Waktu masih usia enam sampai delapan tahun, sama seperti anak-anak lainnya, saya mengalami penanggalan gigi susu. Tapi saya bukan anak yang berani pada waktu itu. Saya selalu merasa tersiksa tiap kali ada gigi susu yang goyang dan akan copot. Pasalnya, selain takut darah, saya juga suka merasa drama berlebihan karena takut gigi saya tidak akan tumbuh dan saya menjadi ompong seumur hidup.
Nyatanya gigi susu yang telah copot satu per satu itu tergantikan dengan gigi tetap. Kata ayah saya, itu pertanda saya mulai dewasa karena mempunyai gigi yang kuat dan tidak akan copot seperti orang dewasa pada umumnya. Tentu mendengar itu saya menjadi senang. Tapi rasa senang itu harus pupus saat di awal kepala dua, saya mengalami permasalahan gigi lagi.
Saya pikir permasalahan gigi susu yang harus copot di usia anak-anak adalah satu-satunya permasalahan gigi yang mengerikan dalam hidup saya di samping sakit gigi biasa. Ternyata saya salah. Menginjak usia dua puluhan, gigi bungsu saya mulai tumbuh. Iya, dinamakan gigi bungsu karena ternyata gigi ini baru tumbuh pada rentang usia 17 hingga 25 tahun, bahkan ada yang lebih. Pokoknya gigi bungsu ini telat tumbuh. Yang lebih mengenaskan, udah telat, nyusahin pula.
Awalnya saya merasa sedikit nyut-nyutan di bagian pipi, walaupun tidak begitu mengganggu. Tapi lama-lama saya merasa ada rasa kesat di area pipi bagian dalam. Saya akhirnya memutuskan untuk ke dokter gigi. Benar saja, dokter gigi mengatakan bahwa saya mengalami impaksi gigi bungsu. Gigi yang telat ini, tumbuhnya tidak sempurna karena menabrak gigi di sebelahnya. Setelah melakukan rontgen, gambarannya adalah gigi bungsu saya menyender ke gigi sebelahnya dan mengakibatkan saya mengalami rasa nyut-nyutan dan kesat di area tersebut. Nah, kan, udah telat tumbuh, nyusahin, mager pula ini gigi bungsu pakai acara nyender-nyender ke gigi yang lain.
Dokter akhirnya memberikan resep obat penghilang nyeri dan beberapa obat lain, lalu menyarankan saya untuk melakukan operasi gigi bungsu atau bahasa kedokterannya adalah odontectomy. Operasi ini dilakukan untuk mengambil gigi bungsu sampai ke akar-akarnya agar tidak lagi tumbuh dan memperparah rasa sakit. Saya yang seumur-umur belum pernah dioperasi langsung deg-degan mendengar kata operasi gigi pada saat itu. Bayangan masuk ruang operasi berputar-putar di kepala saya. Berbagai alat medis dokter gigi yang warnanya silver itu juga tampak mengerikan dalam bayangan.
Selang satu Minggu, orang tua saya menyuruh untuk segera membuat perjanjian dengan dokter bedah mulut untuk operasi gigi bungsu. Tapi saya belum berani. Di Minggu kedua sejak bertemu dokter gigi, saya akhirnya memberanikan diri untuk daftar sebagai pasien dengan tindakan operasi gigi bungsu sebelah kiri di salah satu rumah sakit swasta di Kota Serang. Oh ya, operasi gigi bungsu hanya bisa dilakukan oleh dokter gigi dengan spesialis bedah mulut, bukan dokter gigi umum, ya.
Setelah daftar untuk operasi gigi bungsu, saya diarahkan menuju poli dokter bedah mulut. Ternyata operasi ini tidak dilakukan di kamar operasi sebagaimana bayangan saya, namun operasi ini bersifat ringan dan dilakukan di ruang poli bedah mulut. Meski begitu, tetap saja namanya operasi menyeramkan. Jantung saya mulai tak bisa diajak kompromi sejak duduk di ruang tunggu. Detik jam seolah terasa begitu menakutkan.
Saat nama saya dipanggil oleh asisten dokter, saya langsung masuk ke dalam. Asisten mengatakan bahwa wali yang mengantar saya tak boleh masuk ke dalam ruangan selama masa tindakan. Hua, rasanya mau nangis.
Saya berbaring di dental chair dan disuruh untuk membuka mulut. Dokter langsung menyuntikkan anestesi di gusi saya. Rasanya tidak sesakit yang dibayangkan. Setelah itu dokter meminta saya menunggu selama sepuluh menit untuk memastikan anestesinya bekerja dengan baik agar saya tidak merasa sakit. Benar saja, lama-kelamaan pipi saya terasa kebas.
Dokter menutup seluruh wajah saya dengan selembar kain operasi berwarna hijau yang dibolongkan pada area mulut. Jadi, selama operasi berlangsung, saya tidak dapat melihat apa yang dokter bedah mulut lakukan pada gigi saya. Saya hanya memejamkan mata dan sesekali merasakan gigi saya ditarik, di bor, dan disayat-sayat dengan pisau. Meski mulut saya memang kebas dan tidak merasakan sakit, namun sentuhan-sentuhan alat kedokteran itu tetap bisa saya rasakan. Apalagi saat di bor, suaranya yang berdengung itu membuat saya sedikit tidak nyaman.
Operasi berlangsung cukup cepat, sekitar lima belas menit. Setelah itu dokter memberikan saya kasa untuk digigit agar darah saya cepat beku. Pasca operasi, dokter menyarankan saya untuk langsung memakan es krim lalu selang satu jam meminum obat anti nyeri. Saya melakukan semua saran dari dokter dan tidak merasakan sakit sama sekali. Kini, tempat bekas gigi bungsu saya telah tumbuh menjadi gusi yang sehat dan tidak nyut-nyutan lagi.
BACA JUGA Demi Tuhan, Jangan Lakukan Ini pada Orang yang Lagi Sakit Gigi dan tulisan Nita Maediana Rusmawati lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.