Mantan pacar menikah duluan, itu hal yang biasa. Mantan pacar menikah dengan sahabat sendiri, itu mmmm…pahit-pahit gimana gitu, wqwqwqwq.
Dulu saya pernah sih punya mantan pacar yang menikah sama sahabat saya sendiri. Mereka lamaran sekitar dua bulan setelah saya putus sama Mas mantan, lalu menikah empat bulan kemudian.
Kami (Saya, Mas mantan, sahabat saya, dan pacarnya) itu dulunya kerja di tempat yang sama. Tapi karena ada satu hal yang menurut pacarnya sahabat saya tidak bisa ditolerir dari tempat kami bekerja, akhirnya dia memilih resign. Dari situ kami jadi jarang lagi jalan berempat.
Setelah pacarnya sahabat saya itu resign, sahabat saya jadi suka minta tolong diantar pulang sama pacar saya. Namanya sahabat, ya saya santai aja. Nggak ada pikiran macam-macam. Lagi pula rumah mereka memang searah. Sementara saya, selalu ikut sama anak perempuannya bos yang rumahnya juga searah dengan rumah saya.
Hubungan saya dengan Mas mantan waktu itu bisa dibilang berjalan dengan sangat baik. Sudah dikenalin sama orang tua masing-masing. Tapi, namanya juga nggak jodoh kan yah, kami akhirnya putus setelah saya sempat tidak masuk kerja selama dua minggu karena sakit. Waktu itu, memang saya yang minta putus. Ya, gimana, dua minggu saya sakit, sehari pun dia nggak datang ngejenguk. Eh, pernah ding sekali, waktu sama teman kerja, termasuk sahabat saya.
Setelah putus itu, saya tetap berusaha profesional, memisahkan hubungan pribadi dengan kerjaan. Hubungan saya sama sahabat saya juga masih kayak biasanya, nggak ada yang berubah. Cuma memang saya akui, baru di situ saya merasakan yang namanya cemburu, hahahaha. Saya cemburu setiap kali lihat mereka naik motor berdua. Mamam tuh cemburu.
Sejak putus itu, sebenarnya sudah banyak teman yang ngasih tahu kalau Mas mantan dan sahabat saya tuh kayak orang pacaran gitu. Bahkan bos saya pun bilang gitu ke saya. Tapi saya nggak percaya, masa iya sih? Lagi pula mereka kan memang akrab.
Sampai kemudian, ada hari ketika mereka sama-sama tidak masuk kerja. Ya, saya menganggap itu biasa aja, nggak ada pikiran gimana-gimana. Mungkin karena saya masih polos kali yah, wqwqwqwq. Belakangan baru saya tahu ternyata hari itu mereka lamaran. Uwuwuwuwu.
Saya baru percaya mereka “ada apa-apa” ketika sahabat saya sendiri yang menghubungi saya, lalu cerita semuanya. Cerita kalau mereka akan segera menikah. Nggak usah ditanya gimana rasanya. Saya juga nggak tahu bagaimana menjelaskan perasaan saya waktu itu.
Sejak kabar pernikahan itu beredar, sahabat saya jadi bahan gosip. Kayak nggak ada cowok yang lain aja. Itu kalimat yang paling sering saya dengar keluar dari mulut orang-orang. Banyak orang yang kalau ngelihat saya, tatapannya tuh yang kayak kasihan gitu. Dan itu rasanya bikin nggak nyaman, makanya saya memilih resign.
Ketika undangan mereka sudah tersebar, ternyata sahabat saya nggak ngundang saya dan nggak ngundang mantannya juga. Yang ngundang justru Mas mantan.
Karena diundang, ya tentu saja saya datang. Saya datang sama mantannya sahabat saya itu. Duh, ketika kami masuk ke tempat resepsi itu, banyak yang ngeliatin. Teman kerja yang dulu, tetangganya Mas mantan, temannya Mas mantan, pokoknya yang tahu saya pernah pacaran sama Mas mantan. Pas sampai di pelaminan, saya dipeluk sama ibunya Mas mantan. Itu rasanya nano-nano. Terharu, nggak enak, malu juga, untung nggak nangis, wqwqwqwq. Mukanya sahabat saya itu langsung kayak kaget gitu. Mas mantan sih senyum-senyum.
Dulu sih rasanya memang sedih yah. Sedihnya itu karena saya kayak jadi orang terakhir yang tahu hubungan mereka. Banyak pertanyaan muncul di kepala, kenapa begini, kenapa begitu, kok bisa begini, kok bisa begitu, tapi yah kita kan nggak bisa mengatur orang lain untuk mengikuti apa maunya kita yah. Yang paling bikin sedih itu juga karena waktu itu saya terlalu sering mendengar kalimat yang nggak enak tentang sahabat saya.
Saya nggak tahu sih sejak kapan mereka pacaran, lebih tepatnya nggak mau tahu. Setelah mereka menikah, akhirnya saya mulai jaga jarak sama sahabat saya. Saya nggak pernah hubungi dia lagi, nggak pernah ke rumahnya lagi. Semata karena saya tahu kalau saya tetap seperti biasa, pasti akan bikin dia nggak nyaman.
Sebenarnya nih yah, seperti yang saya tuliskan di awal, saya nggak masalah ditinggal nikah. Apalagi waktu itu saya memang belum ada pikiran untuk nikah. Yang bikin keadaan jadi nggak enak itu karena nikahnya sama sahabat. Di satu sisi ada perasaan kecewa. Kecewa karena saya kayak jadi orang terakhir yang tahu hubungan mereka. Di sisi lain ikut senang juga karena lihat sahabat sudah bahagia.
Sampai sekarang, meskipun komunikasi kami tidak lancar, tapi hubungan kami bisa dibilang berjalan baik. Ketika saya menikah pun, mereka saya undang dan mereka datang.
Saya juga nggak bisa menyalahkan siapa-siapa. Namanya juga nggak jodoh. Merasa sakit ketika mantan menikah dengan sahabat itu wajar-wajar saja. Saya juga kalau ditanya bagaimana sebaiknya menyikapi mantan yang menikah dengan sahabat, saya jadi bingung mau jawab apa. Soalnya kan kondisinya belum tentu sama.
Jujur, dari dulu sampai sekarang saya nggak bisa benci sama sahabat saya itu. Dia terlalu banyak berbuat baik sama saya. Sudah cukup dia dapat “serangan” dari orang-orang di luar sana yang tahu cerita kami.
Tapi, kalau ada yang mengalami hal yang sama lantas mau benci sama sahabat dan mantannya, ya terserah. Itu hak masing-masing.
Yang penting, jangan lupa bahagia. Mereka sudah bahagia, kita pun berhak untuk bahagia, hehehe.
BACA JUGA Berterima Kasih pada Mantannya Pacar, Bukan Mencemburuinya dan tulisan Utamy Ningsih lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.