Setiap musim libur Lebaran, Jogja mendadak jadi kota penuh ujian. Bukan ujian hidup seperti ditanya “kapan nikah?” di acara kumpul keluarga, tapi ujian kesabaran di jalan raya. Bukan hanya karena volume kendaraan meningkat tajam, tapi karena ada satu fenomena yang sudah jadi momok tahunan: munculnya plat luar daerah.
Siapa pun yang tinggal di Jogja pasti paham betul. Ada dua musim yang harus dihadapi setiap tahun: musim hujan dan musim kendaraan plat luar menginvasi. Begitu masuk minggu Lebaran, plat-plat B, L, D, F, dan kawan-kawannya mulai membanjiri jalanan Jogja, membawa serta potensi drama dan cerita absurd di tiap lampu merah.
Daftar Isi
Jogja itu kecil, tapi…
Jogja itu sebenarnya kota yang ramah dan santai. Tapi, ketika kendaraan plat luar mulai menyerbu, semua berubah. Jalanan yang biasanya masih bisa dinikmati mendadak jadi arena survival. Para pemudik yang ingin bernostalgia atau sekadar wisata kuliner mendadak kehilangan kemampuan membaca Google Maps dengan benar. Tiba-tiba ada yang berhenti mendadak di tengah jalan, ada yang belok tanpa lampu sein, ada yang jalannya pelan banget seolah menikmati view Malioboro di tengah kemacetan.
Yang lebih parah? Yang asal putar balik di tengah jalan, bikin yang di belakang hampir kena serangan jantung dadakan.
Sebagai warga lokal, kita tahu ada kode etik tidak tertulis dalam berkendara di Jogja. Seperti kalau lampu merah di simpang empat Gejayan nyala, ya tetap jalan aja kalau nggak ada polisi. Tapi sepertinya, kode etik ini tidak pernah sampai ke luar daerah. Makanya, setiap musim liburan, kita mendadak harus siap menghadapi berbagai aksi yang bisa membuat jiwa sabar kita diuji maksimal.
Fenomena “ugal-ugalan vs bingung sendiri”
Yang bikin unik, kendaraan plat luar ini biasanya terbagi jadi dua tipe ekstrem. Pertama, yang ugal-ugalan seolah jalanan ini milik kakek buyutnya. Mereka nyelip sana-sini, ngegas seenak jidat, dan sering kali membuat orang lokal hanya bisa menghela napas panjang. Kedua, yang kebingungan sendiri, berjalan sangat pelan di jalur cepat, atau tiba-tiba berhenti di perempatan tanpa alasan yang jelas. Fenomena ini sering terjadi di perempatan Tugu, simpang empat Gejayan, atau di sekitar UGM. Kalau sudah begitu, suara klakson jadi semacam backsound wajib di jalanan.
Kadang saya berpikir, apakah sebelum masuk Jogja mereka mendapat briefing khusus dari komunitasnya? “Oke, kalau masuk Jogja, jangan ragu bikin warga lokal geregetan. Mau berhenti mendadak? Gas! Mau belok tanpa sein? Hajar! Mau ngebut di jalan kampung? Cobain aja!”
Efek liburan dan sentimen warga lokal Jogja
Kenapa ini terjadi? Beberapa analisis ngawur dari pengamat lalu lintas amatir seperti saya menyimpulkan bahwa ada beberapa faktor. Pertama, Jogja selalu jadi destinasi favorit setiap libur panjang, sehingga jumlah kendaraan bertambah drastis. Kedua, wisatawan sering tidak terbiasa dengan karakter jalan di Jogja yang relatif kecil dan kadang membingungkan. Ketiga, euforia liburan membuat mereka lebih santai, terlalu santai malah, sampai lupa kalau mereka tidak sendirian di jalan.
Belum lagi, di Jogja banyak jalan yang sistemnya one way. Nah, para pengendara plat luar ini biasanya tidak ngeh, baru sadar pas sudah kelewat jauh. Akhirnya, apa? Muter balik sembarangan di tempat yang nggak seharusnya. Kalau ada polisi, mereka langsung panik, belok ke gang kecil, lalu tersesat di pemukiman warga.
Sementara itu, warga lokal yang sudah lelah dengan ritme keseharian justru harus menghadapi invasi ini. Setiap tahun, timeline media sosial penuh dengan curhatan orang Jogja yang geregetan melihat aksi para pengendara plat luar ini. Ada yang bikin thread panjang di Twitter, ada yang curhat di Instagram Story, ada juga yang hanya bisa mengumpat dalam hati sambil meremas setang motor.
Haruskah kita marah, atau justru kasihan?
Dilema terbesar warga Jogja setiap musim liburan adalah: marah atau memaklumi?
Di satu sisi, kita ingin protes karena jalanan jadi chaos. Tapi di sisi lain, kita sadar kalau mereka hanya ingin menikmati Jogja seperti kita juga menikmati kota mereka saat pergi ke luar daerah. Kita juga harus ingat, sektor pariwisata Jogja hidup karena wisatawan, jadi meski mereka bikin kesel, mereka tetap membawa rezeki bagi banyak orang.
Tapi tetap saja, ada batasnya. Kalau cuma jalan pelan sambil bingung cari lokasi, ya sudahlah, bisa kita pahami. Tapi kalau ngebut di jalanan kampung, berhenti sembarangan di tengah jalan, atau melanggar lampu merah dengan percaya diri, rasanya perlu ada “orientasi berkendara” dulu sebelum masuk Jogja.
Mungkin solusi terbaik adalah membentuk “Tim Adaptasi Lalu Lintas” khusus buat wisatawan. Sebelum masuk Jogja, mereka harus melewati tutorial dasar: cara belok pakai sein, cara membaca peta tanpa panik, dan cara tidak berhenti di tengah jalan tanpa alasan. Atau mungkin, cukup dengan memasang billboard besar di perbatasan Jogja dengan tulisan: “Selamat Datang di Jogja. Jangan Ugal-Ugalan, Jangan Bingung Sendiri.”
Akhirnya, meski kita geregetan setiap musim libur, kita tetap harus bertahan. Jogja memang bukan hanya milik kita, tapi juga milik mereka yang ingin menikmati keindahannya. Jadi, kalau nanti di jalan ada kendaraan plat luar yang bikin kesal, tarik napas, tersenyum, dan ingatlah: musim kendaraan plat luar hanya sementara. Setelah Lebaran usai, Jogja akan kembali damai. Sampai liburan berikutnya.
Penulis: Janu Wisnanto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Derita Plat Nomor B, AA, AD, H, dan K yang Dibenci Pengendara