Akhir-akhir ini saya melihat ada tren membandingkan penderitaan dan kengenesan para sarjana yang ditulis oleh beberapa pengikut jamaah Mojokiyyah. Mulai dari S.Pd. yang berarti Sarjana Penuh Derita, S.E. Sarjana Edan, dan Sarjana Perbankan Syariah yang tak kalah ngenesnya.
Orang Indonesia memang suka membanding-bandingkan penderitaan mereka. Selain itu, terkesan ada kebanggaan tersendiri jika berhasil membuktikan bahwa merekalah yang paling menderita di antara yang lain. Saya sebagai pembeli gelar Sarjana Agama, tentu tidak mau kalah, dalam arti kalah ngenesnya. Namun, di sini saya tidak sedang membahas tentang nihilnya prospek sarjana agama dalam dunia kerja.
Pada dasarnya, kesulitan mendapat pekerjaan yang linear dengan titel atau sekadar mendapat pekerjaan saja adalah penderitaan standar yang dialami semua sarjana. Bahkan untuk sekadar mendaftar sebagai driver grab atau kasir Indomaret pun, saat ini tidak kalah sulit seperti mengikuti seleksi CPNS. Pasalnya, persaingan yang begitu bebas dan terbuka, sebebas pergaulan remaja laki-laki dan “se-terbuka” pergaulan remaja perempuan.
Para peraih titel S.Ag. adalah mereka yang menempuh studinya di Jurusan Aqidah Filsafat, Ilmu Al Quran dan Tafsir, Ilmu Hadis dan Studi Agama-agama. Setidaknya ini yang berlaku di kampus saya UIN Alauddin Makassar dan di UIN SUSKA Riau. Entah bagaimana dengan kampus yang lain.
Dilihat dari jurusan yang ditawarkan, sudah cukup menggambarkan bahwa mata kuliah dan materi yang didapat oleh mahasiswa di jurusan ini, lebih terpaku pada kajian kepustakaan, baik berupa teori, sejarah, bahasa, dan sastra. Pada dasarnya, semua kajian ini hanya sekadar teori dan bersifat normatif. Hal ini menggambarkan bahwa para S.Ag. sebenarnya adalah mereka yang terlalu banyak dibekali kemampuan softskill dan sedikit sekali atau bahkan tidak sama sekali dibekali dengan kemampuan hardskill.
Di semester awal, mahasiswa yang masih polos dan bisa jadi salah jurusan ini, tak jarang akan dicekoki dengan pemikiran-pemikiran kontemporer yang ditawarkan oleh dosen (tentu saja tidak semuanya) dalam perkuliahan. Untuk menarik perhatian mahasiswa yang sedang mengantuk, biasanya dosen akan memulai dengan pertanyaan filosofis semisal: Apakah Tuhan ada? Jika Tuhan ada, lalu di mana Tuhan? Atau pertanyaan serupa yang efektif memancing diskusi hingga perdebatan dalam kelas dan pada akhirnya membawa perkuliahan pada kesimpulan sepakat untuk tidak sepakat.
Bagi mereka yang mengkaji tentang agama dan dasar agama berupa Alquran dan Hadis, biasanya akan mengkaji dari berbagai pendekatan dan metode mulai dari aspek ontologi, epistemologi, aksiologi, sampai cocoklogi.
Para S.Ag. terlalu dalam tenggelam di laut perdebatan teoritis. Setelah kenyang dengan materi tentang kebenaran dan pengamalan agama (dari aspek fiqih, aqidah, dan sejarah yang sebenarnya telah mereka dapat sebelum tidur di bangku kuliah) dan sebagai konsekuensi dari jurusan yang mereka pilih atau pilihkan. Lalu mereka akan mulai diperkenalkan dengan para orientalis maupun tokoh dengan pemikiran-pemikiran kiri dan kontroversial sejalan dengan jiwa pemberontak anak muda. Sehingga tak jarang mereka akan terbawa, terpengaruh, dan meyakini kebenaran pemikiran itu.
Selanjutnya mereka mulai ikut-ikutan mempertanyakan dan meragukan kebenaran agama. Hal ini mengarahkan mereka untuk mencari sendiri kebenaran agama dan bersikap skeptis terhadap praktik keber-agama-an yang dijalani orang-orang saat ini.
Bagi yang sudah stadium 4, mereka mulai menciptakan cara beragama sendiri yang sesuai dengan seleranya. Biasanya, yang paling standar dari golongan ini adalah mereka yang mulai meninggalkan salat karena memahami salat adalah tentang mengingat Tuhan. Sehingga jika mereka sanggup dengan khusyuk untuk mengingat Tuhan tanpa salat, maka itu sudah cukup.
Bagi masyarakat awam ini mungkin terdengar sesat dan hanya sekadar omong kosong. Oke, mari kita lihat omong kosong yang lain. Sebagai contoh kasus, disertasi oleh Abdul Azis seorang dosen fakultas Syariah IAIN Surakarta tentang Konsep Milkul Yamin sebagai keabsahan hubungan seks nonmarital atau katanya menghalalkan seks di luar nikah.
Sekali lagi, bagi banyak orang ini terdengar sesat. Namun, jika kita melihat track record Abdul Azis yang merupakan seorang lulusan S-2 IAIN Semarang dan S-1 IAIN Alauddin Makassar, terlebih lagi dia adalah seorang dosen, tentu kita bisa memahami bahwa ia bukanlah orang yang tidak paham agama. Diketahui bahwa konsep itu dikembangkan dari pemikiran Muhammad Syahrur yang memang terkenal sebagai pemikir islam kontemporer dan kontroversial, menggunakan pendekatan hermeneutika. Eh, kok malah kayak ngasih kuliah, ya?
Sejujurnya di lingkungan kami para S.Ag., tak sedikit yang pro dengan konsep si Azis atau Syahrur ini. Tidak sedikit dari kami yang menganggap hal ini sah-sah saja sebagai bagian dari ilmu pengetahuan.
Kalian tentu boleh tidak setuju dengan yang saya ungkap ini atau menganggap saya hanyalah tusuk pentolan penganut teori konspirasi yang penuh dengan omong kosong. Namun, saya sebagai Sarjana Agama sekaligus calon Magister Agama (InsyaAllah hehehe), begitu dekat dengan realitas dan perdebatan seperti ini dan terbiasa bahkan menganggapnya hal biasa.
Sehingga tak jarang dalam pergaulan akademik, di belakang titel S.Ag. kami, biasanya akan diikuti titel lain seperti Liberalis, Pluralis, Sekuleris, bahkan Ateis. Hal ini pada poinnya membuat titel S.Ag, kami lebih cocok sebagai akronim dari “Sarjana Abangan”.
Jadi, jangan sampai kalian terlalu melambungkan ekspektasi mendapatkan calon pasangan idaman yang hafal Alquran dan rajin salat dari kami para S.Ag.. Pasalnya, kami adalah “Sarjana Abangan”. Meskipun tidak semuanya juga, ya.
BACA JUGA Bukti kalau Kepanjangan S.Pd. itu Bukan Sarjana Pendidikan, tapi Sarjana Penuh Derita atau tulisan Muhammad Dzal Anshar lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pengin gabung grup WhatsApp Terminal Mojok? Kamu bisa klik link-nya di sini.