Sejauh mata memandang, baliho Puan Maharani menghiasi pandangan mata. Mbak Puan ikut dalam keramaian perang baliho. Isi baliho Mbak Puan beragam, mulai mengingatkan untuk taat prokes sampai menyebut-nyebut tentang kebinekaan.
Tidak berhenti di baliho, Mbak Puan juga mulai kritis ke pemerintah, sampai-sampai (((situasi aneh))) tersebut menjadi topik khusus di salah satu acara televisi swasta nasional.
Sambil menonton acara tersebut saya browsing internet pakai kata kunci “Puan” dan “kritik”. Lalu dua jam kemudian, saat membaca artikel otomotif di media online, muncul “iklan” Mbak Puan sebagai Ketua DPR RI mengingatkan untuk taat prokes, persis seperti baliho yang beredar.
Edyan, pikir saya, ini kampanye yang kekinian, lewat iklan media online! Lewat semua baliho di jalanan, jadi basi deh semua kampanye politik via stasiun televisi nasional, apalagi Mars Perindo~
Sebagai calon pemilih saat Pemilu, remah-remah statistik yang angkanya selalu di-update tiap lima tahun, saya nervous dengan kekritisan Mbak Puan pada pemerintah belakangan ini. Udahlah perang baliho bikin ambience jalanan seperti mau pilpres tahun depan, masih ditambah metode “branding” Mbak Puan yang keluar dari zona nyaman pula.
Memang aneh kalau dipikir-pikir, Mbak Puan berubah menjadi kritis dan tampil di depan publik memakai beragam cara, tapi saya sebagai calon pemilih malah jadi apatis. Alasan saya jadi apatis, atau merasa ada yang aneh adalah:
Satu, kritis ke pemerintah kok dibarengi pasang baliho di mana-mana
Pasang baliho tidak salah, kritis ke pemerintah itu juga sikap yang benar. Tapi, kalau keduanya digabung, ya terus terang aneh, sih. Menjadi wajar kalau sikap kritis tersebut sudah dimulai sejak menjabat menjadi wakil rakyat. Nyatanya kan tidak.
Dua, mengingatkan taat prokes COVID-19 kok baru sekarang
Sebagai pejabat legislatif yang berwenang dan sangat disegani, sebagai wakil rakyat, saat para eksekutif sibuk meremehkan Covid-19 di awal pandemi dan penanganannya berantakan sejak awal, Mbak Puan Maharani punya kesempatan untuk menjadi pahlawan rakyat sejak awal loh. Tapi, Mbak Puan diem-diem bae di fase-fase yang penting itu. Wakil rakyat dan pemerintah memilih menangani pandemi dengan setelan selow. Bahkan soal distribusi vaksin yang leletun bangetun itu juga tidak ada kritik dari parlemen. Kritiknya Mbak Puan malah ke Pak Ganjar, eh.
Tiga, menyebut kebinekaan sambil memakai baju adat itu so yesterday
Selama ini, saya pikir, kegagalan negara menerjemahkan kebinekaan salah satunya karena pemerintah juga tidak punya konsep yang tepat. Negara dan pemerintah itu berbeda, FYI. Oleh sebab itu, akibat konsep dari pemerintah yang tambal sulam dan hal itu tercermin dalam kebijakan, kebinekaan berhenti di seremonial. Pakai pakaian adat lah, menyebut satu dua kata dalam bahasa daerah di pidato kenegaraan lah, dan lucunya malah kehilangan alasan kenapa tindakan tersebut dilakukan. Akhirnya pesan yang sampai hanya sebagai hiburan saja.
Intinya, ibarat sedang jualan, “branding” Mbak Puan Maharani gagal total bahkan sejak dimulai. Publik nggak paham sama dagangan Mbak Puan, product knowledge yang sedang berusaha disampaikan sekarang lewat baliho atau apa pun itu nggak sampai ke konsumen. Gimana mau beli, ngerti guna dari produknya saja tidak. Gimana mau nyoblos, ngerti program dan kinerja Mbak Puan saja tidak.
Lagipula di masa pandemi begini, saat ribuan orang mati dan yang berhasil pulih pun belum tentu kondisi kesehatannya kembali seperti awal lagi, tolong dong jangan menumpang pada penanganan pandemi untuk “branding” maju pilpres. Mbak Puan bukan pejuang pandemi sejak awal, tidak perlu berpura-pura pusing sekarang karena percuma. Publik pasti menolak, “branding” pakai cara begini pasti hanya jadi proyek mangkrak.
Apalagi kalau punya motor partai, nyalon presiden terus berkali-kali dengan metode yang sama, no mention.
Branding, menurut Kotler (2009), merupakan nama, istilah, tanda, simbol, rancangan atau kombinasi dari semuanya yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa atau kelompok penjual untuk membedakannya dari barang atau jasa pesaing. Jika sudah jelas saingan Mbak Puan sekarang, setidaknya dalam perang baliho, adalah Cak Imin dan Pak Airlangga, ya hempaskan lah baliho blio berdua dengan materi yang tidak mereka punya.
Mbak Puan sebagai perempuan pemimpin di parlemen, misalnya.
Data BPS 2018 mencatat bahwa 15,7 persen kepala keluarga dari 10,3 juta rumah tangga di Indonesia adalah perempuan dan 42,57 persen dari mereka tak memiliki ijazah, yang berarti rentan jatuh dalam kemiskinan. Setelah 2019, ganti presiden, apakah ada perubahan? Saya bertanya karena hanya sampai data 2018 itu saja yang bisa saya temukan. Setelah pandemi mungkin situasinya memburuk.
Perempuan, sebagai pekerja, sebagai ibu rumah tangga, atau keduanya sekaligus, terseok-seok menghadapi pandemi. Mereka yang pekerja harus WFH, mendapat beban ganda menyelesaikan pekerjaan sekaligus membereskan urusan domestik. Mereka yang ibu rumah tangga pun sekarang juga merangkap guru les akibat anak-anaknya harus PJJ. Belum lagi jika kepala rumah tangga terimbas PHK, pasangannya harus nyambi berjualan online karena hanya itu yang paling aman dan masuk akal dijalani di masa pandemi sambil tetap mengurus rumah dan anak. Belum lagi jumlah ibu hamil dan melahirkan yang terpapar Covid-19.
Sebagai sesama perempuan, setidaknya Mbak Puan lebih relate dengan situasi tersebut, bukan? Bahkan seandainya kepedulian tersebut hanya gimik, masih ada waktu sebelum coblosan di 2024.
Jangankan terpikir memahami kebutuhan rakyat dan keresahan publik, yang dilakukan Mbak Puan Maharani hanyalah mencoba terlihat berbeda dari anggota dewan yang lain yang meminta fasilitas khusus saat pandemi tanpa basa-basi. Duh.
Kok sayang amat uang yang dihamburkan buat kampanye kalau begitu-begitu saja strateginya, mending disumbangkan untuk penanganan pandemi saja.
BACA JUGA 4 Alasan Puan Maharani Adalah Ketua DPR RI Terbaik Sepanjang Sejarah dan tulisan Aminah Sri Prabasari lainnya.