Akhir pekan rasanya bakal makin semangat karena makan (apalagi kalau sambil disuapin gebetan) sambal tumpang. Rasanya ahhh, gurih, pedas, nan eksotik karena memakai olahan daur ulang tempe busuk. Memang selama ini, saya didoktrin untuk menyukai sambal tumpang. Semenjak saya masih SD saya selalu membeli remukan peyek kemudian dituang di atasnya sambal kacang dan sambal tumpang.
Bagi yang belum tahu, sambal tumpang adalah masakan berkuah kental yang dibuat menggunakan bahan unik, yakni tempe yang sudah hampir busuk atau biasa disebut “tempe bosok“. Tempe bosok ini didaur ulang dengan cara ditumis dengan aneka bumbu dapur, santan, dan diberi penyedap rasa.
Hasilnya adalah sambal tumpang dengan bau tempe hampir busuk yang khas. Sepintas memang terlihat menjijikkan, ditambah lagi bau yang sangat tidak sopan masuk hidung. Wajar saja jika orang pertama kali melihat sambal ini merasa ilfill, menyentuhnya saja enggan, apalagi memakannya. Namun, jika kita sudah mencobanya, dijamin seperti halnya narkoba, sambal ini punya zat adiktif yang bisa bikin candu para penikmatnya.
Saya ingin sedikit cerita sejarah sambal unik ini. Setelah saya mencari referensi dari berbagai media, ternyata, sambal tumpang termasuk salah satu penganan khas Indonesia yang telah ada bahkan sejak zaman kerajaan Nusantara, dalam bukti Serat Centhini dari 1814 sampai 1823. Dalam serat tersebut, disebutkan bahwa sambal tumpang sudah ada saat itu di bumi Mataram.
Tercatat dalam Serat Centhini ada banyak tokoh masyarakat yang melakukan perjalanan mengelilingi desa di daerah Jawa. Mereka masuk ke kampung-kampung untuk mengumpulkan ragam pengetahuan. Salah satunya adalah pengetahuan kuliner. Walhasil, terciptalah sambal tumpang yang menjadi bagian dari keragaman kuliner di pedesaan. Itu jadi bukti kreativitas masyarakat Jawa mengolah bahan yang tersedia di sekitar mereka. Sesuatu yang sudah usang ternyata bisa didaur ulang sehingga menjadi idaman semua orang, yaitu sambal tumpang.
Hingga kini, sambal tumpang masih sangat mudah ditemukan di daerah Kediri dan sekitarnya. Eksistensinya masih sangat terjaga. Makanan yang memiliki cita rasa khas ini sudah menjelajah ke seluruh Nusantara. Terlebih di kota asalnya, Kediri, nasi tumpang juga tetap menjadi idola, baik oleh warganya maupun masyarakat pendatang yang sengaja ingin menikmati sensasi pedasnya.
Sambal tumpang biasa disajikan dengan nasi dan aneka lauk serta sayuran. Sepintas mirip pecel, bedanya ada pada aroma dan rasa sambal tumpang itu sendiri. Penyajiannya, kedua sambal ini pun juga bisa dicampur. Waktu penghidangan yang tepat untuk makanan ini yaitu pagi hari. Biasanya banyak kita jumpai warung bermenu tumpang atau pecel di pasar atau di gang-gang pedesaan. Keberagaman pelanggan pun dapat kita jumpai disini. Dari mulai rakyat jelata, hingga rakyat jelita semua bermenu sarapan sama.
Sedangkan di daerah yang agak pelosok, makanan ini biasanya menjadi menu wajib sarapan. Sebelum berangkat kerja sekitar pukul enam pagi, warung makan pecel tumpang pasti disesaki pelanggan. Di daerah tempat tinggal saya sendiri ada penjual tumpang legendaris, namanya Bang Bokir. Nama warung itu diambil dari nama kakek buyut dari penjualnya sekarang. Artinya sudah tiga generasi warung ini berdiri. Jadi bisa disimpulkan bahwa eksistensi Bang Bokir ini masih abadi. Cita rasa makanannya yang masih terjaga . Penyajian makanan tak pernah ingkar pada resep awalnya. Dengan harga tiga ribu rupiah kita bisa mendapatkan sepiring nasi tumpang, harga yang terlalu murah di zaman sekarang dan untuk Kediri yang notabene ibu kota Karesidenan.
Lain daerah desa lain pula daerah kota. Di Kediri daerah kota, setiap malam, di sepanjang jalan Doho saja selalu berjajar puluhan pedagang nasi tumpang. Tidak heran, akhirnya kawasan yang saat malam hari menjadi pusat perbelanjaan, berubah total saat lampu jalan mulai dinyalakan.
Setiap malam, sekitar pukul sembilan malam, para pedagang kuliner khas Kota Kediri tersebut sudah mulai mempersiapkan dagangannya. Ada yang menggunakan meja atau kursi kecil. Ada juga yang lebih menyukai sensasi lesehan di atas tikar atau karpet. Sejak menjadi langganan masyarakat Kediri dan sekitarnya, kawasan jalan Doho kini menjadi rujukan bagi para pendatang yang singgah di Kota Kediri. Suasana malam dengan lalu lintas kendaraan yang sepi menjadi penikmat tersendiri saat menyantap hidangan sambal tumpang khas Kediri.
Di daerah jalan Doho juga ada tempat penjual tumpang legendaris namanya “Lesehan Bu Slamet“. Suatu ketika saya pernah berbincang dengan penjualnya. Ia bilang persaingan bisnis tentu selalu ada. Yang terpenting dari bisnis kuliner adalah konsistensi rasa yang disajikan dan bisa mengikuti perkembangan zaman. Namun, untuk sambal tumpang, ia tidak perlu terlalu memikirkan berbagai perubahan atau pelengkap tambahan untuk menarik pembeli. “Semua hanya soal rasa, tidak perlu tambahan-tambahan. Yang penting cita rasa khasnya tetap terjaga,” ujarnya.
Selain tetap menjaga cita rasa tumpang itu sendiri, ia mengaku peminat tumpang sendiri juga dibantu dengan masih banyaknya warga Kota Kediri yang terus bertahan menjual menu khas tersebut. Alhasil, dengan terus adanya sajian sambal tumpang menjadikan makanan tersebut menjadi kuliner khas yang tidak pernah terlupakan. “Selain itu, karena sampai sekarang banyak yang menjual nasi tumpang. Masyarakat tetap tidak pernah lupa dan tetap tahu ada makanan khas seperti itu di Kediri,” imbuhnya. Peran pemerintah daerah setempat untuk terus memperkenalkan sajian kuliner khas Kediri tersebut juga menjadi salah satu alasan nasi tumpang tetap bertahan. Banyaknya promosi dan perkenalan juga menjadikan semakin banyaknya masyarakat mengenal keberadaan nasi tumpang khas Kediri tersebut.
Terakhir, saya juga punya saran untuk para pemangku kewenangan di Kediri. Makanan khas ini juga bisa digunakan untuk alat diplomasi. Seperti halnya bakso dan nasi goreng yang dihidangkan dalam jamuan kenegaraan Presiden Obama. Tidak ada yang lebih ampuh menjadi duta bakso nasi goreng ketimbang Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama. Kedatangan Presiden Obama ke Indonesia pada 2010 silam, terbukti langsung mengangkat pamor bakso dan nasi goreng kancah internasional.
Hal itu bisa dicontoh oleh pemerintah Kota Kediri dan diterapkan ketika ada kunjungan dari luar. Jamuan makanan memang bagian dari diplomasi yang baik untuk menjembatani komunikasi antar para pimpinan. Meja makan itu bisa menjadi tempat berekonsiliasi,
sembari memperkenalkan kearifan lokal kuliner, Bapak/Ibu Walikota bisa menghidangkan sambal tumpang sebagai menu utama. Karena selama ini sambal tumpang selalu dikesampingkan. Pemerintah setempat lebih memilih tahu dan gethuk pisang untuk diperkenalkan. Maka dari itu pemerintah setempat harus adil dalam memperkenalkan kuliner khas daerahnya agar tidak terjadi kecemburuan kuliner di kalangan penikmatnya.
BACA JUGA Di Kediri, Anak Kecil Nggak Bisa Bercita-cita Jadi Presiden dan tulisan M Alvin Bahril lainnya.