Selama ini, pekerjaan saya seolah hanya membela klien yang memiliki uang dan mampu membayar. Kenyataannya tidak begitu. Banyak juga klien yang tentu saja kami bantu atas dasar persahabatan dan keibaan. Sadar atau tidak, tren terhadap kepatuhan kewajiban perpajakan mulai meningkat drastis saat ada program dari pemerintah bernama “Tax Amnesty”. Semua orang berbondong-bondong pergi ke kantor pajak dan konsultan pajak tentunya untuk menanyakan, “Sebetulnya itu program apa, sih?”
Sejak saat itu, tren pelaporan perpajakan pun meningkat drastis, terutama masyarakat yang mengurus NPWP. Mengurus tidak hanya mengurus, ada kewajibannya setelah itu, yaitu melaporkan kewajiban perpajakannya setiap tahun, toh hanya setahun sekali, kok. Dari situ saya mulai mengenal klien-klien baru dari berbagai jenis kalangan.
Hingga suatu ketika, saya bertemu klien yang merupakan pensiunan pedagang sekaligus supir truk sayurnya sendiri, yang punya tabungan besar dengan maksud untuk investasi di hari tua. Prinsip dari klien saya adalah tidak ingin menyusahkan anak dan mantu di hari tuanya. Hati saya tentu maktratap, luar biasa sekali prinsipnya.
Setelah hampir 20 tahun berkelana ke seluruh pelosok Jawa, uang yang telah klien saya tabung terkumpul dan blio bermaksud membuka usaha sekaligus investasi awal terlebih dulu. Karena pengalamannya hampir dihabiskan di jalanan berkutat dengan dunia truk, maka si bapak memutuskan untuk membuka bengkel sekaligus tempat cuci mobil di daerah Jakarta.
Para pembaca sekalian bisa membayangkan berapa harga tanah di Jakarta sebelum pandemi. Ya, kejadian ini terjadi saat pandemi belum melanda bumi Indonesia. Harga tanah hampir Rp7 juta per meter, sedangkan luas tanah yang blio beli kurang lebih 600 meter persegi luasnya. Anggaplah harganya sekitar Rp4,2 miliar saat itu. Harga yang cukup masuk di akal mengingat daerah tersebut di Jakarta.
Deal punya deal, si bapak akhirnya menebus tanah tersebut. Singkat cerita, kewajiban masing-masing penjual dan pembeli diselesaikan. Si pembeli harus membayar BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), sedangkan si penjual harus membayar PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas penjualan tanah dan/atau bangunan sebesar 2,5%.
Tiba-tiba di siang yang cerah, klien saya ini didatangi petugas pajak. Petugas tersebut memberikan surat imbauan untuk menjelaskan atau memberikan keterangan kepada kantor pajak atas pembelian aset yang dilakukan di Jakarta.
Saya paham, transaksi pembelian tanah atau bangunan tentu tidak akan bisa menghindari urusan perpajakan. Dari cerita klien, si petugas pajak membuat risih penghuni rumah dengan inspeksi ke segala sudut rumah, bertanya ini-itu, dan sudah tentu dengan kondisi bapak ini (mohon maaf) yang betul-betul old school–ya gampangannya ndeso–ketakutan dikejar urusan pajak begini.
Bahkan yang saya dengar, si petugas pajak ini tahu klien saya punya berapa anak, kerja di mana, tinggal di mana, dan menikah dengan siapa. Luar biasa sekali investigasinya. Saya paham bagaimana concern-nya si petugas terhadap klien saya. Mengingat daerah tinggal si bapak merupakan kawasan/kabupaten yang potensi pajaknya tidak besar, tapi punya WP potensi besar seperti si bapak tentu jadi kesempatan yang tidak bisa disia-siakan lagi.
Begitulah takdir semesta mempertemukan kami. Akhirnya si bapak meminta bantuan kantor saya, dan setelah itu kami resmi menangani urusan pajak blio. Kisah ini menjadi unik untuk saya share lantaran mengandung banyak informasi yang tentunya belum semua WP paham, agar ke depannya tiap orang yang hendak melaporkan pajak tak perlu merasa takut lagi.
Mari kita bedah poin pentingnya satu per satu.
Tabungan bukan objek pajak
Jamaah Mojokiyah, perlu diingat, yang menjadi objek pajak adalah penerimaan atau penghasilan, yang secara definisi umum merupakan tambahan ekonomis yang diterima seseorang karena melakukan suatu usaha atau pekerjaan. Ingat ya, tambahan ekonomis. Jadi, bila setiap bulan seseorang rutin mendapatkan penghasilan entah berupa gaji, honorarium, komisi, fee, atau istilah lainnya, itu baru bisa disebut dengan penghasilan.
Saya tentu mentah-mentah menentang tabungan klien yang dikumpulkan sejak 20 tahun lalu harus dipajakin begitu saja. Bahkan, biaya hidup sehari-hari si bapak ini diambil dari tabungan tersebut. Si bapak berpikir, kalau begini terus uangnya suatu saat bisa habis dan ia akan kesulitan untuk makan. Nah, alangkah lebih baik jika uang tabungannya diinvestasikan saja, kan?
Masalah lain pun muncul, ternyata si bapak tidak punya NPWP, jadi seolah-olah bapak ini tidak ingin melaporkan uang tabungannya. Ingat, menghadapi petugas jangan didasari dengan emosional. Selagi bisa berargumen secara logis, mereka pun akan menerima. Tentu dengan logika sederhana, bagaimana bisa seorang bapak-bapak yang sehari-harinya berurusan dengan tengkulak, ngangkut sayur, nurunin sayur, ngurusin dunia pertrukan, ujug-ujug paham masalah pajak dan punya NPWP sejak 20 tahun yang lalu?
Memang betul kewajiban memiliki NPWP adalah keniscayaan bagi seluruh rakyat Indonesia, namun tidak semua punya pemahaman yang cukup, apalagi warga desa seperti klien saya ini.
Bukan konsultan namanya kalau tidak memberikan jalan keluar (aseeek). Usut punya usut, bapak ini ternyata juga memiliki usaha kecil-kecilan jual beli mobil bekas. Mobilnya pun bukan mobil mewah, ya sebut saja Suzuki Karimun First Generation, Toyota Corolla keluaran tahun 2000, Toyota Kijang Krista 2004, dan yang sejenisnya. Itu pun sistemnya menunggu laku baru blio stok lagi, jadi blio tidak menyetok mobil dalam jumlah besar.
Atas penghasilannya tersebut, maka baru kita sepakati untuk dibayarkan pajaknya, dan saya menyarankan si bapak mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak. Toh, pada akhirnya happy ending. Si bapak lega urusan pajaknya selesai, si petugas pun senang pajaknya dibayarkan dan dapat tambahan WP baru.
Jadi, ini merupakan kesalahpahaman yang murni tidak dimengerti oleh WP. Sebesar apa pun tabungan, objek tersebut bukan disebut sebagai penghasilan karena penerimaan tersebut sifatnya tidak rutin dan dikumpulkan dari jangka waktu yang lama. Namun, wajib dimasukkan sebagai daftar aset dalam pelaporan pajak tahunan.
Lalu suatu ketika, ada juga klien datang ke saya. Ceritanya ia punya ibu kandung yang sudah cukup sepuh. Sebagai bakti anak ke ibunya, klien ini sering kirim rutin uang bulanan yang cukup besar nilainya, sampai ketika uang tersebut dibelikan sebidang tanah oleh ibunda dan akhirnya bermasalah juga urusan seperti ini.
Treatment-nya tetap sama seperti klien saya sebelumnya. Ingat, ibu ini hanya mendapatkan kiriman uang tanpa usaha. Artinya ia tidak bekerja, melainkan anaknya yang bekerja. Penerimaan ini bukan merupakan penghasilan menurut saya, namun lebih progresif saya anggap sebagai savings atau tabungan. Jadi, kewajiban si ibu ya hanya bayar BPHTB saja atas pembelian aset tersebut.
Apa pun jenis penghasilan harus ada pajaknya
Berbanding terbalik dengan poin di atas, beda cerita kalau misalnya si bapak klien selama masa pensiunnya menerima job betulin truk, atau menjadi makelar jual beli mobil. Kalau saya jadi penasihat atau konsultannya di posisi yang seperti ini, maka saya akan tetap memerintahkan pajaknya dibayarkan. Pun dalam kondisi uangnya sudah habis, ya itu urusan yang berbeda lagi. Salahnya sendiri kenapa tidak dibujetkan untuk membayar pajak.
Jadi saya berharap teman-teman tahu mana yang bisa menjadi objek pajak dan mana yang bukan.
Kalau main Binomo, ada pajaknya nggak?
BACA JUGA Panduan Lapor SPT Tahunan bagi para Wajib Pajak Newbie dan tulisan Muhammad Abdul Rahman lainnya.