Di Terminal Mojok saya sempat menulis keunggulan instrumen investasi Reksadana dibanding emas. Salah satu keunggulan yang paling saya rasakan adalah perihal diversifikasi produk yang bisa disesuaikan dengan profil risiko investor. Misalnya, kalau pendapatan kalian masih kecil dan ingin produk reksadana yang punya imbal hasil stabil meski kecil, bisa pilih reksadana pasar uang atau pendapatan tetap. Namun, kalau sudah punya pendapatan lumayan dan mental yang kuat, ya bisa coba reksadana saham.
Semua itu tentu saya tuliskan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan saya mengenai kedua instrumen tersebut. Namun, khusus untuk reksadana, sebagai orang yang sudah cukup lama berinvestasi di instrumen ini, ada beberapa kelemahan yang sebaiknya diperhatikan. Selain menjadi penyeimbang tulisan sebelumnya, tulisan ini saya agar kalian yang baru coba-coba masuk ke instrumen ini tidak kaget:
Daftar Isi
#1 Reksadana tidak cocok untuk jangka pendek
Investasi di reksadana itu tidak cocok untuk jangka pendek. Investasi ini cocok untuk durasi waktu lebih dari 2 tahun. Bahkan, kalau mau lebih jelas kelihatan return atau imbal hasilnya ya lebih dari 5 tahun. Sebagaimana yang saya jelaskan dalam tulisan saya sebelumnya, reksadana ini analoginya seperti kita menanam tanaman di sebuah ladang yang dikelola oleh seorang petani. Maka dari itu, proses untuk mendapat imbal hasilnya cukup lama. Pasalnya, meski persentase return bisa di atas 5 persen, hitungan dari persentase tersebut biasanya untuk setahun.
Akan tetapi, kalian nggak perlu khawatir, pergerakan capital gain (keuntungan ketika menjual) biasanya tetap di atas 5 persen tiap harinya, apalagi kalau reksadana obligasi atau saham.
#2 Return dan deviden yang kecil
Secara nominal, return reksadana bisa lebih tinggi ketimbang emas, tapi return instrumen investasi ini tergolong kecil dibandingkan dengan investasi surat berharga lain seperti saham atau obligasi. Coba kita hitung-hitungan ya, kalau nominal reksadanamu cuma Rp10 juta, artinya return 5 persen setahun sebesar Rp500.000 saja. Oleh karena itu, investasi di instrumen ini memang dianjurkan dilakukan dengan skema menabung. Kalau mau berkembang, uang Rp10 juta itu harus ditambah tiap bulannya agar persentase return-nya berlipat ganda.
Kemudian, variasi jenis reksadana yang lebih dari 2 atau 3 juga sangat dianjurkan. Hal itu supaya return yang kalian dapatkan memiliki persentase yang besar karena hasil dari akumulasi dari beberapa jenis reksadana.
#3 Harus sabar ketika kinerja portofolio sedang buruk
Kondisi menyebalkan ketika berinvestasi di instrumen ini adalah harus bersabar dalam menghadapi kinerja portofolio yang menurun. Misalnya, reksadana kalian sedang cut loss (turun harganya) sebesar 5 persen dari dana Rp10.000. Artinya dana di reksadana kalian sisa Rp9,5 juta. Nah untuk menunggu kinerjanya naik kembali, bisa berbulan-bulan atau bahkan setahun.
Situasi ini jangan membuat kalian jadi pasrah dan putus asa. Satu hal yang harus dilakukan adalah bersabar dan tetap menabung seperti biasanya. Selain itu, diversifikasi produk reksadana dalam portofolio kalian juga penting untuk mengimbangi produk reksadana yang sedang cut loss. Jadi misalnya reksadana A kok sedang merah, nah masih ada reksadana B yang bisa menutup persentase cut loss apabila kinerjanya baik.
#4 Tidak semua reksadana membagikan kupon obligasi atau dividen tiap tahun
Ketika kalian berinvestasi di saham atau obligasi, biasanya akan diberikan deviden atau kupon tiap tahunnya. Sementara di reksadana, tidak semuanya memberikan kedua jenis imbal hasil tersebut. Bahkan, untuk kupon obligasi, saya rasa malah nggak ada. Entah jika ada, maka produk reksadana tersebut belum popular. Hal itu karena di reksadana, baik dividen maupun kupon obligasi, sudah terhitung dalam Nilai Aktiva Bersih (NAB).
Secara sederhana, NAB ini adalah angka yang memperlihatkan nilai produk reksadana setelah dikurangi liabilitas (biaya) dan dibagi jumlah unit dari reksadana yang kalian miliki. Sehingga, NAB bisa dianggap sebagai harga yang perlu dibayar investor agar bisa membeli unit kepemilikan instrumen investasi tersebut.
#5 Wanprestasi dari manajer investasi
Seperti perumpamaan yang sudah saya ungkapan sebelumnya, investasi di instrumen ini seperti investasi ladang yang kita pasrahkan ke petani. Nah petani dalam konteks reksadana yaitu manajer investasi bisa saja melakukan moral hazard atau wanprestasi. Ketika kedua hal ini dilakukan, ladang yang kita harapkan menghasilkan buah yang manis dan segar, justru menghasilkan buah yang kecut, gak manis, atau bahkan busuk. Lebih parah, bisa jadi ladangnya malah diserang hama, jadi nggak menghasilkan sama sekali, malah mengalami kerugian.
Contoh kasus yang pernah ramai adalah reksadana saham Narada yang terjadi pada 2019. Pada saat itu, karena kesalahan dari pihak PT Narada Asset Manajemen, dana dari para investor jadi mengalami kemacetan atau gagal bayar dalam pembagian return atau imbal hasil. Kasus gagal bayar itu menyusul pergerakan dua reksa dana Narada AM yang terpantau turun drastis yaitu produk reksa dana Narada Saham Indonesia dan Narada Campuran.
Itulah beberapa kelemahan dari investasi reksadana. Setiap produk investasi pasti punya kelemahan yang sejatinya dijadikan sebagai pegangan dan pedoman. Toh produk investasi apapun, termasuk reksadana adalah instrumen resmi yang diawasi langsung oleh OJK, jadi gak perlu terlalu khawatir. Paling penting adalah kalian tidak terjebak dengan penawaran investasi bodong yang underlying asset dan perhitungan returnnya nggak jelas dan nggak terukur.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.