Jika pada zaman dahulu pengangguran diidentikkan dengan tingkat pendidikan yang rendah, kini sebaliknya, pengangguran dengan embel-embel gelar kian banyak. Secara umum pengangguran disebabkan oleh rendahnya jumlah lapangan kerja dibanding dengan pencari pekerjaan, kualifikasi pekerjaan yang ketat, serta kurangnya sikap mandiri pencari kerja untuk menciptakan lapangan kerja sendiri.
Hal ini diperparah dengan adanya perubahan struktural, tidak hanya dari sisi demografi, juga karena adanya perubahan teknologi yang cukup pesat, sehingga demi efisiensi tenaga kerja, banyak perusahaan yang beralih menggunakan mesin. Lantas, bagaimana dengan lulusan sarjana yang masih menyandang predikat pengangguran? Apakah aspek-aspek penyebab pengangguran di atas juga berlaku? Bisa iya. Bisa juga tidak.
Berdasar dari apa yang saya lihat, saya amati, saya telaah, hingga saya bandingkan dengan studi literatur (ehm), membludaknya sarjana yang masih “luntang-lantung” atau lebih sopannya “berusaha mencari pekerjaan” beberapa penyebabnya adalah karena faktor dalam diri mereka sendiri.
Enggan memilih pekerjaan yang dirasa tidak pantas
Dengan embel-embel gelar yang diperoleh dengan jatuh bangun selama 4 tahun atau bahkan lebih, lulusan sarjana cenderung memiliki penghargaan diri yang tinggi atas gelar yang tersemat anggun di belakang namanya. Sehingga mereka merasa tidak pantas ketika harus mengambil pekerjaan yang menurut sebagian orang tidak pantas dilakukan oleh mantan mahasiswa.
“Sarjana kok jadi petani,”
“Lha buat apa itu kuliah 4 tahun kalau ujung-ujunya cuma mau ternak lele.”
“Kok sekarang jadi pegawai restoran, bukannya kamu lulusan guru?”
Pernah kan dapat komentar kayak gitu? Entah dari orang tua, saudara, teman, atau bahkan dari obrolan pagi di tukang sayur yang ratingnya sudah melebihi program Insert Pagi. Sudah perkara mutlak kalau kita kuliah ujung-ujungnya biar dapat gawean yang proper. Tapi siapa sih sebenarnya yang memutuskan pekerjaan itu layak atau tidak layak?
Selagi pekerjaan itu halal, masak iya disebut tidak layak. Selektif itu penting, tapi terlalu pemilih juga bakal melahirkan pengangguran.
Mematok gaji yang tinggi
Selain terlalu pemiih dalam hal pekerjaan, sarjana pengangguran cenderung menginginkan gaji yang besar. Siapa juga yang nggak mau gaji gede? Tapi di sini kasusnya beda, perusahaan juga ingin selektif dong dalam merekrut pekerja. Nggak sembarang comot. Perusahaan juga punya standar yang ketat untuk menyeleksi calon pekerja.
Apalagi untuk lulusan sarjana yang belum punya pengalaman sama sekali. Mereka bakal mikir dua kali buat merekrut kalian. Kalau saingan kalian itu anak SMK yang udah punya pengalaman bertahun-tahun, perusahaan mungkin bakal lebih mempertimbangkan mereka. Selain mereka sudah punya basic skill, lulusan SMA/SMK juga cenderung tidak mematok gaji yang besar.
“Idealisme itu perlu, tapi lihat-lihat dulu dong sejauh mana kemampuan kita”
Enggan mencoba hal baru
Meskipun ada lulusan sarjana yang banting setir dalam hal pekerjaan (tidak sesuai bidangnya), tapi nyatanya banyak juga yang masih saklek. Pokoknya kerja kantoran, pokoknya mau di perusahaan X, pokoknya mau jadi PNS, dan pokoknya-pokoknya yang lain. Masalahnya mau sampai kapan jadi pengangguran?
Nggak ada salahnya mencoba berwirausaha, kalau berhasil kan malah bisa menciptakan lapangan kerja buat orang lain.
“Lho kan saya nggak punya skill berwirausaha kak.”
Iitu jawaban klasik dan udah nggak bisa diterima lagi sama kuping. Nggak ada salahnya mencoba peluang-peluang lain, toh pekerjaan di muka bumi ini juga nggak cuma satu macem. Banyak hal-hal yang masih perlu kita eksplorasi dari diri kita.
Skill yang kurang
Hasil dari penelitian McKinsey, UNESCO, dan ILO memaparkan bahwa terdapat kesenjangan antara sistem pendidikan dengan dunia kerja di negara Indonesia. Output yang dihasilkan perguruan tinggi tidak sesuai dengan yang dibutuhkan pengguna kerja. Kalau sudah gini, pasti yang disalahkan adalah institusi pendidikan, karena menghasilkan lulusan sarjana yang fleksibilitasnya rendah. Pengangguran pun di mana-mana.
Tapi rasanya tidak adil kalau kita hanya menuding satu pihak tanpa meninjau komponen-komponen lain dalam institusi pendidikan. Sekarang coba kita telaah dari sudut pandang berbeda, yaitu mahasiswa. Peningkatan skill mahasiswa tidak hanya bisa kita dapatkan di bangku kuliah, kini banyak perusahaan-perusahaan yang membuka fasilitas magang, hal tersebut bisa kita manfaatkan untuk meningkatkan skill yang kita punya.
Selain itu, peningkatan skill juga bisa dilakukan dengan aktif mengikuti organisasi di kampus. Dalam berorganisasi kita bisa belajar public speaking, bekerja sama dengan orang lain, mengorganisir suatu hal, dan lain-lain. Jadi sebenarnya banyak sekali hal-hal yang bisa dilakukan untuk meningkatkan skill di bangku kuliah, jadi nggak hanya menuntut institusi tempat kita bernaung, kita harus aktif mencari info dan memanfaatkan kesempatan belajar dari berbagai sumber.
“Nyesel kan dulu pas kuliah cuma kuliah-pulang kuliah-pulang?”
Malas mencari info
Saat ini akses informasi sangat tidak terbatas, jika dahulu melamar pekerjaan harus door to door, kini melamar kerja bisa dilakukan hanya dengan berselancar ke internet dan apply pada perusahaan yang sedang membuka lowongan kerja. Para pencari kerja-lah yang seharusnya lebih aktif dan berani mencoba pada peluang-peluang yang ada. Jadi please, buat yang masih ngeluh cari kerja itu sulit, ngeluh jadi pengangguran, sebelum bilang kayak gitu, coba tengok diri sendiri dulu udah berapa kali kamu apply ke perusahaan. Kalau masih sekali, dua kali, atau tiga kali. Stop berkomentar. Kamu masih berjalan di tempat, belum berlari.
Terjebak zona nyaman.
Lulus sebagai sarjana merupakan kebahagiaan yang selalu didambakan bagi semua mahasiswa. Tapi jangan terlena dulu dengan embel-embel gelar yang tersemat di belakang namamu, karena beban sebagai lulusan sarjana itu berat jika kamu tak aktif dan sigap kamu tak akan kuat. Jangan dikira kalau kita udah punya gelar tertentu lantas mudah saja menawarkan ijazah kita ke perusahaan yang kita inginkan.
Di luaran sana juga banyak sarjana seperti kamu, lulus cumlaude, IPK tinggi, dan dari kampus bonafit. Mereka semua juga berlomba-lomba untuk mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan. Mereka nggak mau jadi sarjana pengangguran. Kalau kamu nggak “gercep” ya jangan nyalahin siapa-siapa.
BACA JUGA Kuliah, Kuliah, Kuliah, Tipes: Duka Menjadi Mahasiswa Biologi dan artikel Elisa Erni lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.