Begitu lewat waktu isya, Kecamatan Pace Nganjuk akan berubah jadi sunyi dan mencekam. Apalagi daerah ini konon dulunya sarang begal.
Ketika mendengar kata “Nganjuk”, apa kira-kira yang tebersit dalam pikiran kalian? Apakah angin yang tak henti-hentinya berembus? Daerah penghasil bawang merah terbesar se-Jawa Timur? Atau daerah yang cocok untuk frugal living?
Sebagai orang yang sempat tinggal di Nganjuk, saya dengan mantap mengiyakan semua anggapan itu. Kebetulan saya sempat tinggal di Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk, selama setengah tahun. Di sana ada rumah bude yang kala itu sedang kosong, dan saya disuruh agar membersihkan dan menempatinya untuk sementara waktu.
Dan memang benar, embusan angin di sana memang tak mengenal waktu. Pula kalau kalian mau beli bawang merah grosiran di sana, saya jamin juga nggak akan kesulitan. Apalagi kalau mengidamkan gaya hidup hemat, saya pikir tanpa perlu bukti ilmiah pun Nganjuk adalah juaranya.
Tapi harap diingat, gambaran tentang Nganjuk juga tidak melulu itu saja. Sebab setelah saya tinggal di sana selama hampir setengah tahun, ada sedikit hal menarik dan mencekam yang harus saya terima. Hal-hal itu pula yang sempat membuat saya dilema, lalu terpaksa memutuskan untuk tidak lagi tinggal di Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk.
Banyak warung-warung kopi ala tempo doeloe yang bikin saya bernostalgia
Sebagai orang yang gemar menulis sambil di ngopi, tentu saja hal pertama kali yang saya cari di Kecamatan Pace Nganjuk adalah warung kopi WiFi. Perihal mencari kedai kopi WiFi di daerah ini harusnya bukan sebuah masalah. Nggak mungkin lah zaman sekarang ada daerah yang tidak punya usaha warung kopi WiFi, pikir saya waktu itu.
Tapi tak disangka, mencari warung kopi yang ada WiFi-nya di Kecamatan Pace itu cukup sulit. Ya memang ada, tapi sangat jarang ditemui. Bahkan harus keluar Kecamatan Pace dulu kalau mau cari warung kopi WiFi yang benar-benar representatif buat main laptop. Yang paling banyak di sana adalah warung-warung kopi tanpa WiFi, yang temboknya berbahan gedek ala-ala tempo doeloe.
Tentu awalnya saya sedikit kecewa dengan kondisi Kecamatan Pace Nganjuk ini. Tapi seiring berjalannya waktu saya ngopi di warung-warung tempo doeloe, saya malah bersyukur. Sebab saya akhirnya bisa bernostalgia ketika dulu zaman masih bocah, sering diajak bapak untuk ikut ngopi di warung-warung bertembok gedek.
Warung-warung kopi tempo doeloe di Kecamatan Pace ini masih terdapat radio buat backsound orang-orang nongkrong. Kebanyakan piring dan gelas yang dipakai pun masih berbahan enamel dengan corak blirik khas zaman dulu. Dan, satu hal lagi yang bikin nostalgia saya makin terasa adalah, warung kopi di sana masih menjajakan es setrup yang dulu selalu saya beli sehabis pulang sekolah SD.
Baca halaman selanjutnya: Setelah isya daerahnya sudah sepi. Warga menutup pintu rumah…