Saat hendak membeli mobil, kita tentu akan mencari tahu soal harganya. Apakah mobil tersebut terlalu mahal atau memang layak kita beli.
Sebenarnya dia adalah teman kerja yang baik dan menyenangkan, setidaknya hingga dia tahu, entah dari mana, bahwa saya sering nulis soal otomotif di Mojok. Sejak saat itu, dia tidak lagi menganggap saya sebagai ibu guru mungil yang kelewat cerewet, melainkan versi perempuan Bung Fitra Eri.
Itu agak menyebalkan, jujur saja. Mestinya kami bisa mengisi jam-jam kosong dengan obrolan teduh semacam menggunjingkan kepala sekolah atau menteri pendidikan, tetapi mulai saat itu topik obrolan kami tak pernah beranjak dari sesuatu yang bermesin.
Seperti kemarin. Saya sedang sibuk dengan kegiatan karnaval sekolah ketika dia datang dan bertanya, “Mobil apa saja yang kamu anggap terlalu mahal?”
Reaksi awal saya adalah meringis, seolah dia bertanya tentang makanan kesukaan saya ketika kami sedang menghadiri pemakaman kerabat. Lalu saya duduk di depannya dan menyadari bahwa otak saya sedang diruwetkan oleh urusan drumband dan sewa kostum, dan tak ada ruang tersisa untuk memikirkan harga mobil apa pun.
Dan pertanyaannya tersebut agak pelik, bahkan dalam situasi tenteram. Mobil adalah barang mahal, sangat mahal sampai-sampai kita masih menggunakannya sebagai simbol kesuksesan. Kita membeli mobil secara impulsif, bukan karena kita membutuhkannya untuk berpindah tempat, melainkan karena kita membutuhkan nilai tertentu yang melekatinya.
Lalu ada mobil yang terlalu mahal alias overpriced. Bagaimana cara saya membandingkannya? Apakah adil bila saya membandingkan low MPV terkini dengan leluhurnya di masa lalu tanpa mempertimbangkan fitur dan laju inflasi? Apakah saya akan terlihat tolol bila menyandingkan harga mobil di Indonesia dengan mobil di negara lain tanpa memperhitungkan keputusan politik dan sosio-kultural di masing-masing negara?
Rumit, pokoknya. Itulah yang membuat saya menepuk pundak teman saya tersebut dan berkata dengan intonasi semeyakinkan para politisi, “Beri aku waktu untuk menyusun jawabannya.”
Tibalah hari ini. Berhubung dia adalah pembaca Mojok juga, saya memutuskan untuk menjawabnya di sini. Parameter yang saya gunakan benar-benar subjektif sehingga saya agak yakin bakal terjadi perdebatan sengit di kolom komentar, dan saya menyukainya; Tuhan menciptakan dua jempol tangan memang untuk saling bertempur lewat kata-kata.
Tapi, itu nanti. Saat ini, nikmatilah dulu materi perdebatan kita hari ini.
#1 Semua varian Datsun Go
Satu-satunya hal baik pada mobil ini adalah bahwa akhirnya mereka semua disuntik mati.
Datsun kembali ke pasar Indonesia untuk ikut bertempur di segmen pasar LCGC, dan semua penggemar otomotif berharap kehadiran kembali nama besar Datsun dapat memberi nuansa yang berbeda di dunia permobilan tanah air.
Harapan mereka terpenuhi, meskipun ke arah sebaliknya. Alih-alih mampu menyuguhkan mobil sebagus seri B310, Datsun malah membuat momen kembalinya mereka sebagai bahan olok-olok.
Lihatlah apa yang telah Datsun lakukan pada semua seri mobil LCGC-nya. Kualitas plat body-nya tidak lebih kokoh dibandingkan kaleng biskuit, fitur keamanannya bahkan tidak menyertakan airbag, dan sederet perintilan yang membuat konsumennya tahu seperti apa pengalaman berkendara di tahun ’80-an.
Oh, benar, Datsun adalah mobil murah, tetapi bila dibandingkan kompetitornya di kelas LCGC, apa yang ditawarkan oleh Datsun membuatnya tampak overpriced. Jok depan model sambung dan metode tarik pada emergency brake benar-benar menjengkelkan, sesuatu yang diketahui dengan sangat baik oleh mobil LCGC lain sehingga mereka tidak menerapkannya.
Maka tak usah heran ketika penjualannya terus menukik, dan ketika Nissan selaku induk pabrikan Datsun memutuskan untuk menghentikan kembali kiprah Datsun di Indonesia, benar-benar tak ada yang bersedih.
Oh, ada sih, yaitu para konsumen yang telanjur membeli Datsun. Penderitaan, kita tahu, selalu minta ditemani.
#2 Honda Brio RS
Pada segmen LCGC, Brio Satya adalah raja, dan ia memang pantas untuk dikalungi medali: mesinnya paling bertenaga di kelasnya, bentuknya lebih bisa diterima ketimbang para pesaingnya, dan harganya masuk akal.
Namun, di kelas city car, Brio RS adalah mobil yang serba kelewatan: ia kelewat mahal, kelewat pelit fitur, dan kelewat sering dibangga-banggain oleh konsumennya yang kelewatan overproud-nya.
Begini. Sejatinya Brio RS adalah Brio Satya yang dikasih velg besar dan sedikiiit tambahan fitur. Udah, itu aja. Material body-nya sama saja, mesinnya nggak ada yang berbeda, dan begitu pula dengan kualitas rancang-bangunnya. Lalu kita disuruh membayar 80 juta lebih banyak untuk menikmati tambahan yang tak seberapa itu.
Bila dibandingkan dengan rival-rivalnya, Brio RS semakin tampak terlalu mahal. Hadapkanlah ia dengan Suzuki Ignis trim tertinggi yang dibanderol sekitar 217 juta. Dengan selisih hampir 20 juta lebih murah, konsumen mendapatkan mobil dengan build quality yang jauh lebih baik, peredaman kabin yang lebih bermutu, dan fitur-fitur kecil seperti lampu proyektor yang tak dimiliki Brio RS termahal sekalipun.
Iya, sih, Ignis punya tampang yang kontroversial, tetapi kalau kita menghadapkan rival lainnya kepada Brio, maka ia bakal tampak semakin kemahalan. Bandingkanlah ia dengan Daihatsu New Sirion, misalnya.
Dijual di rentang harga yang nyaris sama, New Sirion punya segalanya untuk membungkam Brio RS Urbanite. Dua kekurangan yang tak dimiliki New Sirion adalah ia tidak punya spoiler segede jemuran di bagian belakang dan tidak memakai logo “H” tegak di grill mesinnya.
Intinya, Brio RS adalah mobil yang overpriced. Satu-satunya alasan Brio RS tetap mengangkangi pasar city car sampai hari ini karena… yah, semua sayang Honda.
#3 Semua mobil di Indonesia
Sebelum Anda memberi cap “kurang patriotik” kepada saya, silakan cermati harga beberapa mobil berikut ini.
Pertama, harga Tesla Model 3. Di Amerika, mobil ini dilepas dengan harga 39.490 dolar atau sekitar 600 juta rupiah. Namun, ketika didatangkan ke Indonesia, mobil ini dijual mulai dari harga 1,5 miliar! Sekali lagi: satu setengah miliar!
“Yah, Mbak, Tesla kan diimpor utuh. Udah pasti mahal lah!” seru Anda sambil merengut.
Baiklah. Gimana kalau kita ambil Fortuner sebagai contoh. Senjata andalan Toyota di pasar SUV ini sebagian dirakit di Indonesia untuk kemudian dilepas ke pelbagai negara, salah satunya Arab Saudi. Terdapat dua perbedaan mendasar di antara Fortuner lokal dengan saudaranya yang ada di gurun sana.
Pertama, kubikasi mesinnya lebih gede. Fortuner tipe tertinggi di Arab Saudi punya mesin segede 4.000cc enam silinder, sedangkan konsumen Indonesia harus puas dengan mesin 2.700cc empat silinder pada Fortuner tipe tertinggi kepunyaannya.
Kedua, harganya. Meskipun bermesin lebih besar, banderol harga Fortuner di Arab Saudi ada di rentang 430-an juta sampai 580-an juta. Sedangkan saudaranya di Indonesia justru dijual lebih mahal: 460-an juta sampai 650-an juta.
Kalau Fortuner yang ada di Arab tersebut diimpor dari sini, kok bisa harganya jauh lebih murah?
Jawabannya ada pada biaya-biaya tambahan ketika kita membeli mobil. Asal tahu aja, sekurang-kurangnya terdapat 5 komponen biaya yang mesti konsumen bayarkan ketika membeli mobil: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%, Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar 10%-125%, Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) sebesar 2%, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) sebesar 10%, dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ) sebesar 143 ribu rupiah.
Kalau dihitung-hitung, sekurang-kurangnya konsumen membayar 50% biaya ekstra dari faktur pembelian, dan biaya-biaya itulah yang membikin semua mobil di Indonesia terkesan terlalu mahal bila dibandingkan dengan mobil yang sama di negara berbeda.
Ini membuat kita sebagai konsumen merasa terzalimi. Namun ingatlah, untuk membikin jalan dan memberi subsidi ini-itu dan mencerdaskan kehidupan bangsa itu membutuhkan banyak biaya, yang salah satunya pemerintah peroleh dari segala pajak di atas. Lagi pula, dibandingkan negara lain seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat yang memajaki bahan bakar kendaraan, pemerintah kita justru ngasih kortingan harga. Jadi, impas lah.
“Ya nggak bisa gitu juga, Mbak. Kalau mobilnya mahal, kita jadi susah buat beli mobil,” gerutu Anda dalam hati, yang secara ajaib bisa saya dengar.
Oh, gampang. Solusinya, jangan beli mobil. Bila Anda butuh mengangkut banyak orang dan barang, pakai aja mobil rental. Atau kalau Anda lagi males berpelesir dengan motor, panggil aja taksi daring kayak GoCar. Punya mobil pribadi, percayalah, nggak semenyenangkan itu.
Udah itu aja. Sekarang, mari kita nyalakan capslock dan berdebat di kolom komentar.
Penulis: Mita Idhatul Khumaidah
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Daihatsu Luxio dan Stigma Mobil Murahan yang Melekat.