlalu hangat.

Semula nggak ada yang aneh dengan rumah simbah. Sampai kemudian tiba-tiba angin berdesir kencang. Pintu kamar simbah yang terletak di samping TV sampai terbuka dibuatnya. Sekelebat saya melihat bayangan orang sedang berbaring di atas dipan. Sumpah, saya sebenarnya sudah merinding setengah mampus. Tapi karena didorong oleh rasa penasaran, perlahan saya mendekat ke kamar simbah. Benar saja, dari balik selambu bayangan orang berbaring itu semakin nyata, tanpa teding aling-aling. Saya seharusnya bisa saja langsung lari ke luar rumah, tapi gobloknya saya kok ya sempet-sempetnya malah buka selambu itu. Lah penasaran jeeee.

Dan ngaudubillah, setelah selambu saya sibak, sesosok makhluk dengan tubuh besar berbulu, rambut gimbal, dan mata bulat merah sedang tiduran di sana. Tanpa aba-aba saya auto lari tunggang langgang dari kamar. Entah naluri apa yang menggerakkan kaki saya, saya justru berhenti di depan pintu rumah. Dalam pikiran saya pada saat itu, kok kayak ada yang kurang. Oh iya, TV rumah masih nyala. Saya pun akhirnya berlari lagi ke dalam rumah buat matiin TV, yang artinya saya harus ngelihat makhluk itu lagi. Hadaaahhhh kok ya sempet-sempetnya saya malah balik ke sana. Maklum, kata guru IPA saya di sekolah, menghemat listrik salah satunya ya dengan matiin TV yang udah nggak ditonton. Bener, kan?

Saya kemudian lanjut berlari dan lagi-lagi berhenti begitu saja di depan pintu rumah. Duh, apalagi sih yang kurang? Yaowooohhh, pintu rumah harus saya kunci kalau saya keluar, begitu pesan dari simbah. Biar nggak ada maling masuk, katanya. Dan bejangkrik setan alas, kunci rumah ndilalah kok ya ditaruh simbah di atas TV. Dengan sangat terpaksa saya memutuskan puter balik untuk ngambil kunci. Oh, bayangkan saja, makhluk berbulu yang sedari tadi rebahan, kini sudah dalam posisi siap terkam (posisi duduk). Dengan kaki gemetaran dan sebisa mungkin nggak melirik ke arah kamar, kunci saya raih dan kembali berlari pontang-panting menjauh dari kamar.

Pintu rumah saya kunci dengan susah payah saking gugupnya. Setelahnya, tanpa tengak-tengok lagi ke belakang saya berlari sambil berteriak sejadi-jadinya. Saya masuk ke rumah salah satu warga yang berjarak paling dekat dari rumah simbah dengan wajah pucat pasi dan keringat dingin bercucuran. “Loh, loh, loh, ada apa nak Aly?” Saya belum bisa bicara banyak, sekujur tubuh saya sudah lemas dan layu. Yang ada dalam benak saya pada saat itu, semoga bekas basah di celana saya bisa mewakili jawaban atas pertanyaan yang diajukan si pemilik rumah.

Seandainya suatu saat saya menjadi sutradara sekelas Joko Anwar atau Timo Tjahjanto, mungkin first impression ketemu setan tersebut bakal saya bikin film dengan judul, Mampus Kau Dikoyak-Koyak Genderuwo. Apa saya bilang, ide-ide dari dunia setan kita memang nggak ada habisnya. Meski acara-acara horor di TV (seperti karma) bikin horor terkesan receh, tapi sepenuhnya saya sangat antusias dengan peningkatan kualitas indstru film horor dan penuh kejutan. Bukan lagi penuh desahan.

BACA JUGA Dominasi Kuntilanak dan Bukti Kurangnya Referensi Sineas Indonesia Terhadap Hantu Lokal atau tulisan Aly Reza lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version