Tinggal di dekat objek wisata seperti Taman Sari Jogja lebih banyak menderitanya daripada senangnya.
Apa yang terlintas di benak kalian ketika mengetahui ada orang yang tinggal berdekatan dengan tempat wisata Jogja? Menyenangkan karena berasa liburan terus? Lingkungan yang indah? Harapan saya juga seperti itu, tapi nyatanya rumah di dekat objek wisata itu nggak melulu menyenangkan.
Rumah masa kecil saya berada di area Taman Sari Jogja. Itu lho, kompleks istana air warisan Kraton Jogja. Salah satu tempat wisata yang banyak disarankan orang ketika berkunjung ke Jogja. Memang ada rasa bangga dan cinta yang mendalam terhadap tanah kelahiran saya ini. Namun, terlepas dari itu, hidup di Taman Sari harus banyak bersabar menghadapi keruwetan turis setiap hari. Iya setiap hari.
Daftar Isi
#1 Tinggal di Taman Sari serasa jadi tontonan wisatawan
Bagi yang belum pernah ke Taman Sari, saya beri sedikit gambaran objek wisata yang terletak di Kota Jogja ini. Di Taman Sari, rumah warga bergandengan dengan situs. Itu mengapa memungkinkan bagi wisatawan berkeliaran di antara rumah warga. Seolah-olah mereka sedang berada di taman safari dan warga menjadi objek tontonannya.
Masalah menonton warga tidak selamanya menyebalkan. Terutama bagi warga yang melakukan pertunjukan seperti membatik atau melukis. Namun, untuk warga seperti saya yang ingin hidup damai, jelas tidak sudi jadi tontonan wisatawan. Apalagi sampai difoto tanpa izin! Saya ini sedang berada di rumah pribadi lho, tempat di mana seharusnya mendapat rasa aman.
Selain masalah ketidaknyamanan, menjadi tontonan wisatawan membuat saya serba salah sikap. Mau ke halaman rumah jadi nggak berani tanpa kaus. Mau tidur di bangku teras jadi sungkan. Kegiatan-kegiatan yang bisa dengan bebas kalian lakukan di rumah adalah barang mewah buat saya.
#2 Tinggal di Taman Sari harus banyak mengalah
Ketika Anda tinggal di objek wisata, turis akan menjadi raja. Apapun yang Anda lakukan harus bisa menjamin turis tetap nyaman. Itu mengapa, saya harus lebih sering mengalah. Bahkan, ketika berada di wilayah pribadi.
Salah satu yang paling sering saya alami adalah ketika mau pulang ke rumah. Terkadang saya tidak bisa langsung pulang karena tertahan rombongan wisatawan yang menyesaki halaman depan. Ya, mau tidak mau, saya harus menunggu mereka pergi. Mungkin untuk penduduk perumahan, peristiwa seperti ini bisa jadi geger gedhen. Namun, untuk warga Taman Sari seperti kami, yang ada hanyalah mengalah dan selalu mengalah.
Masih banyak hal yang membuat saya di posisi serba mengalah. Dari tidur nyenyak di minggu pagi, sampai mau menyelenggarakan acara di rumah. Pokoknya kegiatan pariwisata adalah prioritas, dan hajat hidup kami yang harus berkompromi.
Baca halaman selanjutnya: Sabar melihat perilaku …
#3 Sabar melihat perilaku wisatawan yang aneh-aneh
Perilaku aneh wisatawan menjadi sarapan, makan siang, sampai makan malam penduduk di area objek wisata seperti Taman Sari. Tidak ada yang bisa kami lakukan selain melihat polah mereka sambil mengelus dada. Kalau cuma memetik bunga di kebun pribadi sampai vandalisme di tembok rumah sih sudah biasa ya. Iya tindakan menyebal seperti itu sudah biasa bagi kami, cerita yang ingin saya bagikan di sini lebih dari itu.
Pernah suatu waktu ada wisatawan yang tiba-tiba teriak. Bukan marah, tapi berdoa mengusir roh jahat di situs cagar budaya ini. Ada juga yang saling lempar kue ulang tahun sampai mengotori dinding rumah. Tapi yang paling menyebalkan adalah perbuatan mesum di sekitar rumah. Saya tidak membenci ungkapan cinta, tapi kenapa harus di sela-sela sempit kompleks situs?
Kadang saya turun langsung menghadapi wisatawan yang kelewatan. Baku hantam sudah jadi konsekuensi jika yang dihadapi tidak merasa objek wisata ini juga ruang hidup kami. Namun, saya lebih sering menghela napas sambil memijat kening. Berharap Tuhan memberi napas lebih panjang selama melihat para wisatawan berlaku seperti berang-berang kesurupan.
#4 Semua infrastruktur demi pariwisata
Penderitaan warga yang tinggal di sekitar objek wisata tidak hanya datang dari wisatawan. Pemerintah ikut-ikutan menyiksa dengan doktrin pembangunannya. Ketika sebuah infrastruktur dibangun, itu semua bertujuan mendukung pariwisata. Kebutuhan kami, warga yang tinggal di sana, benar-benar terabaikan.
Akhirnya warga lebih sering memenuhi kebutuhan infrastruktur secara tanggung renteng. Saat pembangunan berlangsung, lagi-lagi masyarakat harus mengalah. Entah jadi tempat timbunan pasir atau terdampak debu semen yang bikin sesak.
Satu hal yang lebih parah dari itu adalah masyarakat bisa tergusur, baik secara menyenangkan ataupun tidak. Penduduk Taman Sari Jogja pasti sudah terbiasa dengan ancaman ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Tanahnya milik Kraton Jogja dan wisatawan dianggap lebih menarik dari budaya yang dipelihara masyarakat.
#5 Hidup serba salah di objek wisata
Tinggal di area objek wisata memang serumit itu. Apapun yang saya lakukan, rasanya serba salah. Privasi menjadi barang langka di rumah sendiri. Apapun yang dilakukan akan jadi tontonan wisatawan. Bahkan, ketika mempersiapkan hajat seperti peringatan meninggalnya eyang saya beberapa waktu lalu. Tidak hanya jadi tontonan, wisatawan malah mencibir hajatan kami karena merasa risih. Lah, ini acara di area rumah kami lho!
Saya tidak bisa memilih di mana untuk dilahirkan. Akhirnya, saya memutuskan hengkang dari Taman Sari 10 tahun lalu. Memilih hidup bersama orang tua dan kini punya rumah sendiri. Sesekali saya ke rumah tempat saya dibesarkan untuk menjenguk sanak famili, sembari menjaga rasa cinta pada tanah kelahiran. Sambil berkunjung, sesekali saya tetap mengumpat atau memaki wisatawan yang kurang ajar di depan rumah kami.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.