5 Agustus memang bukan hari libur nasional. Banyak orang memandang tanggal tersebut sekadar tanggal muda setelah gajian. Namun, pada tanggal tersebut pernah terjadi sebuah tragedi berdarah 249 tahun lalu. Tanggal tersebut adalah pembuka sebuah perang besar yang berakhir menjadi pembantaian. Perang puputan masyarakat Blambangan terhadap pendudukan VOC serta Mataram.
Dikenal sebagai Perang Bayu atau Puputan Bayu (1771-1772). Perang ini terjadi akibat penyerahan sepihak area Blambangan (Banyuwangi dan sekitar) oleh Pakubuwono II kepada VOC. Banyak catatan sejarah Puputan Bayu berasal dari buku Balambangan Indische Gids karya C. C. Lekkerkerker, Babad Bayu, hingga History of Java karya T. S. Rafles.
Meskipun kaya literatur, toh Puputan Bayu tidak pernah mendapat tempat istimewa dalam pelajaran sejarah. Paling banter hanya menjadi intermeso atau catatan kaki. Wajar, karena perang ini penuh intrik politik dan kesewenang-wenangan Mataram.
Semua dimulai dari keputusan Sunan Pakubuwono II pada 1773. Seperti dalam tulisan saya tentang Perang Kendhang, Pakubuwono II dikenal sebagai sobat kumpeni. Karena sedang mesra-mesranya, Pakubuwono II menyerahkan daerah taklukan sebelah timur Pasuruan. Salah satu wilayah tersebut adalah Blambangan.
Masalahnya, masyarakat Blambangan tidak pernah merasa berada di bawah kekuasaan Mataram. Karena masih bercorak Hindu, masyarakat Blambangan merasa lebih dekat dengan Kerajaan Mengwi yang berpusat di Badung, Bali.
Pada 1766, Mengwi juga menyatakan bahwa Blambangan berada dalam kekuasaannya. Mengwi juga mengizinkan Inggris mendirikan kantor dagang di Ulu Pampang, kota pelabuhan yang pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan Blambangan. Kejadian ini memicu kemarahan VOC.
Sebenarnya VOC enggan mengurusi Blambangan. Mereka telah menguasai banyak kota pelabuhan di pesisir Jawa. VOC juga menyadari bahwa Pakubuwono II over proud sebagai penguasa Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Klaim Pakubuwono II tidak pernah diindahkan Blambangan. Mereka lebih memilih menyetorkan Pasok Bulu Bekti atau upeti kepada Mengwi. Sentimen agama juga punya peran dalam selisih paham ini. Mayoritas masyarakat Blambangan masih beragama Hindu, mereka merasa lebih sreg berada di bawah kekuasaan Mengwi.
Namun, bercokolnya Inggris di Blambangan membuat VOC khawatir. Hadirnya kongsi dagang lain dalam satu pulau tentu mengganggu bisnis mereka. Pada 27 Februari 1767, mereka mengirim ekspedisi ke area Blambangan yang mendapat perlawanan sengit dari Pangeran Puger.
Beliau adalah putra Wong Agung Wilis, pemimpin Blambangan. Perlawanan juga dilakukan Wong Agung Wilis bersama Pangeran Jagapati. Namun, VOC sukses menekuk perlawanan ini dan memecah Blambangan menjadi dua.
Kekalahan perlawanan pertama ini menyebabkan Wong Agung Wilis dibuang ke Maluku. Blambangan yang telah pecah dikuasai Mas Anom dan Mas Weka sebagai pemimpin boneka. Namun pemimpin boneka VOC ini juga melakukan perlawanan kepada tuannya.
VOC mencoba mengangkat Kertawijaya sebagai bupati Blambangan. Kertawijaya adalah patih Surabaya yang ditunjuk Mataram. Mereka berharap Blambangan melunak setelah dipimpin oleh patih Mataram beragama Islam. Sayang, rakyat Blambangan sudah terlalu eneg dengan tabiat VOC dan Mataram.
Masyarakat Blambangan memilih untuk menyingkir ke hutan. Salah satu wilayah pengungsian mereka adalah dusun Bayu di lereng Gunung Raung. Pada 1768, muncul perlawanan baru di bawah komando Jagapati. Dusun Bayu menjadi basis pertahanan kuat dengan dukungan banyak pemimpin desa di Blambangan. Kekuatan baru ini yang akan memberi hantaman keras kepada pendudukan VOC dan Mataram.
Pada 2 Agustus 1771, Kertawijaya berangkat bersama rombongan pasukan menuju Bayu. Tujuannya untuk memisahkan Bayu dari pengaruh Jagapati. Namun, rombongan pasukan Kertawijaya membelot dan bergabung dengan Jagapati yang telah bersiap melakukan serangan kejutan. Konflik tak dapat dielakkan. Kertawijaya terluka tembak dan tertusuk tombak. Banyak pengikut Kertawijaya yang mati. Kejadian ini sampai ke telinga VOC, yang kebakaran jenggot dan menyiapkan ekspedisi baru.
Pada 5 Agustus 1771, VOC melancarkan serangan pertama kepada pasukan Jagapati. Mereka menyerang bersama 3.000 prajurit pribumi dari Madura dan Pasuruan. Tentu atas restu dari Pakubuwono II. Namun serangan ini berhasil dipukul mundur pasukan Jagapati. Terjadi banyak konflik bersenjata sepanjang Agustus sampai Desember. Puncaknya pada 18 Desember 1771.
Jagapati tampil di garis depan. Beliau menyuarakan puputan, perang habis-habisan. Pasukan Jagapati menyerang tiba-tiba basis pertahanan VOC. Mereka maju ke medan tempur membawa senjata tradisional serta senjata api rampasan. Perang besar ini berhasil memukul mundur pasukan agresor. Namun, perang ini menyebabkan banyak pasukan Jagapati gugur. Dan salah satu korban perang ini adalah Jagapati sendiri. Beliau gugur akibat luka pada tanggal 19 Desember 1771.
Peristiwa di atas dikenal sebagai Puputan Bayu I. Perang puputan yang berhasil memukul mundur VOC dari wilayah Blambangan. Namun pihak lawan tidak patah arang. Pada tahun 1772, VOC kembali menghimpun pasukan. Mereka membujuk Mataram untuk terlibat langsung dalam perang ini. Menggunakan sentimen agama, VOC menyatakan perang ini sebagai jihad fi sabilillah. Menyatakan bahwa perang ini untuk membebaskan Jawa dari orang-orang kafir.
Kampanye hitam ini sukses menghimpun banyak pasukan. Sekitar 10.000 pasukan Mataram bersama 13.000 pasukan Sumenep dan Bangkalan bersatu dengan VOC. Mereka kembali menyerang Bayu yang kini dipimpin oleh Bapa Endha. Bombardir meriam berhasil menghancurkan benteng Bayu. Pembantaian besar-besaran tak dapat dielakkan. Banyak masyarakat bayu yang terbunuh, luka parah, dan hilang dalam tragedi ini.
Dalam catatan VOC, Puputan Bayu disebut sebagai perang paling kejam dan memakan korban paling banyak dari seluruh peperangan yang pernah dialami. Banyak jenderal mereka yang gugur, bahkan dipamerkan penggalan kepalanya oleh pejuang Bayu. Untuk membiayai perang ini, VOC mengucurkan 8 ton emas. Bagaimana dengan masyarakat Blambangan?
Menurut catatan J. C. Bosch, tidak kurang dari 60.000 masyarakat Blambangan menjadi korban. Mungkin tidak terlihat besar, namun pada masa itu, total populasi masyarakat Blambangan “hanya” 65.000 jiwa.
Catatan Rafles lebih bombastis. Dari 80.000 jiwa populasi yang tercatat oleh pemerintah Inggris, 72.000 jiwa menjadi korban dari perang selama satu tahun ini. Jumlah yang tidak sedikit harus dikorbankan demi kedaulatan masyarakat Blambangan dari penindasan VOC.
BACA JUGA Ontran-Ontran Yogyakarta dan tulisan Dimas Prabu Yudianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.