Salah satu keuntungan (atau malah kerugian), tinggal di kompleks perumahan adalah tergabung dengan grup WhatsApp (WA) perumahan. Tentu saja kontennya sangat beragam, kadang inspiratif, sesekali insecure, tetapi lebih sering lucu.
Saya sering kali membayangkan kelak saat istri menua apakah gelagatnya juga sama dengan ibu-ibu perumahan hari ini? Sebagai disclaimer, karakteristik ibu-ibu kompleks perumahan saya mayoritas berusia kepala empat akhir hingga kepala lima. Berikut ini beberapa tingkah laku dan konten ibu-ibu kompleks di grup WA yang selalu menghibur saya.
#1 Salat Tahajud
Meskipun konten chat yang ditulis hanya berupa salam dan doa untuk kebaikan bersama, waktu selalu bisa menjawab segalanya. Bayangkan saja, setiap hari antara pukul 02.30 hingga 03.30 dini hari, sekelompok ibu-ibu kompleks selalu berbalas assalamualaikum dan waalaikumsalam. Nggak mungkin dong jam segitu ibu-ibu ini main DOTA atau insomnia karena nonton drama Korea. Pasti salat Tahajud, dong? Iya, kan? Iya, dong?
Konten inspiratif ini sering kali disertai dengan mencolek nama ibu bapak tertentu di grup WA perumahan. Terkesan tendensius dan sinis, seolah meyakini bahwa ibu bapak yang lain sudah pasti tidak dalam keadaan bangun pada jam-jam segitu. Padahal kan bisa saja penghuni baru di perumahan lama yang relatif muda seperti saya sedang ngebut baca 30 juz Alquran sejak bakda Isya. Masuk akal sekali, kan?
#2 Video lucu yang nggak lucu
Ibu dan bapak kompleks seusia ini juga memberikan definisi pengguna yang khas dibandingkan anak muda. Tentu bisa dikira-kira sejak kapan ibu-ibu bermain WA. Smartphone saja baru booming 10-15 tahun lalu. Pastinya grup-grup lain yang diikuti ibu-ibu kompleks juga menyesuaikan grup Facebook mereka. Saya bisa membayangkan isinya grup reuni dan nostalgia kawan kuliah, SMA, atau bahkan SMP dan SD.
Keniscayaan konten video lucu dari circle pertemanan tersebut tentu tidak bisa lagi dihindarkan. Sayangnya, sering kali video lucu yang disebarkan oleh ibu-ibu kompleks sama sekali nggak lucu buat saya. Pasalnya, video tersebut sudah pernah saya tonton semasa kuliah lima tahun lalu. Dari situ bisa dipelajari bahwa ternyata persebaran humor juga melambat seiring dengan lingkaran usia pengguna media sosial.
#3 Insecure pada hoaks wagu
Sering banget, mereka nge-share konten baik berupa tulisan panjang atau video yang nggak jelas banget sumbernya. Namun, kok, ya, tetap saja mereka merasa insecure kalau-kalau kasus atau peristiwa yang ada dalam informasi tersebut benar adanya. Biasanya, jenis konten yang paling sering bikin ibu-ibu was-was ya tentang makanan mengandung babi atau video makanan palsu.
Lebih dari itu, di masa pandemi yang serba nggak jelas ini, saya mengamati makin banyak info wagu yang niatnya baik tapi belum tentu benar isinya. Misalnya, cara membunuh virus corona dengan inilah, cara menjaga daya tahan tubuh dengan itulah. Bahkan juga soal cara mempercayai sekaligus mempertanyakan vaksin untuk Covid-19. Aneh banget, kan?
#4 Sambat kucing jahat
Kalau konten sambat tentang kucing liar yang berseliweran di lingkungan kompleks, biasanya dipanaskan oleh amukan bapak-bapak. Terutama yang jok motornya dan ban mobilnya baret-baret nggak karuan akibat praktik asah kuku tanpa izin oleh si kucing. Selain itu, konten “pisang kuning” hasil defekasi metabolisme tubuh si kucing yang sembarangan dibuang, juga selalu jadi perdebatan panjang dalam grup WA perumahan.
Pasalnya, si pemilik berdalih pelakunya pasti bukanlah kucing peliharaannya. Sementara ada juga satu dua rumah yang selalu memberi makan kucing perumahan tanpa mau mengurungnya di dalam rumah dengan alasan bahwa ia tidak memiliki kucing. Jadi, tambah runyam dan panjang urusan.
Pada akhirnya, misi “berburu” kucing perumahan ramai-ramai untuk kemudian mengarunginya dan melepaskannya ke alam bebas di lapangan desa setempat belum juga dapat terlaksana. Tentu saja karena kesibukan pekerjaan bapak-bapak dan hobi bersepeda di akhir pekan yang tidak pernah bisa ditinggalkan.
Sebenarnya masih banyak lagi konten penuh faedah dari grup WA perumahan yang barangkali tidak akan ada di kalangan pemukiman desa terbuka. Misalnya, ibu-ibu yang sering ngepost konten bunga yang ia rawat dari kecil dan dinamai Mallika, jualan online dengan produk bento hasil kreasi masak sendiri, hingga pengurus paguyuban yang menagih iuran perumahan pada bangunan kosong dengan spanduk dijual atau dikontrakkan.
Sayangnya, adanya grup WA bukannya memudahkan interaksi real life di lingkungan kompleks, justru menihilkan hubungan sosial yang seharusnya tetap terjalin secara komunal. Grup WA telah secara salah kaprah dianggap sebagai wasilah yang sah dalam kewajiban dan hak bertetangga di era digital.
BACA JUGA Orang yang Chat WhatsApp Duluan tapi Nggak Balik Balas Saat Kita Sudah Balas Chatnya Itu Kenapa, sih dan tulisan Adi Sutakwa lainnya