Antibiotik adalah obat yang akan menjadi momok menakutkan di masa depan, dan berbahaya bagi umat manusia. Hal ini disebabkan adanya kemunculan resistensi antibiotik. Penyebab munculnya resistensi antibiotik disebabkan oleh penyalahgunaan obat ini dengan dosis ngawur.
Resistensi antibiotik atau disebut juga antimicrobial resistance (AMR) merupakan kondisi di mana antibiotik sudah tidak lagi mampu secara optimal membunuh bakteri di dalam tubuh yang terinfeksi. Sehingga bakteri-bakteri ini terus berkembang biak yang kemudian sakit dari pasien makin parah. Efek terparahnya jelas: bisa berujung meninggalnya pasien.
Saya sebagai apoteker sering sekali mendapatkan kisah perihal resistensi antibiotik ini dari sejawat saya. Beberapa kali mendapatkan broadcast bahwasanya ada pasien di RS A atau RS B yang mengalami resistensi obat jenis ini.
Gara-gara resistensi antibiotik, terapi tidak menjadi efektif. Padahal pasien tersebut membutuhkan terapi dari antibiotik karena mengalami infeksi bakteri. Sejatinya obat antibiotik yang efektif merupakan kebutuhan kita semua dalam berbagai skenario terapi pengobatan.
Mungkin judul artikel yang saya buat ini terlalu berlebihan, dan memiliki kesan menakut-nakuti. Akan tetapi jika dilihat dalam kacamata medis fenomena resistensi antibiotik menjadi perkara yang tidak bisa dianggap remeh. Kita semestinya responsif dengan keadaan ini.
Daftar Isi
Resistensi antibiotik, the silent pandemic
Resistensi antibiotik sendiri memiliki istilah lain yakni Silent pandemic. Artinya bukan tubuh menjadi kebal pada pengobatan seperti penjelasan saya sebelumnya. Resistensi antibiotik membuat bakteri yang berada di dalam tubuh kita menjadi kebal terhadap zat antibiotik. Dalam artian lain, bakteri yang menginfeksi diri kita sudah beradaptasi dengan zat tersebut. Sehingga, pengobatan yang dilakukan pun jadi tidak efektif lagi.
Hal tersebut lantaran bakteri mampu memproduksi enzim yang dapat merusak atau menurunkan khasiat senyawa obat tersebut. Mari ambil salah satu contohnya, seperti Amoxicillin. Golongan obat penisilin bisa terdegradasi oleh enzim beta laktamase yang diproduksi oleh bakteri.
Potensi korban jiwa yang tidak bisa diremehkan
Namanya Silent pandemic, tentu saja akan memakan korban jiwa. Bahaya resistensi antibiotik ini membuat kemanjuran obat menurun. Kedepannya bisa saja membuat malapetaka bagi manusia jika tidak ditangani segera.
Dalam jurnal Global burden of bacterial antimicrobial resistance in 2019: a systematic analysis resistensi antibiotik atau AMR dikaitkan dengan 4,95 juta kematian pada tahun 2019 dan dilaporkan 1,27 juta orang meninggal.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada tahun 2017, angka kematian yang disebabkan oleh resistensi antibiotik sebanyak 700.000 kasus kematian per tahunnya. Dengan semakin cepatnya perkembangan dan penyebaran infeksi bakteri, diperkirakan pada 2050, kematian akibat resistensi antibiotik di dunia mencapai 10 juta jiwa per tahun
Melihat data ini menunjukkan bahwasanya kejadian resistensi antibiotik tidak bisa dipandang sebelah mata. Saya yakin dari kita semua tidak ingin menjadi salah satu korban selanjutnya, dan sepertinya kita harus merespons dengan baik hal seperti ini. Masih ingat kan peliknya menghadapi pandemi corona seperti apa?
Kebiasaan konsumsi yang salah bikin resistensi antibiotik
Seperti yang sudah saya bilang di atas, pemicu terjadinya resistensi antibiotik tentunya karena penggunaan obat yang tidak tepat. Penggunaan yang masif dan ngawur seakan lumrah di negara ini. Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan bahwa 86,1% obat ini diperoleh tanpa resep.
Jamak ditemukan di berbagai lapisan masyarakat masih menggunakan obat jenis ini untuk jenis sakit apa pun. Sebenarnya, hal wajar jika penggunaan antibiotik tinggi di negara tropis. Penyakit tropis menjadi salah satu penyebabnya.
Beberapa penyakit tropis di Indonesia memang banyak yang membutuhkan obat golongan antibiotik seperti TBC, malaria, DBD, dan masih banyak lagi.
Hingga kini pun masih banyak masyarakat lebih meminta antibiotik untuk menangani demam ketimbang antipiretik seperti paracetamol. Saya pun masih sering dimintai obat golongan ini, padahal mereka tidak bawa resep sama sekali.
Nyatanya untuk mendapatkan obat golongan antibiotik pasien harus memiliki resep dari dokter terlebih dahulu. Barulah pasien mendapatkan obat yang diinginkan. Ditambah jika sudah mendapatkan obat tersebut, pasien harus diwajibkan mengikuti aturan minum obat yang sudah diresepkan oleh dokter.
Kami para apoteker selalu menulis etiket (aturan minum obat) obat untuk menghabiskan obat ini sehingga pasien bisa terhindar dari resistensi antibiotik.
Efek plasebo
Dugaan saya sebagai apoteker, kenapa orang selalu minta obat antibiotik semata karena efek plasebo.
Efek plasebo sendiri dalam dunia medis cukup umum. Zat ini, atau plasebo, tidak memiliki efek medis yang diketahui. Terkadang plasebo berbentuk pil (pil gula), tetapi bisa juga berupa suntikan (larutan garam), atau cairan sekali pakai.
Dalam kasus ini masyarakat menganggap bahwa antibiotik memberikan efek kesembuhan bagi mereka. Padahal ya beda. Hanya berdasar pengalaman sembuh dari meminum obat jenis ini, lalu semua penyakit dihajar dengan obat yang sama.
Munculnya kebiasaan inilah yang harus diwaspadai. Kalau sudah kelewat parah, resistensi antibiotik jadi begitu umum.
Tentunya hal ini bisa ditangani asalkan masyarakat mau mengubah persepsi bahwasanya antibiotik bukan obat penyembuh segalanya. Segala sakit belum tentu disembuhkan oleh obat yang sama. Ditambah lagi ada oknum nakal yang bebas memperjualbelikan obat ini tanpa resep.
Penjual nakal ketemu konsumen bebal. Wah, kombinasi mematikan.
Jadi, sebagai konsumen obat, mari kita cerdas dikit. Ketimbang merasakan hal-hal ngeri, baiknya jadi konsumen yang bijak.
Penulis: Nabial Chiekal Gibran
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Paracetamol, Obat yang Aman tapi Juga “Bahaya”