Suatu ketika pada jam istirahat, saya dan beberapa teman kantor menyantap makan siang di warteg langganan sambil mengobrol, bercanda, dan tertawa. Ya, lumayan kan untuk melepas penat. Setelah cukup lama ngobrol ngalor-ngidul, akhirnya obrolan pun berubah menjadi sedikit lebih serius ketika salah satu teman bertanya sekaligus berkata kepada teman saya yang lain, “Eh, lu jadi nikah dalam waktu dekat? Hati-hati cari WO-nya. Kan sekarang lagi rame banget WO tipu-tipu. Pembayaran udah lunas, tapi nanti di gedungnya kosong, makanan aja nggak ada.”
Teman perempuan saya yang berencana menikah dalam waktu dekat tersebut secara spontan langsung berkata, “Ih, amit-amit, jangan sampe gue kayak gitu, ya ampun.”
Tidak ada yang salah dengan respons “amit-amit” tersebut. Justru yang menarik perhatian saya adalah gestur-nya ketika menyampaikan “amit-amit”. Dia melakukannya sambil mengepalkan tangan, lalu mengetuk bagian sekitaran kepala antara dahi dan kening, kemudian mengetuk kepalan tangannya ke permukaan meja.
Sudah terbayang bagaimana gesturnya?
Sebenarnya, gestur seperti itu sudah ada sejak lama dan sering saya lihat sebagai ungkapan ketidaksetujuan seseorang terhadap premis yang disampaikan oleh orang lain. Utamanya sih tentang hal yang kurang menyenangkan. Saya sendiri belum mengetahui pasti kapan awal mulanya. Namun, hal tersebut rasanya sudah dilakukan secara turun-temurun, tanpa diketahui siapa penggagasnya.
Lantaran penasaran dan merasa selama ini belum mendapat jawaban pasti tentang gestur tersebut, apa kegunaannya, dan apakah ada pengaruhnya, saya memutuskan untuk bertanya langsung kepada teman saya, “Maksud dari gestur itu apa, sih? Emang ngaruh dan bakalan dijauhin dari kesialan gitu?”
Setelah ditanya hal itu, teman saya malah kebingungan sendiri mau jawab apa. Dia bilang, itu hanya kebiasaan saja. Semacam gerakan “menolak bala” agar hal yang tidak diinginkan tidak terjadi. Padahal, ya, kejadian atau tidaknya hal yang kurang menyenangkan tersebut kan kembali lagi kepada diri dan antisipasi masing-masing. Dalam contoh di atas, soal WO pesta pernikahannya. Jika sudah diteliti dan cek sana-sini tentang profil WO-nya, dapat dipercaya, dan lain sebagainya, seharusnya sih aman-aman saja.
Tidak bisa dimungkiri juga bahwa gestur tersebut sudah menjadi kebiasaan dan dilakukan oleh sebagian orang, meski orang yang melakukannya pun tidak percaya bahwa hal itu akan memberi dampak bagi apa yang dikhawatirkannya dan lebih kepada mengekspresikan emosi yang sedang dirasakan.
Lalu, kenapa gesturnya harus dengan mengetuk kepala kemudian mengetukannya ke meja?
Setelah saya tanya ke beberapa teman, menurut mereka:
Pertama, agar tidak kepikiran, menjadi sugesti negatif, dan malah menjadi kenyataan. Kedua, agar keburukannya berpindah media—dalam hal ini dari pikiran negatif ke meja. Ketiga, karena iseng dan untuk lucu-lucuan saja. Lha, untuk alasan yang kedua, kok, kasihan mejanya, ya. Nggak salah apa-apa, ealah malah dipaksa berkorban untuk dijadikan tumbal. Dan kenapa juga sih, hampir selalu ada alasan lucu-lucuan pada beberapa hal yang dilakukan oleh seseorang? Hadeeeh.
Jika diingat lagi, gestur mengetuk kepala dan meja ini mengingatkan saya kepada ungkapan, “amit-amit jabang bayi” yang sering diucapkan seseorang beberapa tahun silam, ketika mendengar sesuatu yang tidak diinginkan dan ditujukan kepada dirinya. Makna dan intinya sama, agar dijauhkan dan terhindar dari kesialan yang disebutkan.
Tapi, kembali lagi, itu hanyalah bagian dari ekspresi yang dilakukan oleh sebagian orang. Sebagian yang lain menyikapi dengan ekspresi biasa saja. Ada yang hanya mengucap istigfar, cukup geleng-geleng kepala, dan menyampaikan secara langsung, “Eh, jangan bilang gitu, dong”.
Tidak bisa dimungkiri, sebagian orang memang merasa khawatir bahkan sampai overthinking, hal yang diucap orang lain akan kejadian di waktu mendatang. Kalau tentang sesuatu yang baik sih nggak apa-apa, lha kalau hal yang nggak diinginkan, gimana?
Pada akhirnya, di penghujung obrolan bersama teman-teman, saya hanya bisa memberi saran kepada seorang teman yang merasa cemas jika sedang diceritakan sesuatu yang membuatnya khawatir. Membuat rencana dan mengantisipasi sesuatu yang tidak diinginkan memang ada baiknya. Akan tetapi, lebih baik jika tidak perlu memikirkan segala sesuatu yang belum terjadi. Ketika pemikiran sulit dikendalikan, bukannya mengurangi masalah, yang ada malah overthinking.
BACA JUGA Menabrak Kucing Bisa Mengalami Kesialan, Tapi Tidak Menabrak Kucing Bisa Mengalami Kesialan Juga atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.