Pertanyaan Kapan Nikah Itu Nggak Akan Menyebalkan, asalkan Nggak Ditanyakan Setiap Hari

Pertanyaan Kapan Nikah Itu Nggak Akan Menyebalkan, asalkan Nggak Ditanyakan Setiap Hari

Pertanyaan Kapan Nikah Itu Nggak Akan Menyebalkan, asalkan Nggak Ditanyakan Setiap Hari (Unsplash.com)

Saya sedang ada di fase mulai gusar dengan pertanyaan “kapan nikah?” yang terus-terusan ditanyakan. Iya, menjelang 30 tahun ini saya cukup sering menerima pertanyaan tersebut. Apalagi setelah kakak saya menikah, intensitas pertanyaan tersebut menjadi berlipat-lipat, sebab di keluarga memang tinggal saya yang masih lajang.

“Ah, bukannya kalau ditanya tinggal dijawab aja?” Dulu saya juga sempat berpikir demikian. Tapi setelah mengalaminya sendiri, saya jadi paham kenapa pertanyaan ini menyebalkan.

Bukan soal pertanyaan kapan nikah, tapi intensitas pertanyaan itu dilontarkan

Sebenarnya kalau direnungkan, ini bukan tentang pertanyaannya, tapi intensitasnya. Sebab kalau hanya beberapa orang saja yang bertanya, saya kira tidak masalah. Nah, yang membuat pertanyaan kapan nikah ini jadi menyebalkan adalah tiap orang yang ketemu selalu bertanya. Bayangkan saja, tiap ketemu orang ditanya pertanyaan yang sama, suwe-suwe yo mangkel, Buos.

Sebagai gambaran, pertanyaan netral semacam, “sudah makan atau belum?” juga akan terasa menyebalkan jika tiap kita ketemu orang, pertanyaan tersebut selalu ditanyakan. Dan itu berlangsung setiap harinya. Sudah kebayang kan menyebalkannya di mana?

Selain itu, kalau diamati, orang yang dulu sempat ada di fase seperti saya (membenci pertanyaan kapan nikah) dan kemudian sudah menikah, orang itu bukan lantas “tobat” dan nggak melemparkan pertanyaan serupa kepada orang lain. Justru dia malah ikutan bertanya tiap kali berjumpa.

Iya, saya punya banyak teman yang dulu sering pasang story tentang kebenciannya terhadap pertanyaan kapan nikah serta argumentasi dengan genre “menikah itu bukan perlombaan”. Namun setelah menikah, mereka seakan berubah pikiran dan sering bertanya ke orang lain, “kapan nikah?” termasuk kepada saya. Vrengsek memang.

Belum nikah berarti nggak laku dan susah dapat pasangan

Tak hanya berhenti sampai sana, beberapa orang bahkan menganggap kalau belum menikah berarti belum laku, belum ada pacar, kesusahan mendapatkan pasangan, dll. Saya pernah disuruh untuk ikut organisasi tertentu agar cepet ketemu jodoh.

Tukang parkir langganan saya di pasar juga punya ide serupa. Beliau pernah menyuruh saya untuk ikut kajian di salah satu kiai agar nantinya dijodohkan dengan sesama jamaahnya. Sungguh mindblowing sekali.

Beda lagi dengan teman saya yang lain. Ia menyuruh menikah karena baginya menikah itu enak, sebab tiap hari ada yang masakin. Begitu katanya.

Dan ketika saya timpali kalau saya juga bisa masak sendiri. Teman saya ini mengatakan, “Ah, dimasakin dan masak sendiri itu beda rasanya.” Mendengar argumentasinya, saya hanya bisa tersenyum.

Saya paham memang pasti akan beda rasanya, sebab saya sangat yakin kalau masakan saya ini lebih enak ketimbang pacar saya yang jarang masak itu, xixixi.

Pertanyaan kapan nikah dan saran segera menikah

Kalau boleh serius, saya ingin bertanya, memangnya seberapa bahagia sih pernikahan itu? Kenapa tiap orang yang belum menikah diberi pertanyaan kapan nikah dan disarankan untuk segera menikah? Padahal kalau saya amati, beberapa teman saya yang sudah menikah juga banyak sambatnya.

Mulai dari pasangannya yang ternyata menyebalkan, urusan merawat anak yang menyusahkan, pembagian pekerjaan rumah yang nggak adil sejak dari pikiran, sampai hal-hal yang berhubungan dengan mertua dan keluarga barunya.

Selain itu, banyak juga yang setelah menikah malah susah ke mana-mana. Sudah nggak bisa menjalankan hobi, sebab sudah ada tanggung jawab baru untuk dilakukan. Dan karena waktu juga terbatas, ia tidak punya banyak waktu luang untuk dialihkan ke hobi yang ia suka.

Hal-hal semacam itu justru jarang dikatakan oleh orang yang sudah menikah. Mereka malah cenderung melempar kalimat dengan genre, “bukti cinta bukan I Love You, tapi Qobiltu”. Alhasil banyak yang menikah saja meski ekonominya pas-pasan “hanya” untuk membuktikan cintanya. Padahal menurut data, faktor utama perceraian adalah masalah ekonomi. Haisssh.

Bagi saya, menikah itu bukan sekadar memikirkan resepsinya nanti menunya rawon atau soto. Lebih dari itu. Menikah memiliki tujuan untuk menjalankan hidup bersama, baik suka maupun duka dengan jangka waktu seumur hidup. Karena itu diperlukan persiapan yang matang. Termasuk secara mental.

Kalau memang sudah berumur dan belum kepikiran menikah, tidak apa-apa, kan?

Terlepas dari itu semua, saya kira prinsip tiap orang itu masing-masing, jadi nggak ada yang salah. Makanya mau sampai umur 30 tahun dan seseorang belum kepikiran untuk menikah, ya nggak apa-apa juga, kan? Nggak usah memburu mereka dengan pertanyaan kapan nikah.

Meski demikian, saya sadar kalau tahun depan kayaknya banyak teman dekat saya yang bakal menikah. Dan memang begitu seharusnya. Saya percaya kalau menikah itu ya melanjutkan hidup saja, bukan transformasi kebahagiaan atau apa pun itu. Yah, dilakoni wae. Ancen wes wayae.

Terakhir, sebagaimana menikah adalah melanjutkan hidup, maka biarkan orang-orang yang belum menikah ini hidup sebagaimana mestinya, tanpa dibebani dengan pertanyaan kapan nikah setiap harinya. Yok, bisa yok!

Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Usia Ideal Menikah Itu Nggak Perlu, Jadi Stop Bertanya Kapan Nikah.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version