Usia muda adalah usia emas dalam kehidupan manusia. Usia ini bisa dibilang sebagai usia yang sedang pada puncak pencarian jati diri. Selain itu, usia muda juga dianggap waktu yang tepat untuk mencari jodoh. Menurut usia idealnya laki-laki minimal sudah bisa menikah ketika umur 25 tahun, sedangkan wanita mulai usia 20 hingga 21 tahun.
Gue mau curhat tentang kondisi gue sekarang. Gue baru saja lulus kuliah di tahun 2018. Umur gue sakarang 25 tahun. Iya betul sekali! Gue berada di usia paling ideal untuk segera melangkah ke pelaminan. Namun, ada saja hambatannya buat menuju ke sana.
Untungnya, gue tidak seperti orang-orang Sulawesi sana. Berdasarkan cerita teman gue yang asli keturunan suku Bugis dan Mandar, menikah di budaya mereka itu harus punya uang banyak. Mereka mengenal dengan istilah “Uang Panai’”. Ya, sejenis uang penghantar untuk menikah gitu lah.
Semakin tinggi status sosial dari seorang wanita yang hendak dilamar, maka semakin besar juga uang panai’nya. Apalagi misalnya wanitanya sarjana, dari keluarga bangsawan, terus PNS atau bekerja di bidang kesehatan seperti perawat, bidan ,atau dokter. Uang panaiknya bisa menyentuh ratusan juta rupiah. Waduh kebayang nggak tuh?
Mungkin oleh sebab itu orang-orang Bugis pada suka merantau dari kampung halamannya. Tujuannya untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya sebagai modal pernikahan mereka nanti.
Namun ada juga sih teman-teman gue yang suku Bugis pada mencari tambatan hati di luar dari tempat asal mereka. Supaya tidak berlaku tradisi uang panai’ itu.
Di sisi lain, pernah gue juga dapat cerita dari orang Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dia menikah hanya bermodalkan 10 juta rupiah. Enak banget ya? Cukup murah meriah untuk sebuah pesta pernikahan. Anehnya, uang hasil kondangannya hanya dapat 500 ribu rupiah. Duh, sayang sekali~
Sementara di Jawa sendiri, menikah itu tergantung kesepakatan dari kedua belah pihak. Kakak gue aja menikah dengan cukup meriah dengan make up, hiburan, tenda, makan prasmanan, serta dokumentasi habis 50 juta rupiah. Tapi, alhamdulillah hasil kondangannya juga dapat kurang lebih segitu.
Sementara gue dengar orang Padang Pariaman, menikah itu yang diberikan mas kawin adalah sang prianya. Jadi, yang mengeluarkan uang adalah dari pihak wanita. Tapi, katanya ketika cerai atau wafat, sang pria tidak mendapatkan harta warisan. Begitu kekurangannya.
Bangsa Indonesia memang paling kaya deh tentang persoalan budaya. Juara dan nggak ada tandingannya. Termasuk tentang adat dan budaya pernikahan di Nusantara ini. Usianya sudah berabad-abad. Sampai saat ini masih dilestarikan.
Sekarang coba kita lihat apa sih dampaknya dari nilai-nilai budaya pernikahan di daerah-daerah tersebut? Kalau di Bugis, katanya dengan menikah menggunakan uang panaik itu, tingkat perceraian jadi sangat minim. Ini sudah diriset oleh teman gue yang merupakan aktivis di bidang ini. Mungkin untuk bercerai, mereka berpikir sudah banyak pengorbanan yang dikeluarkan, jadi sungguh sayang-sayang kalau disia-siakan gitu aja.
Sementara di Lombok sendiri orang menikah itu begitu mudah dan relatif murah. Makannya, tingkat perceraian di sana sangat tinggi dibandingkan daerah lainnya. Kata teman gue yang asli sana, ada kampung janda di daerah Lombok itu. Wah menarik yah.
Ternyata ada sisi positif dan negatifnya masing-masing yah. Uang Panai’ membuat anak muda suku Bugis jadi lumayan butuh perjuangan untuk menikah, tapi setelah menikah bisa jadi kemungkinan langgeng lebih lama. Sementara orang Lombok bisa menikah dengan dipermudah biaya, tapi rentan cerai. Kalau gue boleh milih sih, mending murah meriah dan langgeng. hehehe
Apapun itu, menikah menurut gue bukanlah hal yang terburu-buru atau harus ditunda-tunda. Semuanya harus dipikirkan dengan matang-matang. Baik dari sisi finansial maupun mentalnya. Sebab sebagian dari usia kita akan dijalani dengan pasangan kita masing-masing. Kita harus saling mengenali pasangan dan keluarganya juga. Sebab menikah bukan hanya menyatukan dua sejoli menjadi satu. Tapi juga menyatukan dua keluarga besar dalam satu ikatan suci pernikahan.
Mahar atau mas kawin itu perlu, sebagai syarat sah ikatan pernikahan. Tapi, nilainya tidak perlu terlalu tinggi juga tidak terlalu rendah. Lebih baik yang sedang-sedang saja dan tidak memberatkan salah satu pihak. Yang penting dari menikah tujuannya adalah ibadah.
Terima kasih, semoga berfaedah.