Rebu: Adat Suku Karo untuk Menjaga Hubungan Keluarga

Rebu, Tradisi Menjaga Hubungan Keluarga dari Suku Karo Terminal Mojok

Menjaga kekerabatan adalah kewajiban semua anggota keluarga. Sejak kecil kita pasti diajarkan menjaga adab bila bertemu dengan anggota keluarga. Tak lupa, kita juga diperkenalkan panggilan yang tepat untuk setiap anggota keluarga berdasarkan posisinya. Selain itu, kita juga akan diajarkan batasan-batasan pertemuan dengan keluarga. Hal ini bukan bermaksud sombong, namun demi menjaga hubungan keluarga.

Saat sudah dewasa, batasan-batasan dalam pertemuan dengan keluarga tadi tentu sudah lebih banyak diterapkan. Jika masih kecil, orang tua biasanya masih membiarkan kita bertemu dan berbicara dengan anggota keluarga lain. Anak-anak akan diajarkan batasan-batasan dalam pertemuan keluarga seiring berjalannya usia. Lagi pula, anak kecil kan tahunya hanya sebatas teman bermain saja. Bila sudah dewasa, aktivitas itu akan berubah seiring mengenal budaya “segan”. Salah satu bukti budaya segan adalah tidur bersama orang tua. Setelah dewasa, orang tua memberikan kamar pada masing-masing anaknya dan anak-anak menerimanya lantaran segan tidur bersama mereka. Baik suku ataupun agama mengajarkan pentingnya menjaga hubungan keluarga demi terciptanya keadaan yang damai.

Salah satu tradisi menjaga hubungan keluarga yang saat ini masih dijalankan oleh salah satu suku yang ada di Indonesia adalah rebu. Tradisi ini berasal dari adat suku Karo di provinsi Sumatera Utara yang artinya pantangan. Selanjutnya, tulisan ini membahas mengenai pantangan bertemu dengan beberapa anggota keluarga. Suku Karo sendiri dikenal sangat menjunjung tinggi nilai kesopanan dan menjaga nilai kekerabatan antarkeluarga. Mereka tidak bisa sembarangan saling menyapa, bahkan untuk duduk bersama. Bila ada rebu, para anggota keluarga tersebut menjauhinya supaya tidak saling berhubungan langsung. Ini dilakukan supaya tidak terjadi hal-hal negatif bila mereka saling bertemu.

Terdapat beberapa kategori yang disebut rebu dalam suku Karo. Adat suku Karo ini harus dijalankan sebaik-baiknya dan bila memungkinkan, sejak kecil diajarkan pada beberapa anggota keluarga yang dianggap rebu. Anggota keluarga sendiri yang dianggap rebu adalah sebagai berikut:

1. Hubungan antara menantu wanita (permain/permen) dengan mertua pria (bengkila/kila);
2. Hubungan antara menantu pria (kela) dengan mertua wanita (mami);
3. Hubungan antara besan laki-laki dengan besan perempuan dan begitu sebaliknya yang selanjutnya disebut dengan turangku.

Mungkin sebagian dari kita juga diajarkan untuk bersikap sopan kepada orang-orang tersebut berdasarkan tradisi yang dianut masing-masing. Namun tidak demikian dengan suku Karo yang pantang berhubungan langsung dengan mereka meskipun ada hal mendesak. Tradisi ini mungkin akan terasa sedikit aneh mengingat Indonesia sangat menjaga tradisi ramah-tamah kepada semua orang.

Dalam hubungan yang dianggap rebu, harus ada media dalam penyampaian informasi. Biasanya yang paling dekat adalah anak atau suami/istri yang dianggap rebu. Informasi yang disampaikan yang bersangkutan harus melalui para perantara tersebut, hingga akhirnya diketahui yang bersangkutan. Bila tidak ada orang lain sebagai perantara, yang bersangkutan harus memilih media barang terdekat agar bisa memberikan informasi. Biasanya media barang tersebut adalah peralatan rumah tangga. Dalam penyampaiannya pun, tidak disarankan memanggil posisi seseorang. Misalnya, media barang terdekat adalah “kursi”. Dari “kursi” inilah anggota keluarga yang dianggap rebu itu menyampaikan informasi tersebut. Anggota keluarga yang dipanggil melalui media barang tersebut mengerti apa yang dimaksud. Supaya tidak bingung, kira-kira seperti ini cara penyampaian informasi kepada orang yang dianggap rebu,

“Oh Kursi, makanlah dulu.”
“Kursi, apa sudah minum obat?”
“Siapa yang datang tadi, Kursi?”

Sangat ribet memang, namun itu ketentuan bila hendak menyapa anggota keluarga rebu dan harus dipatuhi. Seseorang yang menjadi anggota keluarga, menurut adat suku Karo, juga perlu diajari tradisi tersebut.

Saat ini, keadaan rebu sudah mulai ditinggalkan. Hanya beberapa generasi tua dan biasanya tinggal di pedesaan yang masih memegang teguh tradisi ini. Berbagai hal menjadi faktor banyak orang yang mulai meninggalkan tradisi ini. Faktor yang paling besar adalah meningkatnya heterogenitas antarmanusia.

Banyak orang yang menganggap tradisi rebu kurang relevan di masa sekarang yang mengharuskan berhubungan dengan banyak orang. Meskipun begitu, sebagai bangsa Indonesia marilah kita menghargai tradisi ini apalagi bagi suku Karo. Lakukan tradisi ini demi penghormatan kepada anggota keluarga. Jangan anggap tradisi ini sebagai perenggang hubungan keluarga, melainkan untuk menjaga hubungan keluarga agar tetap utuh.

BACA JUGA Manulangi Natua-tua, Tradisi Balas Budi Orang Tua Suku Batak Toba dan tulisan Kristiani lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version