Beberapa minggu yang lalu, saya melihat status WhatsApp guru SMA saya yang memperlihatkan praktik akad nikah. Nggak sekadar ijab kabul saja ternyata, lengkap sampai pakai kostum dan makeup segala. Malahan ada prasmanan kecil-kecilannya juga yang kemudian disantap beramai-ramai antara siswa-siswi beserta para guru. Tidak lupa, momen tersebut pun diabadikan dengan acara foto-foto layaknya acara pernikahan betulan.
Tentu, hal tersebut membuat saya mengernyitkan dahi. Pasalnya, saat saya SMA, tidak ada praktik akad nikah seperti itu. Sewaktu SMA, seingat saya dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, hanya diajarkan teori-teorinya saja oleh guru agama saya. Sekarang kok dipraktikkan lengkap dengan segala tetek bengeknya segala?
Bukannya apa-apa nih saya bilang begitu. Saya tidak melihat urgensi dari praktik akad nikah yang dilakukan anak-anak SMA yang belakangan ini sering kita lihat di media sosial. Yang ada, siswa dan siswi malah kurang paham akan esensi dari pernikahan itu sendiri. Mereka malah lebih memprioritaskan diri untuk menyiapkan riasan makeup dan acara prasmanannya. Saya nggak bisa membayangkan berapa biaya patungan yang harus dikeluarkan oleh siswa dan siswi untuk praktik akad nikah yang kurang berfaedah ini. Padahal dalam Islam sendiri disebutkan, rukun nikah adalah: 1) mempelai pria, 2) mempelai wanita, 3) wali, 4) dua saksi 5) ijab kabul. Riasan makeup pengantin dan acara prasmanan nggak termasuk ke dalam rukun nikah ya, Gaes! Yang penting tuh resmi secara agama dan negara, dah.
Katakanlah kalau memang butuh peraga, ya tinggal di kelas aja kan bisa. Atau lihat YouTube, kelar.
Menurut saya, jauh lebih berfaedah praktik ibadah yang jauh lebih urgent seperti praktik tayamum, pemotongan hewan kurban, hingga tata cara mengurus jenazah. Kenapa lebih urgent?
Untuk kasus tayamum, jujur saja, saya seringkali kebingungan ketika harus melakukan tayamum sampai-sampai harus Googling dan lihat tutorial di YouTube terlebih dahulu. Alasan saya bingung ya karena praktik tayamum jarang sekali dipraktikkan di sekolah. Guru-guru agama mungkin terlena karena kita hidup di zaman modern, bukan seperti pada zaman Nabi, di mana nggak semua tempat tersambung dengan pipa PDAM. Padahal banyak hal yang mengharuskan kita tetap tayamum seperti ketika sedang berada di atas bus atau pesawat.
Untuk kasus pemotongan hewan kurban, ketika dimintai panitia kurban untuk memotong hewan kurban, saya selalu menolaknya. Saya takut jika saya memegang pisau justru akan menyakiti hewan kurban yang akan disembelih. Pasalnya, praktik pemotongan hewan kurban tidak pernah diajarkan pada siswa dan siswi saat saya SMA. Pemotongan hewan kurban selalu dilakukan oleh guru sekolah saja. Siswa dan siswi cuma kebagian nyatenya saja, wqwqwq~
Untuk kasus mengurus jenazah, ketika ayah saya meninggal dunia, jujur saya saja sangat kebingungan ketika harus memandikan, mengkafani, menshalatkan, hingga menguburkan. Selain karena pikiran saya lagi nggak fokus, praktik mengurus jenazah hampir nggak pernah diajarkan sama sekali. Sepanjang saya sekolah, dari SD sampai SMA, hanya 2-3 kali saja guru agama saya pernah mengajari siswa dan siswinya tentang tata cara memandikan, mensalatkan, dan menguburkan jenazah secara Islam. Itu pun dengan menggunakan manekin. Padahal memandikan, mensalatkan dan menguburkan jenazah itu termasuk dalam fardhu kifayah, yakni aktivitas dalam Islam yang wajib dilakukan, tetapi bila sudah dilakukan oleh muslim yang lain maka kewajiban ini gugur.
Dibandingkan praktik akad nikah, ketiga hal yang saya sebutkan di atas jauh lebih urgent bukan?
“Kan bisa lihat YouTube!” Untuk tayamum, iya. Tapi mengurus jenazah, motong hewan kurban jelas nggak bisa segampang itu. Butuh praktik ini. Megang dan “bermain” pisau nggak segampang yang terlihat.
Ketiga hal yang saya sebutkan di atas pastinya akan kita alami lebih dari sekali sepanjang hidup kita. Untuk tayamum, pastinya kita pernah diharuskan tayamum sebelum salat saat berada di atas bus atau pesawat bukan? Untuk memotong hewan kurban nggak usah dijelaskan, wong tiap tahun kita rayakan. Untuk memandikan, mensalatkan dan menguburkan jenazah, pastinya suatu saat kita akan menyaksikan wafatnya kedua orang tua kita, saudara-saudara kita, hingga teman-teman kita bukan? Makanya kita harus menyiapkan diri untuk tahu bagaimana tata cara untuk memandikan, menshalatkan dan menguburkan jenazah, supaya nggak bingung saat mereka semua meninggal dunia.
Sedangkan untuk ijab kabul, kasusnya sangatlah spesial. Sangat sakral. Pastinya kita hanya mau melakukan ijab kabul sekali dalam seumur hidup bukan? Kecuali ente pengin jadi Don Juan macam Vicky Prasetyo, beda cerita.
Sedikit tambahan, di luar konteks agama, kenapa nggak fokus mengajarkan siswa dan siswi materi mitigasi bencana? Biar siswa dan siswi sudah siap dan sigap ketika bencana datang seperti siswa dan siswi Jepang?
Seperti itulah unek-unek saya tentang praktik akad nikah. Mudah-mudahan tulisan saya ini dibaca oleh Menteri Agama Indonesia, Bapak Yaqut Cholil Qoumas serta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Bapak Nadiem Anwar Makarim supaya bisa dijadikan masukan bagi para jajaran di bawahnya. Saatnya mengucapkan mantra bismillah stafsus milenial Kementrian Agama atau Kemendikbud, mana aja bebas yang penting gajinya gede!
Penulis: Raden Muhammad Wisnu
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Penghulu tapi Belum Menikah