Petang kemarin (8/3), di dekat ruang IGD Rumah Sakit Panti Rapih, saya menghabiskan 90 menit untuk menonton laga PS Sleman vs PS Tira-Kabo. Sejak sepak mula sampai laga usai, pertandingan berjalan dengan intensitas yang sangat tinggi. Adu fisik, adu lari tersebar di sepanjang menit. Saya merasa PS Sleman greget betul mengejar kemenangan pertama untuk musim baru ini.
Irfan Bachdim seperti tak putus-putus berlari. Sepertinya, mantan pemain Bali United itu tahu betul kalau ekspektasi kepada dirinya sangat tinggi. Apalagi ini laga kandang perdana. Apalagi, di laga awal, PS Sleman kalah dari PSM Makassar dengan skor 1-2. Saat ini, Elang Jawa duduk di posisi 13 klasemen Liga 1 dengan tabungan satu poin.
Selain asyik menyimak para pemain yang napasnya seperti tak putus-putus, perhatian saya memburu ke arah bangku penonton. Sejauh yang saya tahu, Maguwo International Stadium tidak pernah tidak penuh. Baik Brigata Curva Sud (BCS) dan Sleman Fans lainnya tidak pernah melewatkan satu laga kandang untuk memenuhi bangku stadion.
Sedetik saya berpikir untuk kemudian teringat kalau BCS sedang melakukan boikot pertandingan. Sampai tulisan ini naik, belum ada sikap resmi dari manajemen terkait delapan tuntutan BCS. Saya rasa, manajemen terlalu lama mendiamkan tuntutan ini. Atau, mereka sudah membahasnya secara internal, tetapi keputusan terbaik tidak bisa diambil.
Ada kepentingan yang bakal terluka jika delapan tuntutan BCS dipenuhi? Saya tidak tahu. Silakan jadikan ini sebagai bahan diskusi.
Yang lalu terlintas di pikiran saya adalah sebuah pertanyaan. Kuat berapa lama manajemen PS Sleman dicuekin oleh BCS dan Sleman Fans lainnya. Kalau menonton laga PS Sleman vs PS Tira-Kabo, kamu tentunya tahu kalau cueknya BCS akan merembet ke Sleman Fans lainnya. Tidak hanya kurva selatan yang sepi, tetapi tribun lainnya seperti kurang darah.
Saya sempat mengobrol sebentar dengan media officer PS Sleman lewat WhatsApp. Saya bertanya, “Berapa pemasukan dari tiket PS Sleman vs PS Tira-Kabo?
Mas media officer itu menjawb begini: “Tiket yang terjual itu 3.300 lembar, Mas. Pemasukannya sekitar Rp157 juta.” Perlu kamu ketahui, angka tersebut jauh sangat kecil jika dibandingkan dengan laga-laga kandang PS Sleman lainnya ketika BCS dan Sleman Fans memenuhi tribun.
“Biasanya, tiket yang terjual lebih dari 13.000 lembar. Pemasukannya bisa di atas Rp600 juta, Mas.” Begitu mas media officer memberikan perbandingan. Selisih tiket ini terlalu besar. Padahal, pemasukan tiket sangat penting bagi kelangsungan hidup sebuah klub mandiri dan profesional.
Stadion yang kosong bakal membuat klub menderita, terutama mereka yang bermain di Liga Indonesia. Juventus, ketika menjamu Inter Milan, bermain dengan tanpa penonton. Mereka bisa merugi hingga 12,3 juta euro atau sekitar Rp198 miliar. Ini angka yang besar, meskipun konon Juventus masih bisa bertahan.
Namun, situasi itu tidak mungkin disamakan dengan kondisi klub Indonesia seperti PS Sleman, meskipun saat ini dikuasi oleh “orang kaya”. Sebetulnya, ada “anomali” di Liga Indonesia. Ada, lho, klub-klub tertentu yang stadionnya sepi, tetapi bisa mengumpulkan pemain-pemain mahal. Dari mana duit mereka berasal? Financial Fair Play nggak mau masuk? Hehehe….
Satu hal yang pasti, PS Sleman tidak mungkin mendiamkan boikot BCS dan Sleman Fans lebih lama. Pemasukan dari tiket tidak mungkin “dicuekin” juga. Selain soal uang, keberadaan suporter yang rela dan ikhlas bernyanyi selama 90 menit penuh terlalu berharga untuk didiamkan.
Atau, jangan-jangan manajemen PS Sleman memang nggak menganggap penting keberadaan BCS dan Sleman Fans? Semoga tidak seperti itu.
BACA JUGA Manchester United Kini Lebih Bahagia Bersama Ole Gunnar Solskjaer atau tulisan Yamadipati Seno lainnya. Follow Twitter Yamadipati Seno.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.