Romantisme Mas Pur dan Mbak Rinjani Ketika Jakarta Memberlakukan PSBB

Romantisme Mas Pur dan Mbak Rinjani Ketika Jakarta Memberlakukan PSBB

Romantisme Mas Pur dan Mbak Rinjani Ketika Jakarta Memberlakukan PSBB

Sejak saya menulis surat terbuka untuk Mas Pur, sinetron favorit nenek saya ini masih ngeyel syuting-nya dan sama sekali nggak kasih edukasi tentang pandemi corona. Padahal, dalam tulisan saya tersebut, saya yakin bahwa penikmat sinetron ini kebanyakan berangkat dari golongan menengah-kebawah. Memang, risiko pemilik pekerjaan yang nggak memiliki privilese untuk berdiam diri di rumah. Apa lagi Mas Pur itu tukang ojek dan baru saja menikah. Tapi, yang buat saya geleng-geleng adalah pesta pernikahan Bang Udin yang dirayakan secara besar-besaran seakan bahaya pandemi itu tidak ada. Ini Rawa Bebek berada di Bumi atau Planet Namex, sih?

Romantisme sinetron ini pun akhirnya berakhir dan menyerah ketika Pemerintah Jakarta menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) guna memutus rantai pandemi. Tayangan Tukang Ojek Pengkolan pun kini hanya sebatas wisata masa lalu yang memutar tayangan-tayangan terbaiknya di masa lalu. Sekaligus, saya bisa bernapas lega lantaran kembang desa Rawa Bebek, Mbak Anissa, bisa beristirahat di rumah dan saya nggak perlu repot-repot mengingatkan Mbaknya untuk makan tiga waktu dan bobok yang cukup.

Nggak adanya episode terbaru sinetron ini, saya pun kangen sama celetukan-celetukan romantis khas Mas Pur. Saya pun membayangkan, apa saja ya yang dilakukan oleh Mas Pur dan Mbak Rinjani selama swakarantina guna mendukung kebijakan PSBB untuk memutus mata rantai pandemi corona? Pastinya, nggak bakal ada adegan Mas Pur eyel-eyelan sama Mas Jhon, nggak ada pula adegan Mas Pur mangkal di pangkalan ojek karena beginilah (((kemungkinan))) yang akan terjadi pada kisah kasih Mas Pur dan Mbak Rinjani.

Pastinya, adegan romantis dan percakapan yang bikin gemes bakal Mas Pur sajikan untuk istrinya tersayang. Jika saja ada kamera, Dilan dan Milea bakal salim sama pasangan ini. Cinta dan Rangga bakalan merasa kisah cinta mereka selama ini b aja. Siapa lagi? Adit dan Tita? Ah, mereka semua nggak ada apa-apanya jika dibandingkan sama Mas Pur dan Mbak Rinjani.

Pagi hari ketika mata masih kriyip-kriyip, Mas Pur yang baru aja bangun melihat istrinya yang sudah bangun dan sedang ngonceki bawang. Mas Pur pun langsung memiliki ide untuk memuji istrinya ini secara tersirat. Dengan belaga masih ngantuk, Mas Pur pun pura-pura bangun dengan terkejut. “Astaghfirullah…” kata Mas Pur nyebut.

“Eh, apa, Mas?” Mbak Rinjani yang sedang ngonceki bawang pun kaget dan melihat suaminya.

“Wah, jebul aku mimpi…,” kata Mas Pur ketika bangun tidur. Wajahnya nggak bisa menutupi, senyum-senyum lah Mas Pur, kumis tipisnya ngewel (gemeteran).

Mbak Rinjani paham bahwa suaminya ini lagi mau gombal. Ia menangkap maksud terselubung suaminya. “Mimpi apa, sih, Mas?” Mbak Rinjani mesem-mesem ngampet kemekelen.

“Eh,” Mas Pur kembali kaget-kaget manja setelah melihat wajah istrinya. Memegang tangannya dan mencubit-cubit kecil. “Jebul mas sedang ndak mimpi to.”

“Emang mimpi apa sih, Mas?”

“Tadi itu mimpi ketemu bidadari. Eh, jebul pas bangun bidadarinya masih ada,” Mbak Rinjani pun nyumpel mulut Mas Pur pakai bawang lantaran saking gemesnya.

Adegan pun berubah ketika mereka sarapan. Mbak Rinjani masak nasi goreng untuk menu pagi itu. Mas Pur pun memakannya dengan lahap. Mulut Mas Pur membuka maksimal, seperti vacum cleaner yang sedang nyedoti ini dan itu, mulut Mas Pur melahap apa saja yang ada di depannya.

“Mbok ya o pelan-pelan to, Mas, maemnya,” kata Mbak Rinjani yang nggak selera setelah melihat suaminya makan seperti jaran.

“Harus cepat-cepat, Dek.”

“Loh, kenapa kok cepet-cepet?”

“Takut ini semua cuma mimpi.”

“Kenapa kok mimpi?”

“Takut dimasakin sama bidadari seperti ini ternyata mimpi, makanya harus dinikmati cepat-cepat makannya,” Mbak Rinjani pun nyumpeli mulut Mas Pur pakai cobek lantaran saking gemesnya.

Adegan malam pun lebih seru. Kini Mbak Rinjani sambat karena kebutuhan sehari-hari mereka telah habis. Mulai dari bahan pokok, rupiah yang biasa mereka dapatkan dengan cara bekerja di luar sampai sumpeknya mereka karena harus tinggal di kos-kosan sempit. Pasangan baru menikah ini pun tidur bersama, saling menatap eternit yang mulai jebol dan banyak rembesan air karena bocor.

Mbak Rinjani pun sambat, “Enak ya, Mas, jadi Keluarga Pak Sofyan. Bisa tidur di rumah megah, main bola di halaman rumah juga bisa. Lagi PSBB begini adek malah sadar satu hal, bahwa kesenjangan di depan mata.”

“Iya, di depan mata,” kata Mas Pur nimpali. Senyum-senyum tipis dan kumisnya seakan hendak mencolot.

“Emang dengerin apa yang adek omongin? Kok tiba-tiba bilang di depan mata. Apa coba yang di depan mata?”

Mas Pur pun ngadep samping, ngampet ngguyu sambil lihat mata istrinya, “kebahagiaan mas yang ada di depan mata.”

Mbak Rinjani pun nyumpeli mulut Mas Pur pakai bantal karena saking gemesnya.

BACA JUGA Kami Bersama Mas Pur: Slogan Para Pria Dengan Perjuangan Cintanya atau tulisan Gusti Aditya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pengin gabung grup WhatsApp Terminal Mojok? Kamu bisa klik link-nya di sini.

Exit mobile version