Ospek yang seharusnya, hai Brawijaya
Hari pertama Rangkaian Acara Jelajah Almamater (RAJA) Brawijaya atau agenda ospek Universitas Brawijaya, 14 Agustus 2023, bertepatan dengan sampainya Pak Midun di Gelora Bung Karno, Jakarta. Dia mengayuh sepeda dari Malang selama 11 hari dalam rangka menyuarakan keadilan untuk Tragedi Kanjuruhan.
Hari kedua Raja Brawijaya, 15 Agustus 2023, bertepatan dengan aksi represif polisi (mendobrak rumah, menembakkan gas air mata, dan menangkap beberapa warga) terhadap warga Dago Elos.
Namun, meski Raja Brawijaya berjalan bertepatan dengan momen-momen tersebut, pihak panitia sama sekali tidak ada yang menyuarakannya. Mereka lebih memilih mengisi ospek dengan konten-konten demi kepopuleran. Padahal ngonten di TikTok bisa sambil menyuarakan isu-isu sosial. Eh, panitia malah ngajak julid dengan kata “chuaaaksss” di atas.
Saat saya bertanya pada salah satu panitia ospek Brawijaya, dia bilang konten tersebut bermaksud baik untuk menunjang kreativitas. Terlihat rasional? Namun, pertanyaannya adalah apa kegunaan kreativitas jika tidak berpihak pada rakyat tertindas? Barangkali cuplikan puisi “Sajak Pertemuan Mahasiswa” karya WS Rendra relevan untuk dikutip di sini:
orang berkata: kami ada maksud baik
dan kita bertanya: maksud baik untuk siapa? ya!
ada yang jaya, ada yang terhina
ada yang bersenjata, ada yang terluka
ada yang duduk, ada yang diduduki
ada yang berlimpah, ada yang terkuras
dan kita disini bertanya:
maksud baik saudara untuk siapa?
saudara berdiri di pihak yang mana?
kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya
tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota
perkebunan yang luas
hanya menguntungkan segolongan kecil saja
…
kita juga bertanya:
kita ini dididik untuk memihak yang mana?
ilmu-ilmu diajarkan disini
akan menjadi alat pembebasan
ataukah alat penindasan?
Kejanggalan Raja Brawijaya
Ospek adalah ajang pengaktifan imajinasi bagi mahasiswa baru. Agenda-agenda ospek menjadi semacam kacamata untuk melihat dunia perkuliahan, bahkan masa depan. Apabila ospek diisi agenda yang memperlihatkan ketidakadilan yang dialami oleh kaum marjinal, maka kacamata yang terbentuk adalah empati pada tidak baiknya kondisi negeri dan pandangan untuk memperjuangkan dunia menjadi lebih baik.
Apabila ospek diisi agenda membuat konten untuk TikTok, demi mengikuti tren agar viral, maka kacamata yang terbentuk adalah semacam fetish pada popularitas dan narsisme kedirian. Sebuah sikap kerdil yang terombang-ambing dalam imajinasi “trending”.
Dalam liputannya, LPM Kavling10 menjelaskan bahwa Raja Brawijaya 2023 sepenuhnya dikendalikan oleh rektorat berdasarkan Peraturan Rektor (pertor) nomor 34 tahun 2023 tentang Pelaksanaan Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru Tahun Akademik 2023/2024. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa panitia Raja Brawijaya diseleksi oleh Wakil Rektor 3 bidang kemahasiswaan.
Sementara itu, tanggung jawabnya juga pada Wakil Rektor 3 melalui panitia pelaksana unsur dosen. Semenjak mengetahui hal ini, pikiran positif dalam benak saya tiba-tiba sudah menghilang entah kenapa.
Kecurigaan yang muncul
Kita bisa menduga adanya motif politis dan ideologis di balik pertor ini. Mengapa harus diseleksi? Singkatnya, apabila panitia Raja Brawijaya adalah mahasiswa kritis yang berani menyuarakan masalah, yang ada mental dan kepentingan pihak rektorat bisa terganggu. Seperti salah satu kutipan terkenal, “No one is going to give education you need to overthrow them.”
Jangan-jangan memang sengaja panitia yang dipilih bukanlah mahasiswa kritis. Sebab, jika mahasiswa kritis yang terpilih, berbagai kebobrokan bisa nampak ke permukaan.
Salah satu poin press release panitia Raja Brawijaya 2023 terkait kepanitiaan adalah bahwa ada ketidaksepahaman antara panitia mahasiswa dengan panitia dosen perihal konsep acara. Di titik ini, fenomena pingsannya mahasiswa dan tugas ospek yang menguras biaya menjadi masuk akal.
Di satu sisi, panitia mahasiswa yang terseleksi kurang kompeten karena memiliki hasrat berlebih untuk ngonten dan viral di TikTok. Salah satunya adalah papermob dengan konsep yang tidak matang. Di sisi lain, ada panitia dosen yang memiliki pandangan dan keinginan berbeda terhadap ospek.
Jadi tahu, kan? Jangankan bersuara terkait demokrasi dan semacamnya, urusan administrasi dan komunikasi saja tidak selesai. Akhirnya, menjadi suatu hal yang tidak mengherankan apabila Raja Brawijaya lebih fokus untuk membuat konten viral di TikTok, alih-alih menyuarakan keadilan bagi kaum marjinal. Terakhir, meminjam perkataan Presiden Ke-6 Republik Indonesia, Pak SBY, “Saya prihatin.”
Penulis: Mohammad Rafi Azzamy
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 4 Hal Nggak Enaknya Menjadi Mahasiswa Universitas Brawijaya