Menjadi seorang perawat adalah pilihan yang penuh akan konsekuensi. Setelah mengucap sumpah profesi maka seorang perawat harus bersiap akan segala kemungkinan yang ada, entah hal itu buruk, atau bahkan sangat buruk sekalipun.
Profesi ini merupakan salah satu profesi yang tidak mengenal tanggal merah atau cuti bersama. Ketika orang lain masih bisa berkumpul bersama keluarga dalam rangka libur Natal atau libur Lebaran, mereka tetap bertugas sesuai dengan jadwal dinas.
Menjalani profesi sebagai seorang perawat nyatanya memang tidak mudah di era masa kini. Masih ada saja yang menganggap perawat hanyalah asisten dokter, parahnya ada pula yang menganggap sebagai kacung.
Sehingga, tidak sedikit pasien atau keluarga pasien yang merasa superior ketika berhadapan dengan perawat. Hal ini tentu saja menjadikan Perawat adalah profesi yang kerap dipandang sebelah mata oleh masyarakat.
Meski demikian, profesi ini memang sudah “terlatih patah hati” bahkan ketika dirinya masih berstatus calon perawat. Berikut ini beberapa hal yang membuat perawat semakin terlatih patah hati. You sing, you lose.
Tidak bisa melamar kerja di fasilitas kesehatan meski telah mendapatkan ijazah
Setelah mendapatkan ijazah dan berfoto dengan background buku filsafat, jangan harap seorang sarjana Keperawatan dapat langsung bekerja di rumah sakit, klinik atau puskesmas. Hal ini disebabkan calon perawat harus memiliki Surat Tanda Registrasi dan Sertifikat BTCLS (Basic Trauma Life Support). Tanpa kedua “senjata” tersebut, akan susah untuk mendapatkan pekerjaan, kecuali kalau punya koneksi orang dalam.
Untuk mendapatkan STR, seorang perawat harus dinyatakan lulus dalam ujian kompetensi (UKOM). Jika tidak lulus, harus mengulang uji kompetensi selanjutnya yang terkadang dilaksanakan tiga bulan kemudian.
Terkadang, ada calon perawat yang gagal mengikuti uji kompetensi selama tiga kali. Konon adanya UKOM ini juga menjadi lahan bisnis bagi penyedia jasa bimbel, yang membuat program 100% sukses UKOM.
Selain UKOM ada pula sertifikat BTCLS, di mana untuk mendapatkan sertifikat ini tidaklah gratis, sertifikat ini juga harus diperbaharui selama lima tahun sekali dan untuk mendapatkannya tidaklah gratis.
Lowongan kerja yang cukup susah
Setelah mendapatkan STR dan Sertifikat BTCLS, maka berubahlah status calon perawat dari pengangguran menjadi pencari kerja, dari sinilah perawat akan membuat surat lamaran dan memperbanyak foto 3×4 dan 4×6.
Dulu lulusan Lulusan Akper bisa dengan mudah menjadi PNS, bahkan masa menganggur tidak sampai seminggu. Namun, saat ini institusi Keperawatan sudah mulai menjamur bahkan hampir di setiap kabupaten/kota telah memiliki STIKes/AKPer atau Universitas yang memiliki prodi Keperawatan.
Ketika lulusan semakin banyak dan perkembangan jumlah fasilitas kesehatan tidak sebanding dengan jumlah lulusan, maka yang terjadi adalah overload lulusan Keperawatan, hal ini menyebabkan lulusan keperawatan harus “sikut-sikutan” untuk mendapatkan pekerjaan.
Sehingga tak heran, jika ada puskesmas yang membuka lowongan 2 orang perawat honorer, maka akan ada ratusan pelamar yang mengirimkan map coklat dengan harapan mendapatkan pekerjaan dan terlepas dari label pengangguran.
Gaji yang humble
Nasib perawat, terutama yang berstatus honorer memang 11-12 dengan guru honorer. Padahal ketua PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) Harif Fadilah pernah mengatakan bahwa idealnya Perawat mendapatkan gaji tiga kali UMP.
Namun faktanya, masih banyak perawat yang mendapatkan gaji kurang dari UMK, sehingga terkadang perawat harus menjalani pekerjaan sampingan agar token listrik tidak berbunyi, seperti jualan taperware atau jualan baju anak.
Rendahnya gaji juga didukung dengan stigma “gaji tibo keri, sing penting ora nganggur” yang artinya, gaji urusan belakangan, yang penting tidak jadi pengangguran.
Tak kenal tanggal merah
Ketika banyak kantor meliburkan karyawan menjelang hingga setelah lebaran, rumah sakit, klinik dan puskesmas 24 jam akan tetap beroperasi. Ya gimana, orang sakit tidak mengenal kata nanti.
Lupakan sejenak tentang sungkeman dan opor ayam buatan ibu yang super endeus. Jika perawat mendapatkan jadwal dinas saat hari raya, tentu tak ada pilihan lain selain tetap berangkat dinas.
Sasaran komplain
Perawat sering mendapatkan beragam komplain dari pasien atau keluarganya, mulai dari hal yang gawat hingga hal yang receh sekalipun.
Misalnya, galon di ruang rawat inap habis maka keluarga pasien akan menyatakan komplainnya kepada perawat. Tentu saja mengganti galon bukanlah tugas mereka, sehingga perawatlah yang akan menghubungi cleaning servis untuk mengantarkan galon. Jika galon tersebut tak kunjung datang, bukan cleaning servis lah yang dikomplain, melainkan perawatlah yang menjadi sasarannya.
Contoh lain, misal dokter praktik belum datang, maka perawat harus bersiap mendapatkan komplain “kok belum mulai?”. Namun setelah dokter praktik datang, pasien tersebut tidak akan komplain ke dokter yang sudah jelas datang terlambat.
Bahkan ada juga orang yang menganggap bahwa profesi di rumah sakit itu hanya ada dua, dokter dan suster. Sehingga ketika petugas pendaftaran yang melayani pasien dengan sikap judes, maka perawatlah yang terkena getahnya.
Komplain juga tidak hanya datang dari pasien atau keluarganya, terkadang komplain juga datang dari dokter yang tengah melakukan visite. Misalnya ketika dokter meminta pemeriksaan rontgent thorax secara CITO alias segera terhadap pasien Ny N, namun kebetulan radiografernya belum standby di ruangan karena suatu hal. Kalau sudah begini perawat jaga harus bersiap-siap mendengarkan kalimat dari dokter “saya nggak mau tahu, pasien ini harus segera di-rontgen”.
Selain itu ada pula kalimat template yang kerap diucapkan keluarga pasien, seperti “masuk ruangannya kapan?” “pulangnya kapan?” “dokternya kok belum visit”, pertanyaan tersebut terkadang tidak bisa dijawab hanya dengan satu hembusan nafas.
Sasaran perundungan
Selama pandemi Covid-19, perawat juga harus menelan pil pahit berupa perundungan dari masyarakat. Mulai dari dianggap penyebar virus, diusir dari kontrakan, sampai menerima lemparan batu ketika hendak menjemput pasien suspect covid-19.
Hal-hal tersebut memang konsekuensi yang harus diterima. Mau sambat dikira manusia lemah, tapi kalau nggak sambat sayangnya kami tidak sekuat Avengers.
BACA JUGA Beragam Profesi di Rumah Sakit selain Dokter dan Perawat yang Perlu Diketahui dan tulisan Dhimas Raditya Lustiono lainnya.