Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Nusantara

Saking Ndesonya Soal Jogja, Saya Pernah Beli Pecel di Angkringan

Muhammad Farih Fanani oleh Muhammad Farih Fanani
3 April 2020
A A
Saking Ndesonya Soal Jogja, Saya Pernah Beli Pecel di Angkringan terminal mojok.co
Share on FacebookShare on Twitter

Saya pernah ke angkringan Jogja untuk membeli pecel.

Perpindahan dari desa ke kota bagi sebagian mahasiswa baru terkadang membawa persoalan yang juga baru. Bukan dalam arti persoalan yang membawa masalah besar, tapi lebih kepada masalah yang absurd dalam proses adaptasi.

Setiap orang punya waktu tersendiri dalam melakukan proses adaptasi. Tergantung bagaimana cara dia bergaul, sejauh apa pengetahuan dia tentang tempat tersebut dan seniat apa dia untuk benar-benar ingin beradaptasi.

Tulisan ini mungkin tidak akan sesuai dengan apa yang kalian rasakan wahai mahasiswa kota. Bahkan mahasiswa yang dari desa pun mungkin tidak relate dengan ini. Jadi mahasiswa yang ndueso lah mungkin akan paham dengan ini. Hanya paham, bukan pernah.

Sebagai anak yang lahir, besar dan dididik di lingkungan pedesaan di ujung utara Jawa Timur, yang tidak mungkin menyentuh dunia perkotaan, menjadi sedikit lebih susah bagi saya untuk melakukan adaptasi ketika diharuskan keluar dari desa untuk menuntut ilmu di kota. Tepatnya adalah kota Jogja.

Penyesuaian diri yang sifatnya personal tersebut bukan karena sesuatu yang ekstrem misalnya perbedaan budaya atau yang sejenisnya. Tapi lebih karena ketidaktahuanku akan dunia luar dan kecanggungan saya untuk berkomunikasi dengan orang baru.

Saya pertama kali menginjakkan kaki di kota Jogja sekitar lima tahun yang lalu, tepatnya tahun 2015. Sebagai mahasiswa dan penduduk baru tentu yang kita semua cari adalah makanan. Saya mencoba untuk meraba, menjilat dan mencelupkan, makanan apa dan di mana yang paling cocok. Baik dari kenyamanan di lidah maupun kenyamanan di kantong.

Saya memilih untuk membeli sebuah makanan di tempat yang serupa dengan gerobak bakso, cuman sepertinya itu bukan gerobak bakso. Mengingat banyak bapak-bapak berkumis yang duduk mengelilingi. Saya sebelumnya tidak tahu (angkringan) dan itu pertama kalinya aku melihat sebuah gerobak statis yang menjual makanan. Maklum di tempat saya tidak ada warung semacam itu.

Baca Juga:

Jogja Sangat Layak Dinobatkan sebagai Ibu Kota Ayam Goreng Indonesia!

4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Liburan Tetap Menyenangkan

Ibu-ibu penjualnya memakai daster bunga-bunga dengan ramah menyapa dan mempersilahkan saya untuk duduk dan ikut bergabung bersama bapak-bapak berkumis yang tengah menyantap hidangan didepannya. Sambil bola mata melihat kiri kanan dan sedikit mendudukkan kepala dengan wajah canggung, saya jawab “hehe enggih buk”, (iya bu).

Menu yang ditawarkan dan dihamparkan di gerobak itu buuanyak sekali. Tapi tidak ada satupun yang menggugah saya untuk menyantapnya. Ada tempe warna hitam kecoklatan, ada tahu yang terlihat seperti gosong tapi tidak kering, dan ada juga nasi yang dibungkus seukuran tikus mouse komputer.

Tapi sebagai orang yang lahir dan besar di budaya di Jawa Timur, senjata ketika tidak ada menu yang menggairahkan adalah dengan pesan makanan kebanggaan kita bersama yaitu pecelll. Saya kemudian bertanya ke ibu-ibu penjaganya, “bu nyuwun pecel setunggal, bungkus nggih” (bu minta pecelnya satu, dibungkus ya).

Bapak-bapak kumisan samping saya terlihat menundukkan kepala dan nampak seperti ada getaran di punggung mereka. Awalnya saya kira blio-blio ini tersedak karena terlihat sedang asyik makan dan ngobrol kesana kemari.

Sampai saya sadar bahwa ternyata mereka sedang menertawakan sejak saya pergi dari gerobak tersebut setelah ibu penjualnya menjawab “maaf mas, ini angkringan. Jadi tidak jual nasi pecel”. Itu adalah pertama kalinya saya mendegar kata angkringan. Asyemm, kata saya dalam hati. Saya kemudian pergi dan tidak malu dengan tindakanku, malah sedih karena pada akhirnya tidak jadi makan.

Tapi, tragedi plus waktu adalah komedi. Ketika kejadian itu telah lewat, saya merasa apa yang dulu pernah terjadi itu ternyata lucu. Keabsurdan dan ketidakmauan untuk bertanya kepada orang terdekat yang sudah lama tinggal di Jogja, membuat saya jadi bertindak bodoh dengan beli pecel di angkringan.

Analoginya seperti kita beli pembalut di rumah makan padang. Atau kita beli martabak di pom bensin. Sama-sama tidak nyambung. Yang bisa kita pahami adalah bahwa tingkat kemampuan orang dalam beradaptasi itu tergantung kepada kemampuan orang tersebut dalam berkomunikasi dan bersosial.

Saya yang ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jogja masih terkukung dengan kemaluanku rasa malu untuk bertanya, bersosial dan mencoba akrab dengan orang baru. Jangankan kayak gitu, bahkan untuk nyebrang di zebra cross dan dilihatin bapak-bapak yang lagi nunggu lampu merah saja saya malu. Syemm.

BACA JUGA Jogja dari Sudut Pandang Mahasiswa Baru atau tulisan Muhammad Farih Fanani lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 5 November 2021 oleh

Tags: anak rantauangkringanJogjamahasiswa baruNasi Pecel
Muhammad Farih Fanani

Muhammad Farih Fanani

Muhammad Farih Fanani, full time berpikir, part time menulis. Instagram @mfarihf.

ArtikelTerkait

Jogja Kota Salah Urus dan Sulit Dinikmati Warganya Sendiri (Unsplash)

Jogja Tidak Pantas Lagi Menyandang Kota Wisata dan Kota Pendidikan karena Tidak Bisa Dinikmati oleh Warganya Sendiri

2 Februari 2024

Harga Parkir dan Makanan ‘Nuthuk’ di Jogja Adalah Warisan Feodal Paling Ra Mashok

2 Juni 2021
Pengalaman Saya Menjadi Maba Universitas Negeri Surabaya UNESA: Rambut Digunduli hingga Disuruh Berendam di Sungai. Terlihat Menderita, tapi Tetap Bisa Tertawa

Pengalaman Saya Menjadi Maba UNESA: Rambut Digunduli hingga Disuruh Berendam di Sungai. Terlihat Menderita, tapi Tetap Bisa Tertawa

6 Agustus 2023
3 Pertigaan Jogja Paling Ruwet yang Bikin Warga Lokal Ogah Melewatinya Mojok.co

3 Pertigaan Jogja Paling Ruwet yang Bikin Warga Lokal Ogah Melewatinya

5 Agustus 2025
Gudeg Sagan Gudeg Jogja yang Ramah bagi Lidah Wisatawan (Unsplash)

Gudeg Sagan: Gudeg Jogja yang Ramah bagi Lidah Wisatawan

4 November 2025
Jogja Terbuat dari Tumpukan Kebohongan yang Terlanjur Dipercaya Banyak Orang Mojok.co

Jogja Terbuat dari Tumpukan Kebohongan yang Terlanjur Dipercaya Banyak Orang

22 Februari 2024
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

4 Hal Sepele tapi Sukses Membuat Penjual Nasi Goreng Sedih (Unsplash)

4 Hal Sepele tapi Sukses Membuat Penjual Nasi Goreng Sedih

29 November 2025
Malang Nyaman untuk Hidup tapi Bikin Sesak Buat Bertahan Hidup (Unsplash)

Ironi Pembangunan Kota Malang: Sukses Meniru Jakarta dalam Transportasi, tapi Gagal Menghindari Banjir

5 Desember 2025
Korupsi Masa Aktif Kuota Data Internet 28 Hari Benar-benar Merugikan Pelanggan, Provider Segera Tobat!

Korupsi Masa Aktif Kuota Data Internet 28 Hari Benar-benar Merugikan Pelanggan, Provider Segera Tobat!

3 Desember 2025
Pengajar Curhat Oversharing ke Murid Itu Bikin Muak (Unsplash)

Tolong, Jadi Pengajar Jangan Curhat Oversharing ke Murid atau Mahasiswa, Kami Cuma Mau Belajar

30 November 2025
Tidak seperti Dahulu, Jalanan di Solo Kini Menyebalkan karena Semakin Banyak Pengendara Nggak Peka Mojok.co

Tidak seperti Dahulu, Jalanan di Solo Kini Menyebalkan karena Semakin Banyak Pengendara Nggak Peka

1 Desember 2025
3 Sisi Lain Grobogan yang Nggak Banyak Orang Tahu

3 Sisi Lain Grobogan yang Nggak Banyak Orang Tahu

4 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lagu Sendu dari Tanah Minang: Hancurnya Jalan Lembah Anai dan Jembatan Kembar Menjadi Kehilangan Besar bagi Masyarakat Sumatera Barat
  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.