Bayangkan ini: Seorang pria datang menjemput kekasih. Motor klasik yang macho dan seksi menjadi tunggangan mereka. Berbalut jaket denim, menggeber gas di jalanan kota yang lengang.
Romantis? Iya, setidaknya dalam skenario. Macam Dilan yang bikin Anda semua sesenggukan. Realitanya? Ra mashok blas!
Saya sarankan, abaikan sejenak mimpi kencan bertema klasikan. Apalagi memaksakan motor klasik untuk pacaran. Kecuali si empunya motor memang peka pada urusan mesin dan perasaan, mimpi pacaran ala klimis jali Anda akan berakhir di tepi jalan. Kabut cinta Anda berdua bisa berganti jadi asap mesin yang overheat.
Kenapa saya mempropagandakan hal ini? Ya sebab saya harus mengalami kejadian nggatheli pada momen pacaran yang (harusnya) indah. Semua gara-gara motor klasik yang harusnya menambah nilai romansa kami.
Semua diawali dari greget memodifikasi motor saya. Honda Tiger 2000 butut adalah media terbaik untuk pria bermimpi besar bermodal cupet. Mesin 200 cc dan rangka yang jadul membuat mimpi saya punya motor klasik menjadi mudah.
Mulailah proses permak motor saya. Dari konsep asli yang membosankan, motor saya menjadi berpenampilan lawas. Layaknya motor Honda CB 125. Bentuk yang serba tajam dari Tiger menjadi lekuk manis manja ala CB. Dilihat-lihat, memang seksi sih.
“Satu CB sejuta saudara, satu ninja sejuta perbulan,” pikir saya waktu itu. Sok-sokan idealis membuat saya merombak Tiger saya menjadi CB. Memundurkan usia belasan tahun dari semestinya. Tapi, urusan mesin saya tetap bertahan pada orisinil Tiger.
Meskipun mesin Tiger tidak setua seri CB, tapi tetap saja sudah berusia belasan tahun. Dan namanya mesin tua, perawatannya juga lebih rewel. Daya tempuh dan kecepatan juga harus dipertimbangkan. Motor bermesin jadul tidak pernah sesederhana motor modern yang tinggal rutin ganti oli saja.
Tapi saya terlalu sibuk mengagumi motor kustom saya. Dan kekaguman ini membuat saya ngebet pengen pamer ke kekasih. Ya wajar, namanya juga sukses menciptakan mahakarya. Saya sudah membayangkan kekasih saya terbelalak kagum dan melihat saya sebagai maestro.
Tapi, mimpi tinggal mimpi. Kencan romantis tinggal wacana.
Sejak awal naik motor, masalah sudah menyapa seramah kasir minimarket. Mak jegagik, motor saya menjadi super ceper. Ternyata saya lupa memperhitungkan beban yang diterima shock absorber belakang. Sebab, sudah dipotong biar makin pendek demi estetika, shock tadi tidak kuat menahan beban kami. Alamat motor saya tak bisa berjalan.
Saya selalu benci dengan konsep-konsep estetika yang melupakan fungsi. Contohnya ya Tugu Jogja. Tapi, waktu itu saya menjadi orang yang saya benci. Demi tampilan motor yang “penuh” dan memaksakan shock absorber dipendekkan, motor saya jadi tidak bisa digunakan.
Mau tidak mau, saya tinggal dulu dia yang sudah dandan cantik. Saya bawa ke bengkel untuk menyetel ulang shock saya. Setidaknya, shock saya sudah tidak ceper lagi. Tapi, demi menahan beban kami, shock motor saya jadi sekaku batang baja. Alias tidak lagi menyerap goncangan. Romantisme pacaran kami harus terguncang. Bukan oleh konflik, tapi jalanan yang berlubang.
Saat mulai melenggang saja, masalah datang lagi. Meskipun terlihat seromantis Dilan dan Milea, tapi romantis ini terasa dipaksakan. Jok motor modifikasi saya terlalu sempit untuk kami berdua. Demi mengejar penampilan, saya lupa untuk mempertimbangkan kenyamanan. Sekali lagi, saya terjebak estetika
Mau tidak mau, kami berdua harus duduk merapat. Pelukan kekasih saya menjadi pengaman agar ia tidak kejlungup dan njungkel dari jok. Maklum, jok motor saya tidak cukup menampung seluruh pantat dia. Kalau dilihat orang, kami seperti pasangan kekasih yang masih panas-panasnya. Realitanya, kami berjuang antara hidup dan mati.
“Nggak apa-apa, nanti juga biasa.” ujar saya seenaknya. Yah, mau bilang apa lagi.
Setidaknya prosesi jalan-jalan kami tetap berjalan dalam nestapa. Situasi serba dipaksakan ini memuakkan dan penuh mara bahaya. Motor yang tidak layak untuk yang-yangan ini tetap saya geber demi masturbasi ego. Bodo amat, saya pengin pacaran yang punya kultur kental.
Pantai menjadi sasaran kami. Pertama, kekasih saya memang suka pantai. Kedua, jalan Daendels adalah lokasi tepat untuk mengambil gambar. Dan jelas, saya lebih mementingkan mengambil gambar motor saya yang gantengnya ngadi-adi itu. Momen istimewa kami sempat terlupakan. Lebih tepatnya, saya lupakan.
Sudah sore, saatnya untuk pulang. Dengan empet-empetan yang lebih melelahkan dari sebelumnya, kami melaju melalui jalanan berlubang. Sembari mengutuki pembangunan Jogja yang terpusat di pariwisata saja, tiba-tiba motor kami berhenti. Mau tidak mau, kami harus menunda perjalanan untuk cek kerusakan
“Damput! CDI-ne keno meneh!” saya kembali misuh-misuh. CDI motor saya sudah pernah rusak dan diganti CDI KW. Maklum, dana mepet. Akhirnya momen intim kami terjadi bukan saat tadi di pantai. Tapi, di jalan tepi sawah. Disaksikan kambing dan sapi yang merumput.
Kekasih saya jongkok di sebelah. Sesekali dia duduk di atas sandal, sambil menatap (mungkin meratapi) saya yang mengeluarkan serapah. Beruntung, dia paham dengan kemarahan saya. Dia mengajak saya membahas hal remeh untuk mengalihkan kemarahan. Sungguh, momen ini lebih dalam daripada candlelight dinner.
Pelajaran apa yang saya peroleh? Sebenarnya banyak, tapi kebebalan menghalangi saya untuk berubah. Saya tetap memuja motor klasik kustom tak layak pacaran ini. Setidaknya sampai motor itu dijual karena dianggap rosokan oleh bapak saya.
Ah, asmara. Kadang kita memaksakan konsep berlebihan. Menuntut relasi dikemas dalam romansa semu. Tapi, realita memang suka menampar. Konsep pacaran yang saya pikir romantis digagalkan dengan segenap kebodohan ego.
*Kencan Amburadul adalah segmen khusus, kisah nyata, momen asmara paling amburadul yang dialami penulis Terminal Mojok dan dibagikan dalam edisi khusus Valentine 2021.
Photo by VonSinnen via Pixabay
BACA JUGA Orang Pacaran yang Memacu Motornya Begitu Pelan Itu Dimaklumi Aja, sih! dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.