Bang Saipul Jamil sudah dibebaskan. Saya penonton Dangdut Academy Indosiar saat Bang Saipul Jamil ditangkap karena kasus pelecehan seksual pada anak laki-laki di bawah umur. Saya masih ingat Bang Saipul Jamil setia pada cara penjurian berdasar lirik lagu, peserta yang tidak hafal lirik lagu atau memakai versi lirik bukan dari penyanyi asli pasti dianggap gagal oleh Bang Saipul Jamil. Saya bukan penggemar, tapi juga bukan pembenci.
Oleh karena kasus tersebut, Bang Saipul Jamil terpuruk. Rumah dan mobil harus dijual. Teman artis pun banyak yang berpaling dan tak mau menjenguk. Saya ikut prihatin saat itu, tapi juga memahami kenapa Bang Saipul Jamil dikucilkan. Kasus pelecehan seksual pada anak di bawah umur itu memang tak main-main daya rusaknya pada si korban. Selain bisa mengganggu kesehatan mental juga merusak masa depannya.
Di banyak negara, pelecehan seksual pada anak di bawah umur adalah kejahatan yang serius dan luar biasa. Larangan bepergian ke luar negeri, memberi tanda khusus pada paspor dan SIM, adalah sebagian dari contoh campur tangan negara pada kasus pelecehan seksual pada anak (meski pelakunya sudah menjalani hukuman sesuai putusan sidang).
Lain cerita di Indonesia, malah diberi panggung di televisi dan diberi kalung bunga seperti baru saja berjasa pada bangsa dan negara.
Saya bisa membayangkan pertanyaan apa saja yang akan ditanyakan host acara televisi ke Bang Saipul Jamil:
“Bagaimana cara menjalani hidup di penjara yang keras?”
“Apa rencana ke depan untuk bangkit lagi berkarir di dunia entertainment?”
“Ada rencana menikah lagi, sudah ada calonnya?”
Namun, sulit membayangkan si korban yang entah bagaimana sekarang keadaannya menata mental menyimak sekian stasiun televisi menampilkan Saipul Jamil dan cerita-cerita penderitaannya selama di penjara.
Pada momen seperti ini pikiran saya tertuju ke KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang seharusnya berperan sebagai tukang bersih-bersih konten tak layak tayang. Tapi, saat ini KPI sedang sibuk melayani hujatan warganet karena di internal lembaganya sendiri terjadi kasus pelecehan seksual yang dilakukan saat jam kerja!
Sebagai warga jelata ,sekarang saya paham kenapa selama ini KPI hanya tertarik untuk nge-blur dada, paha, senjata, rokok, dan apa pun yang dianggap bisa bikin mata kelilipan. Mengedukasi internalnya saja gagal, apalagi memetakan tayangan televisi yang tak layak tayang. Shame on you, KPI.
Lantas siapa pihak yang kompeten untuk mengevaluasi televisi? Jangan tanya saya, bukan urusan saya ini. Digaji kagak, disuruh ikutan mikir. Pemerintah kerja bener sekali-kali, kek.
Setelah dipikir-pikir, televisi kita lebih berbahaya ketimbang narkoba karena punya akses membentuk budaya dan mengubah peradaban, tapi sistem pengawasannya buruk sekali. Dampak munculnya teknologi televisi sebagai mass media dalam peradaban manusia sama seperti dampak ditemukannya teknologi internet sebagai new media. Sebagai pengguna dan pembayar pajak seharusnya kita dapat pelayanan dari penyelenggara kebijakan (di urusan televisi) yang lebih baik dari yang kita terima sekarang bukan? Ini sudah 2021, industri pertelevisian (harusnya) sudah sangat berkembang.
Televisi sebagai ruang publik tampil lebih sederhana ketimbang internet sebagai cyberspace (ruang publik virtual). Di sisi lain, kesederhanaan tersebut membuat televisi menjadi kurang manusiawi.
Penonton tidak diberikan ruang untuk menolak, membantah, menambahkan, dan mengurangi. Komunikasi antara penonton dan televisi disederhanakan dalam bentuk angka-angka yang kemudian dikenal sebagai rating.
Tayangan dengan isi popularitas dan bombastisitas memenuhi layar kaca, tapi tidak menyampaikan pesan dan pengetahuan yang diperlukan masyarakat. Acara lamaran-pernikahan-kelahiran-parenting selebritas, aneka tayangan klarifikasi gosip, sinetron yang dikemas dengan cara-cara yang melukai akal sehat, adu cela para politisi, tayangan berita yang sesuai preferensi pengusaha televisi, you name it.
Makin tinggi rating, seburuk apa pun tayangan yang disajikan, makin banyak masuk iklan, makin banyak cuan.
Masalah lainnya adalah konten televisi yang pada awalnya memotret realitas sosial masyarakat, berubah menjadi medium hiperrealitas. Bahkan terjadi kekonyolan seperti konten YouTube di kanal selebritas tayang ulang di televisi. Padahal televisi memakai frekuensi publik untuk mengudara.
Maka, tak mengherankan jika orang-orang mulai membuat kampanye meninggalkan televisi. Konten yang ditawarkan menghina akal sehat, minim kreativitas—ditunjukkan dengan tayang ulang konten media sosial, dan tak memiliki empati.
Bang Ipul, akhirnya, tampil lagi di televisi. Tak peduli bagaimana perasaan korban, tak peduli akal sehat, pun KPI tak mempermasalahkan. Kita seharusnya sudah tidak perlu terkejut. Ya, memang hal yang menolak akal sehat dan kontroversial lah yang disukai oleh pembuat acara televisi. Makin dihujat, makin tinggi ratingnya. Memang tidak sehat, tapi, sejak kapan acara entertainment itu sehat?
Peduli setan pendapatmu, Saipul Jamil akan tetap laku, dan acara televisi akan tetap seperti itu. Mungkin memang sudah waktunya kita mengambil tongkat kayu dan ayunkan kayu tersebut ke televisi.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.