Alih-alih mempercepat proses agar jernih, tagar tandingan justru santer digalakkan oleh Polri, yakni #PolriSesuaiProsedur. Ya, sebenarnya nggak sepenuhnya salah, bisa gawat jika saya nyalahin Polri. Namun, antara tagar #PolriSesuaiProsedur dan #PercumaLaporPolisi ini agak sedikit nggak berimbang, sih bobot yang termaktub. Nggak percaya? Baca aja twit demi twit di dalam tiap tagar.
Belum selesai sampai sana, Yunus Saputra yang di bio Twitter-nya menulis sebagai Kepala Analis CCIC Polri itu ngetwit dan membuat sebuah utas yang mendapat respons syahdu dari para netizen. Bukannya menggetarkan hati netizen dan “mengetuk hati” Fahri Salam selaku Pemred Project Multatuli, netizen justru kian yakin bahwa tagar #PercumaLaporPolisi itu terbukti dengan sendirinya.
Dulu saat saya masih tangani kasus konvensional (kejahatan jalanan, pembunuhan, dll termasuk perkosaan), jika korbannya lemah (disabilitas, perempuan & anak) maka akan saya kesampingkan semua urusan saya untuk cari pelakunya hingga ke ujung dunia sekalipun.#PolriSesuaiProsedur
— Yunus Saputra (@M1_nusaputra) October 11, 2021
Saya akan coba membuat sebuah mind-map, tentang hal-hal yang nggak mashoook dari utas yang dibuat oleh Kepala Analis CCIC Polri itu. Izin nggih, Ndan.
Dari twit pembuka, pertama, sebenarnya sudah cacat logika. Paman Yunus menekankan “prosedur”, sedangkan dalam reportase Project Multatuli justru menekankan adanya kesalahan prosedur sejak awal terduga pelaku dilaporkan. Alih-alih memberikan edukasi perihal bagaimana alur sebuah laporan dan cara Polri melindungi korban, twit tersebut justru membuat bingung para pembacanya.
Intinya kan jelas, yakni keadilan bagi korban. Dan para pembaca reportase tersebut penginnya hal tersebut diusut sampai tuntas, jangan mengambang di permukaan seperti tahi di sungai yang baru keluar dari bokong empunya. Sesederhana itu, sih.
Lebih ngeri lagi, dalam sebuah twit sebelum utas itu dibuat, Paman Yunus mengatakan begini, “…nanti akan ada yang malu sendiri,” kok jadi bingung, ya? Kesannya seperti masyarakat dan polisi itu musuhan. Padahal kan polisi itu mengayomi masyarakat, bukan malah “nanti ada yang malu sendiri”.
Selain di puskesmas juga di RS Bhayangkara Makassar. Gelar perkara pun dari semua level hingga Mabes Polri.
Saya sih maunya dibuka semua kasusnya, nanti akan ada yang malu sendiri 🙏🏼🙏🏼 https://t.co/GfHDl0SnZT
— Yunus Saputra (@M1_nusaputra) October 8, 2021
Nggak, Paman, nggak seperti itu konsepnya. Masyarakat itu penginnya aman dan adil. Terduga pelaku ya diproses secara transparan biar jelas. Biar masyarakat mbatin, “Wah, ternyata polisi masih peduli dengan korban,” begitu. Bukan malah saingan dengan cara “nanti ada yang malu sendiri”.
Kedua, “Hasil visum membuktikan tidak ada kerusakan organ vital seperti yang dinyatakan dalam investigasi mendalam oleh @fahrisalam ini. Selain tulisan ini, bisakah dia buktikan rekam medisnya? Tunjukkan Anda tidak mengada-ada!” Lagi-lagi, seakan malah memberikan gap dan menantang pihak-pihak yang ingin menanyakan transparansi proses dan bagaimana kelanjutan proses.
Lagipula, nih, ya, Paman Yunus, bukankah rekam medis itu hanya diperuntukan oleh pasien dan pihak-pihak terkait semisal penegak hukum, ya? Kalau disebarluaskan, bukannya malah melanggar privasi? Saya cuma nanya lho ini, Paman. Ya, alih-alih ngetwit, kayaknya lebih bijak kalau proses ulang perkara ini saja, deh. Toh, masyarakat dan polisi nggak sedang bersaing mengadu “kebenaran”? Kalaupun saling adu, masyarakat punya power apa coba?
Kita beranjak ke hal yang nggak mashoook lainnya, ya. Hal-hal yang lebih mendasar dan sepertinya nggak pantas sekali sekaliber Kepala Analis CCIC Polri itu bikin kata-kata seperti ini.
Jika memang demikian faktanya seperti yang @fahrisalam sebutkan, angkatlah sebagai karya jurnalistik di @TirtoID tempat anda bekerja. Jangan tulis di website pribadi untuk angkat isu semata.
— Yunus Saputra (@M1_nusaputra) October 11, 2021
Wah, ini, sih, puncak komedi banget. Ketiga, Fahri Salam sudah nggak bekerja di Tirto.id. Keempat, Project Multatuli itu bukan website pribadi. Ya, memang, sih semua media online itu menggunakan wadah bernama website, kalau nggak Blogger ya WordPress, tapi ya mbok jangan sebegitunya to huhu sedih aq tu. Saya yang nggak menyematkan kata “analis” saja tahu lho, Paman, bedanya antara website pribadi dan sebuah media yang produksi produk jurnalistik.
Untungnya, Paman Yunus nggak bilang bahwa media ini digawangi oleh Fahri Salam dan Eduard Douwes Dekker. Eh, atau jangan-jangan sempat kepikiran seperti itu juga?
Kelima, katanya, #PercumaLaporPolisi adalah dalih bahwa Fahri Salam tendensius menyerang Polri. Hal yang bikin saya bingung, dengan segala power yang Polri punya, masih takut diserang, kah? Tapi begini, Paman, #PercumaLaporPolisi itu adalah reportase series dari Project Multatuli dalam tajuk #PolisiBukanPreman.
Tapi, ya, bukannya adanya tagar #PercumaLaporPolisi itu justru membuat polisi nggak perlu repot-repot bikin angket kepuasan masyarakat akan kinerja polisi, ya?
Eh, tapi dari sekian banyak hal yang nggak mashoook, ada hal yang mashoook dari utas tersebut. Paman Yunus bilang begini, “…generasi2 Polri yang sudah susah payah memperbaiki kinerja dan profesionalisme dari dalam institusi.” Yap, saya kali ini setuju dengan Paman Yunus, masih ada polisi baik. Masih ada. Ya, setidaknya, masih ada. Entah berapa presentasenya, yang jelas masih ada.