Pelajar Surabaya Nggak Butuh Pramuka, Ekstrakurikuler Ini Memang Lebih Baik Nggak Diwajibkan

Warga Surabaya Nggak Butuh Pramuka, Kegiatan Ini Memang Lebih Baik Nggak Diwajibkan Mojok.co

Warga Surabaya Nggak Butuh Pramuka, Kegiatan Ini Memang Lebih Baik Nggak Diwajibkan (unsplash.com)

Pramuka semakin nggak relevan bagi pelajar di Surabaya. 

Menteri Pendidikan RI, Nadiem Makarim, baru saja meneken kebijakan baru tentang ekstrakurikuler Pramuka. Kegiatan ini tidak lagi menjadi ekstrakurikuler wajib di sekolah. Saat pertama kali mendengar berita ini, saya otomatis nyeletuk, “Wah, kok nggak dari dulu aja ya?

Paksaan dan teguran dari kakak pembina tentang konsekuensi bolos Pramuka masih terngiang-ngiang jelas di kepala saya. Selama sekolah, motivasi saya ikut Pramuka hanya supaya terhindar dari tinggal kelas. Bukan benar-benar ingin mengikuti kegiatannya. Motivasi yang salah memang. 

Masih ingat sekali, Saya sangat kesal ketika tiap Sabtu harus tetap berangkat sekolah hanya untuk Pramuka. Lebih kesalnya lagi, anak-anak sekolah yang hadir bahkan nggak sampai setengahnya. Makin gondok waktu tahu yang tidak ikut pun buktinya masih naik kelas. Aih, lugu sekali saya waktu itu ya.

Di antara debat soal pramuka yang berlangsung sengit, sudah jelas saya termasuk dalam golongan yang mendukung kegiatan ini nggak jadi ekstrakurikuler wajib atau malah dibubarkan saja. Berkaca dari pengalaman saya ikut pramuka selama sekolah di Surabaya, banyak sekali ajaran dan kegiatan-kegiatan Pramuka yang mengundang tanya. 

Tujuan pramuka yang nggak jelas

Saya yakin setiap siswa sekolah pernah ikut pramuka, setidaknya sekali seumur hidup. Tapi, coba tanya, berapa banyak dari mereka yang paham dengan tujuannya. Saya yakin hanya segelintir saja. 

Mengutip website resminya, pramuka.or.id, kegiatan ini bertujuan membentuk peserta didiknya memiliki nilai-nilai luhur, spiritualitas yang baik, dan cinta dengan tanah air. Gampangnya, pramuka menawarkan para pesertanya kegiatan-kegiatan positif. Tujuannya baik sih, tapi kalau dibandingin sama ekstrakurikuler lain, tujuan mereka tuh agak abstrak dan nggak jelas output-nya ke mana. 

Ambil contoh ekstrakurikuler berbasis agama di sekolah saya yaitu SKI (Sie Kerohanian Islam). Semua anggotanya pasti paham kalau tujuan dari kegiatannya ya berdakwah, menyiarkan ajaran islam. Di sekolah saya dulu juga ada ekstrakurikuler Beatbox dan Stand Up Comedy. Ujungnya juga sudah jelas, semua yang gabung pasti pingin jadi beatboxer atau komika. Buat siswa wibu akut pun difasilitasi lewat ekskul budaya dan bahasa Jepang. Sementara Pramuka apa coba? 

Citra yang terlanjur buruk

Ketidakjelasan tujuan diperparah dengan branding Pramuka di mata pelajar Surabaya yang dianggap gitu-gitu aja. Apabila diminta menjelaskan, kebanyakan orang pasti hanya mengingat ekstarkurikuler  seputar pecinta alam, kemah, dan tali-temali. Nggak kaget sih, kegiatannya memang gitu-gitu aja setiap minggu. Bagaimana anggotanya tidak bosan coba? 

Sebenarnya nggak salah juga kalau kegiatan-kegiatan Pramuka isinya begitu-begitu saja. Masalahnya ini Surabaya cuy, kondisi ruang hidupnya sudah penuh gedung dan mulai sesak penduduk. Jangankan nyari tempat kemping, belajar tali-temali aja rasanya nggak guna-guna amat.

Akan tetapi, bagi segelintir orang yang rutin naik gunung seperti saya, pelajaran di Pramuka masih ada sedikit yang nyantol. Selebihnya, memang nggak nyambung sih sama kebutuhan hidup sehari-hari. 

Baca halaman selanjutnya: Pramuka yang …

Pramuka yang nggak jelas kegiatannya

Ada kegiatan unik Pramuka yang bisa kita amati tiap memasuki masa mudik Lebaran. Tiba-tiba banyak anak Pramuka berhamburan, utamanya membantu Dinas Perhubungan mengamankan arus mudik. Kalian bakal sering melihat mereka di stasiun, terminal, bahkan di titik-titik ramai kendaraan bermotor. 

Jangan salah, saya justru merasa terbantu dengan adanya mereka. Apalagi waktu saya kuliah dan masih aktif di KSR-PMI Kota Surabaya. Jadwal pengamanan mudik lebaran jadi lebih mudah dengan hadirnya mereka di posko-posko mudik. Mereka ini kelewat baik, diminta melakukan apa saja pasti jawabannya “Siap!”

Hanya saja, fenomena ini makin bikin saya garuk-garuk kepala, sebenarnya Pramuka itu apa sih? Saking banyaknya yang dikerjakan, saya dulu pernah suudzon mereka ini sebenarnya kumpulan orang-orang yang tertolak Akmil atau Akpol.    

Praktek Pramuka di sekolah juga sebetulnya bertentangan dengan salah satu sifat gerakannya sendiri, yaitu sukarela. Jadi ingat dulu waktu masih di bangku kelas 5 SD dan ada Persami di luar kota. Iya di luar kota, saking sudah tidak ada lagi alam yang alami di Kota Kelahiran saya. 

Ketika disana kakak Pembina yang memberi sambutan berkali-kali memuji kami. Katanya beliau bangga karena kami sukarela datang Persami. Otomatis saya bingung, karena di edaran sekolah, kegiatannya bersifat wajib dan ada biaya yang harus dibayar setiap siswa. Namun, karena masih polos, saya menganggap sukarela itu yang penting hadir dengan senang hati. Sesuatu yang sayangnya tidak pernah dirasakan lagi ketika berkegiatan Pramuka di jenjang selanjutnya.

Rebranding supaya lebih relevan atau punah

Kalau nggak segera muhasabah diri, Pramuka di Surabaya bisa makin terancam. Ekstrakurikuler ini perlu segera melakukan rebranding. Kalau tidak bisa menyeluruh, minimal dorong para pembinanya untuk mengemas kegiatannya supaya mampu menjawab kebutuhan pelajar Surabaya. Pramuka harus bisa memunculkan strong why dari setiap kegiatannya. Kalau perlu, mereka bisa belajar dari Simon Sinek tentang konsep golden circle-nya. 

Kalau boleh saran, banyak kok yang bisa dilakukan. Sebarin aja survey kecil-kecilan di setiap sekolah, terus tanya apa aktivitas menarik yang para siswa mau dilakukan. Tampung saja dulu semuanya. Setelah itu, lihat aktivitas paling diminati dan coba padukan dengan ciri khas ke-Pramuka-an. Misalnya banyak yang tertarik E-Sport Mobile Legend, coba aja buat kemah bertemakan E-Sport. Ajari mereka berperilaku sportif dan tumbuhkan nuansa positif selama bertanding. Kan asik ya?

Pramuka jadi punya andil memberantas bocil-bocil toxic online. Tapi kalau kalian berpikir usulan tadi tidak masuk akal, jangan-jangan kalian sendiri yang nggak mau berpikir maju. Lagian nih ya, kalian harus tahu kalau Pramuka punya Saka Dirgantara yang mengajarkan pesertanya tentang penerbangan. Buat apa kalian tanya? Ya ndak tau kok tanya saya.

Intinya, kegiatan satu ini cakupannya sudah sangat luas. Tanggung banget kalau tren-tren pemuda zaman now nggak dirangkul juga. Dengan tidak diwajibkannya Pramuka, opsi Pramuka untuk menaikkan tingkat partisipasinya hanya dua. Ya kalau nggak mau berubah, siap-siap punah saja. 

Penulis: Arief Rahman Nur Fadhilah
Editor: Kenia Intan 

BACA JUGA Kurikulum Merdeka Membunuh Pramuka?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version