Menormalisasi Resepsi Pernikahan Tanpa Sumbangan. Bukannya Sultan, Hanya Nggak Ingin Punya Beban

Menormalisasi Resepsi Pernikahan Tanpa Sumbangan. Bukannya Sultan, Hanya Nggak Ingin Punya Beban Mojok.co

Menormalisasi Resepsi Pernikahan Tanpa Sumbangan. Bukannya Sultan, Hanya Nggak Ingin Punya Beban (unsplash.com)

Beberapa waktu lalu, saya bertemu saudara yang sedang kebingungan. Dia bingung harus mengadakan resepsi pernikahan atau tidak. Sejujurnya, saudara saya yang ingin mengadakan acara resepsi yang sederhana saja. Kalau bisa, mereka yang datang sedikit saja dan jangan ada yang menyumbang dalam bentuk apapun. 

Betul, kalian tidak salah dengar. Ketika mayoritas orang mengejar sumbangan resepsi pernikahan sebanyak-banyaknya, saudara saya ini justru tidak menginginkannya. Bukan karena dia sudah kaya raya, dia tidak ingin menerima sumbangan karena takut tidak mampu mengembalikannya kelak. Apalagi kondisi ekonomi di masa mendatang tidak ada yang tahu. 

Menyumbang adalah investasi

Di daerah tempat tinggal saudara saya aturan tentang menyumbang tetangga yang menggelar hajatan memang masih ketat. Sumbangannya tidak melulu dalam bentuk uang, bisa juga dalam bentuk kebutuhan sehari-hari seperti beras, gula, teh, ataupun hadiah lainnya. 

Hal yang membuat saudara saya tertekan adalah sumbangan dari para tetangga ini bukanlah hadiah atau ucapan selamat. Mirip seperti investasi, mereka yang sudah menyumbang akan dicatat dalam sebuah buku besar, lengkap dengan jenis sumbangan atau nominal sumbangannya. Kemudian, pihak yang sudah diberi sumbangan itu harus mengembalikannya ketika pemberi sumbangan menggelar hajatan kelak. 

Itu alasan kuat mengapa saudara saya ingin mengadakan acara pernikahan yang sederhana dan tanpa meminta sumbangan. Dia takut kondisi keuangannya di masa mendatang tidak baik, sehingga kesulitan mengembalikan sumbangan dari para tetangga. Tentu rencana ini ditolak mentah-mentah oleh kedua orangtuanya. Mengingat, kedua orang tuanya sudah memberikan banyak sumbangan ketika tetangga lain hajatan. Masa iya, investasinya nggak balik? 

Budaya yang memberatkan

Bukan hanya perkara orang tua, saudara saya takut dengan omongan tetangga kalau menggelar resepsi pernikahan tanpa sumbangan. Dia takut dikira sombong, sultan, hingga tidak butuh uang lagi. Di sisi lain, kalau menerimanya, dia akan tertekan dengan bayang-bayang mengembalikan sumbangan tersebut di masa mendatang. Banyak lho kisah warga terlilit hutang demi mengembalikan sumbangan yang sudah diterima di masa lalu. 

Informasi lain yang saya terima, di desanya itu orang akan datang ke resepsi pernikahan baik diundang maupun tidak diundang. Mereka juga memberikan sumbangan yang dinilai layak. Oleh karena itu, pengeluaran sosial untuk hal-hal semacam ini akan sangat besar kalau resepsi pernikahan orang-orang terjadi dalam waktu berdekatan. 

Normalisasi resepsi pernikahan tanpa sumbangan

Setelah saya pikir-pikir, apa salahnya sih mengadakan acara resepsi tanpa meminta sumbangan? Resepsi pernikahan seharusnya acara syukuran atas pasangan yang sudah menikah. Kalau memang ada pegantin yang tidak ingin ada sumbangan dalam pestanya, ya biarkan saja.

Setelah menikah akan banyak kebutuhan yang harus diprioritaskan, bukan hanya soal menyumbang tetangga lain saja. Lagipula, kalau terlilit utang, tetangga sekitar juga tidak mau tahu, apalagi membantu. Yang ada malah jadi bahan omongan.  

Jadi saya rasa, menormalisasi pernikahan tanpa sumbangan itu perlu. Apalagi di daerah saudara saya yang menganggap sumbangan adalah investasi. Biarlah resepsi pernikahan yang sakral terbebas dari beban-beban yang merepotkan. 

Penulis: Nurul Fauziah
Editor: Kenia Intan 

BACA JUGA Sesungguhnya Bisa Mengadakan Pernikahan Sederhana di Indonesia Adalah Sebuah Kemewahan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version