Semasa sekolah di Madrasah Aliyah, saya menemukan guru-guru unik. Salah satunya, ada guru muda, mas-masa, yang baru mengajar dan genitnya minta ampun sama siswi-siswi. Sudah genit, sok-sokan galak lagi. Guru lain yang nggak kalah lucu adalah mengajar Quran Hadist. Dia guru yang asyik dan disukai banyak siswa, termasuk saya. Selain asyik saat mengajar, dia juga mengklaim bisa melakukan praktik hipnotis. Banyak orang percaya karena sudah menyaksikan secara langsung aksi beliau menghipnotis, tetapi saya mengetahui rahasia kelam di balik aksi tersebut.
Kronologinya adalah, beliau sedang mengajar di kelas seperti biasa dengan membawa laptop. Suatu ketika saat buka-buka folder laptop, ada file video yang menunjukkan aksi beliau menghipnotis siswa tahun ajaran sebelum saya. Saya dan teman-teman sekelas penasaran dong, lantas meminta beliau untuk melakukan aksi menghipnotis secara langsung.
Dengan senang hati beliau menyetujui. Salah seorang siswa dipanggil ke depan untuk menjadi relawan. Dia, sebut saja si Kampret, duduk di kursi dan mulai disugesti oleh guru saya. Proses hipnotis dimulai. Si Kampret yang pada dasarnya emang ngeyelan nggak pernah mau menerima sugesti dan berakhir gagal dihipnotis. Syarat berhasilnya, menurut guru saya, adalah mau dan harus merelakan dirinya untuk dihipnotis. Jadi ya uji coba pertama gagal. Berganti ke relawan berikutnya, yaitu saya.
Saya maju ke depan dan duduk di kursi yang disediakan. Saya diminta rileks sama beliau dan sebisa mungkin saya merilekskan diri. Beliau menyugesti saya ala Romy Rafael sambil mengatakan, “Anda akan terlelap semakin dalam, semakin dalam, dan semakin dalam lagi.”
Saya menutupkan mata karena ngantuk, bukan karena disugesti, tapi memang tabiat saya selalu ngantuk saat pelajaran meski yang ngajar guru paling asyik sekalipun. Tetapi, ngantuk saya masih dalam level biasa saja dan masih bisa ditahan. Sebab guru saya minta buat nutup mata, ya sudah saya turutin saja. Lantas pas dia mensugesti saya biar terlelap semakin dalam, demi Allah saya nggak bisa terlelap semakin dalam lagi. Saya masih sadar dan bisa mengendalikan diri saya seutuhnya.
Akan tetapi demi menjaga kehormatan Pak Guru, juga agar teman-teman sekelas punya hiburan, saya memutuskan pura-pura terhipntois saja. Lagian seru juga semisal kudu ngomong ngalor ngidul nggak pake mikir dengan alasan lagi dihipnotis, kan nggak ada yang bakal nyalahin saya.
Setelah dirasa Pak Guru dan teman-teman sekelas tahu bahwa saya berhasil terhipnotis, dimulailah adegan seperti di acara settingan Uya Emang Kuya terjadi. Saya ditanya nama—aneh benar, kan beliau sudah tau nama saya—dan hal-hal biasa dan seharusnya informasi itu memang sudah diketahui banyak orang. Kemudian Pak Guru membuka sesi tanya jawab dengan penonton kayak di seminar-seminar gitu. Jadi, teman-teman saya boleh nanya apa saja, terus pertanyaan itu akan ditanyakan oleh Pak Guru ke saya. Saya sebenarnya pengin kemekelen, tapi kalau tetiba saya ketawa ngakak, harkat martabat Pak Guru sebagai ahli hipnotis bakal hancur. Teman-teman sekelas pun bakal kecewa bukan main karena saya cuma pura-pura.
Ya sudah, saya jawab ngaco aja pertanyaan dari teman-teman. Toh pertanyaannya sebagian besar juga ngaco semisal, “Kapan terakhir kali kamu dapat tertidur tenang?” eh salah, itu malah lirik lagunya Hindia. Maksudnya pertanyaan seperti, “Kapan terakhir kali ngocok?” dan dilanjutkan dengan tawa anak-anak sekelas, maka saya akan jawab dengan kalimat, “Astaghfirullah, itu perbuatan tidak terpuji. Terakhir kemarin malam.” dan tawa kembali pecah. Hal-hal semacam itu nggak mungkin saya jawab kalau saya nggak lagi pura-pura terhipnotis. Bisa dibully anak sekelas dan cewek-cewek akan auto-jijik dengan saya. Kalau pura-pura kena hipnotis kan bisa berdalih sedang nggak sadarkan diri.
Setelah tanya jawab singkat yang penuh pertanyaan liar, akhirnya Pak Guru meminta saya untuk menirukan cara mengajar guru paling dibenci anak-anak. Iya, guru muda baru yang sok galak dan genit itu. Ya dengan senang hati saya lakukan, wong nggak perlu dihipnotis aja saya hafal betul gelagatnya pas ngajar, apalagi dalam kondisi terhipnotis—eh, pura-pura terhipnotis.
Setelah semua orang tertawa terbahak-bahak, Pak Guru menyudahi aksinya. Saya ditenangkan kembali, diminta untuk pelan-pelan tersadar dan pada akhirnya saya disadarakan—dari kesadaran saya—dengan tepuk tangan anak-anak sekelas. Mereka semua tepuk tangan menertawakan saya, padahal saya juga tepuk tangan menertawakan mereka.
BACA JUGA Sebenarnya Guru pada Kangen Ngajar, tapi…
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.